Fenomena baru yang terjadi di kalangan perempuan saat ini tidak bisa dianggap remeh, karena pengaruh yang ditimbulkannya pada kehidupan ummat. Fenomena itu ialah poliandri. Tidak tanggung-tanggung, terjadi di kalangan ASN (Aparatur Sipil Negara). Para aparatur yang bekerja di lembaga dalam pengawasan pemerintah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo mengatakan, "Saya juga pernah
memutuskan perkara pernikahan tetapi ASN wanita yang punya suami lebih dari
satu. Ini fenomena baru, ini kan sesuatu hal yang repot kalau ada pengaduan dari
suami yang sah dan didukung oleh pengaduan pimpinan. Ini tren baru, karena
biasanya laporan yang masuk itu kasus poligami". (Republika, 29 Agustus
2020).
Berbagai agama melarang perempuan melakukan poliandri.
Pun dalam hukum negara dan adat yang saat ini berlaku. Jikapun ada suku yang
membolehkan praktek poliandri, keberadaannya tidak banyak dan cenderung berada
dalam wilayah terpencil.
Kenapa Poliandri Bisa Terjadi?
Keterpurukan ekonomi, bisa mendorong perempuan menikahi
laki-laki selain suaminya. Sebagaimana diungkapkan Devie, Pengamat Sosial dari
Universitas Indonesia, ketika dihubungi Sindonews, Selasa 12 Agustus 2014,
"Ada banyak faktor yang membuat seseorang melakukan poliandri, salah
satunya yakni faktor ekonomi.”
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan, yakni seringnya
terjadi pemalsuan dokumen dalam pernikahan sebagai bentuk lemahnya aturan di
Indonesia. Juga pernah ditemukannya fakta pada tahun 2014, pemalsuan dokumen
yang dilakukan seorang perempuan ketika menikah untuk kedua kalinya tanpa ada
perceraian dengan suami pertamanya.
Termasuk faktor yang perlu diperhatikan ialah lingkungan
bekerja perempuan saat ini yang tidak lepas dari ikhtilat (campur baur antara
laki-laki dan perempuan). kemudian tidak jauh dari tabarruj (menonjolkan
kecantikan).
Buruknya ketahanan keluarga juga bisa menjadi pemicu
terjadinya poliandri. Dimana saat ini banyak dijumpai laki-laki yang lemah
dalam mempimpin keluarga sehingga tidak mampu berbuat banyak menghadapi
perilaku istrinya. Bisa juga karena tidak terjaganya keharmonisan dalam
keluarga sehingga suami tidak mengetahui apa yang dilakukan istri dan
sebaliknya.
Di lain sisi kita juga mendapati bagaimana peran media
yang menjadi corong bagi kaum sekuler dan feminis, terus meracuni masyarakat
dengan liberalismenya. Sebuah paham yang memiliki andil besar bagi kaum
perempuan untuk menuntut kebebasan dalam memperoleh kesenangan dan kepuasan
hawa nafsunya. Paham yang juga mengilangkan rasa takut ketika melanggar apa-apa
yang dibatasi oleh agama, norma, dan kesopanan yang berlaku di tengah-tengah
masyarakat.
Islam dengan tegas mengharamkan poliandri.
Allah ta'ala berfirman :
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
“Dan perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya
perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.”
(QS An-Nisa (4): 24)
Huruf ‘athaf (وَ) yang berada di awal ayat ini merupakan kata sambung. Mengandung arti bahwa ayat ini dihimpun dan digabungkan dengan permulaan ayat 23 (حُرِّمَتْ عَلَيْكُم) “diharamkan atas kalian”. Redaksi حُرِّمَ merupakan bentuk larangan yang jelas dari segi hukumnya, yakni haram. Haram atas apa ? Haram menikahi perempuan yang telah bersuami (الْمُحْصَنَاتُ), Mencakup semua perempuan yang telah bersuami dari berbagai kalangan, karena merupakan redaksi umum. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119, “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”
Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda,
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا
“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali,
maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.”
(HR Ahmad)
Dari segi teks (manthuq), hadis ini menunjukkan jika dua
orang wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki secara
berurutan, maka yang sah adalah akad nikah yang pertama (Imam Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, Juz III/123). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa akad yang
kedua, batil. Sehingga akad yang kedua tidak memberi konsekuensi apapun dari
segi kewajiban dan hak berumah tangga. Dari sini dipahami juga bahwa poliandri
yang dilakukan perempuan dalam islam dihukumi sebagai zinah sebab status
penikahan keduanya tidak sah. Sehingga akan berakibat kerusakan nasab dan yang
lebih besar lagi pada rusaknya moral juga tata sosial masyarakat.
Khilafah merealisasikan keharaman poliandri
Beberapa upaya real yang dilakukan kholifah, yakni:
Pertama, membangun dan menjaga ketakwaan diri juga jiwa
masyarakat sebab Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pernah bersabda:
مَا
مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ
إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
“Seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat
lalu ia mati pada hari kematiannya ketika ia menipu rakyatnya Allah pasti akan
mengharamkannya masuk surga”(HR. Muslim).
Kedua, membentuk pemahaman kolektif tentang
bagaimana memperlakukan perempuan
berdasarkan konsep Islam. Hal ini mencontoh pada bagaimana Rasululah
shallallahu ‘alayhi wasallam memperlakukan istri, anak-anak, anggota keluarga,
dan kerabatnya dengan perbuatan-perbuatan terbaik. Sebagaimana Rasululah
shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
خَيْرُكُمْ
خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي
“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap
istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku.” [HR. Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas, Sunan Ibn Majah: 1608]
مَنْ
وُلِدَتْ له ابنةٌ فلم يئِدْها ولم يُهنْها، ولم يُؤثرْ ولَده عليها -يعني الذكَر-
أدخلَه اللهُ بها الجنة»
“Siapa pun yang memiliki seorang anak perempuan yang
lahir untuknya dan dia tidak menguburkannya atau menghinanya, dan tidak
memanjakan anak laki-lakinya melebihi anak perempuannya, Allah akan mengizinkan
dia untuk memasuki Jannah karena anak perempuannya.“(HR. Ahmad, dikoreksi oleh
Al-Hakim)
Ketika anak perempuan tumbuh dewasa, dia dijaga dan
dirawat dengan baik. Ayah bersikap protektif, dan terus berusaha melindunginya
dari bahaya.
Jika seorang perepmpuan menikah, dia dihargai dan
dihormati. Suami harus memperlakukannya dengan baik dan bersikap lembut
padanya. Allah ta’ala berfirman: “Dan hiduplah bersama mereka dalam kebaikan.”
[TQS. An-Nisa: 19]
Juga pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wassalam:
“Bertindak baiklah terhadap perempuan” (HR. Ibn Majah).
Begitu pun dengan hadits; “Seorang mukmin tidak boleh
membenci perempuan mukminah (istrinya), jika ia tidak menyukai darinya salah
satu perilakunya, maka dia menyukai darinya perilakunya yang lain” (HR. Muslim)
Ketiga, melarang dan mencegah tindakan-tindakan yang
mengarah pada eksploitasi wanita, termasuk pandangan yang menganggap wanita
hanya sebuah komoditas, objek seksual yang tersedia, juga pandangan lain yang
merendahkan wanita. Sehingga khilafah mewajibkan para wanita untuk menutup
auratnya dan melarang tabarruj ketika berinteraksi di tempat umum.
Keempat, mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita
sesuai syari’at islam. Hal itu diwujudkan dengan melarang terjadinya kholwat
(berdua-duaan) dan ikhtilat (campur baur). Kemudian membentuk lingkungan yang
aman dari zinah, hal-hal yang dapat memicu kecemburuan, membangkitkan keraguan,
mengguncang masalah kepercayaan, dan merujuk pada kekerasan.
Termasuk mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk
menundukkan pandangan mereka dan menjaga kesucian mereka sehingga keduanya
menjadi pondasi kuat dari hubungan yang sehat antara laki-laki dan perempuan. Hubungan
dibangun dengan dasar rasa hormat dan tolong-menolong dalam kebaikan.
Kelima, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola
bangunan keluarganya hanya dengan Islam. Yakni dengan menanamkan pemahaman
Islam mengenai setiap peran yang dimiliki individu dalam keluarga.
Di dalamnya mencangkup aktifitas membangun segitiga
kehidupan perkawinan: istirahat, cinta, dan belas kasihan. Sebagaimana firman
Allah ta’ala: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir.” [TQS. Ar-Rum: 21].
Dimana Istri adalah tempat suami menemukan kenyamanan dan
merasa aman dengannya, juga sebaliknya. Suaminya akan berbuat baik saat
mencintainya. Ketika ada rasa benci, suami akan tetap menghormati dan berbelas
kasih padanya.
Khilafah akan membantu para pria untuk menunaikan dua
tugas penting, yakni merawat dan melindungi keluarganya. Rasulullah
shallallaahu ‘alayhi wassalam bersabda: “Barang siapa terbunuh karena
melindungi keluarganya, maka dia (mati) syahid.” (HR. At-Tirmidzi)
Keenam, khilafah mengizinkan perceraian terjadi meskipun
itu adalah tindakan halal paling buruk dalam Islam. Mengkondisikan agar terjadinya
perceraian dengan cara yang ma’ruf tanpa diikuti kedzaliman. Wallaahu
a’lam bish showwab.. (Ummu Zahroh, Batam, 6 September
2020)