Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Wednesday, September 9, 2020

Khilafah Menjaga Fitrah Perempuan

Fenomena baru yang terjadi di kalangan perempuan saat ini tidak bisa dianggap remeh, karena pengaruh yang ditimbulkannya pada kehidupan ummat. Fenomena itu ialah poliandri. Tidak tanggung-tanggung, terjadi di kalangan ASN (Aparatur Sipil Negara). Para aparatur yang bekerja di lembaga dalam pengawasan pemerintah.


Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB), Tjahjo Kumolo mengatakan, "Saya juga pernah memutuskan perkara pernikahan tetapi ASN wanita yang punya suami lebih dari satu. Ini fenomena baru, ini kan sesuatu hal yang repot kalau ada pengaduan dari suami yang sah dan didukung oleh pengaduan pimpinan. Ini tren baru, karena biasanya laporan yang masuk itu kasus poligami". (Republika, 29 Agustus 2020).


Berbagai agama melarang perempuan melakukan poliandri. Pun dalam hukum negara dan adat yang saat ini berlaku. Jikapun ada suku yang membolehkan praktek poliandri, keberadaannya tidak banyak dan cenderung berada dalam wilayah terpencil.


Kenapa Poliandri Bisa Terjadi?

Keterpurukan ekonomi, bisa mendorong perempuan menikahi laki-laki selain suaminya. Sebagaimana diungkapkan Devie, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, ketika dihubungi Sindonews, Selasa 12 Agustus 2014, "Ada banyak faktor yang membuat seseorang melakukan poliandri, salah satunya yakni faktor ekonomi.”


Faktor lain yang tidak bisa diabaikan, yakni seringnya terjadi pemalsuan dokumen dalam pernikahan sebagai bentuk lemahnya aturan di Indonesia. Juga pernah ditemukannya fakta pada tahun 2014, pemalsuan dokumen yang dilakukan seorang perempuan ketika menikah untuk kedua kalinya tanpa ada perceraian dengan suami pertamanya.


Termasuk faktor yang perlu diperhatikan ialah lingkungan bekerja perempuan saat ini yang tidak lepas dari ikhtilat (campur baur antara laki-laki dan perempuan). kemudian tidak jauh dari tabarruj (menonjolkan kecantikan).


Buruknya ketahanan keluarga juga bisa menjadi pemicu terjadinya poliandri. Dimana saat ini banyak dijumpai laki-laki yang lemah dalam mempimpin keluarga sehingga tidak mampu berbuat banyak menghadapi perilaku istrinya. Bisa juga karena tidak terjaganya keharmonisan dalam keluarga sehingga suami tidak mengetahui apa yang dilakukan istri dan sebaliknya.


Di lain sisi kita juga mendapati bagaimana peran media yang menjadi corong bagi kaum sekuler dan feminis, terus meracuni masyarakat dengan liberalismenya. Sebuah paham yang memiliki andil besar bagi kaum perempuan untuk menuntut kebebasan dalam memperoleh kesenangan dan kepuasan hawa nafsunya. Paham yang juga mengilangkan rasa takut ketika melanggar apa-apa yang dibatasi oleh agama, norma, dan kesopanan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat.


Islam dengan tegas mengharamkan poliandri.

Allah ta'ala berfirman :

 

وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ

“Dan perempuan yang bersuami, kecuali hamba sahaya perempuan (tawanan perang) yang kamu miliki sebagai ketetapan Allah atas kamu.” (QS An-Nisa (4): 24)


Huruf ‘athaf (وَ) yang berada di awal ayat ini merupakan kata sambung. Mengandung arti bahwa ayat ini dihimpun dan digabungkan dengan permulaan ayat 23 (حُرِّمَتْ عَلَيْكُم) “diharamkan atas kalian”. Redaksi حُرِّمَ merupakan bentuk larangan yang jelas dari segi hukumnya, yakni haram. Haram atas apa ? Haram menikahi perempuan yang telah bersuami (الْمُحْصَنَاتُ), Mencakup semua perempuan yang telah bersuami dari berbagai kalangan, karena merupakan redaksi umum. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut: Darul Ummah, 2003) hal. 119, “Diharamkan menikahi wanita-wanita yang bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah.”


Nabi shallallahu ‘alayhi wasallam telah bersabda,


أَيُّمَا امْرَأَةٍ زَوَّجَهَا وَلِيَّانِ فَهِيَ لِلْأَوَّلِ مِنْهُمَا

“Siapa saja wanita yang dinikahkan oleh dua orang wali, maka pernikahan yang sah bagi wanita itu adalah yang pertama dari keduanya.” (HR Ahmad)


Dari segi teks (manthuq), hadis ini menunjukkan jika dua orang wali menikahkan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka yang sah adalah akad nikah yang pertama (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123). Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa akad yang kedua, batil. Sehingga akad yang kedua tidak memberi konsekuensi apapun dari segi kewajiban dan hak berumah tangga. Dari sini dipahami juga bahwa poliandri yang dilakukan perempuan dalam islam dihukumi sebagai zinah sebab status penikahan keduanya tidak sah. Sehingga akan berakibat kerusakan nasab dan yang lebih besar lagi pada rusaknya moral juga tata sosial masyarakat.


Khilafah merealisasikan keharaman poliandri

Beberapa upaya real yang dilakukan kholifah, yakni:

Pertama, membangun dan menjaga ketakwaan diri juga jiwa masyarakat sebab Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam pernah bersabda:


مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ

“Seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat lalu ia mati pada hari kematiannya ketika ia menipu rakyatnya Allah pasti akan mengharamkannya masuk surga”(HR. Muslim).


Kedua, membentuk pemahaman kolektif tentang bagaimana  memperlakukan perempuan berdasarkan konsep Islam. Hal ini mencontoh pada bagaimana Rasululah shallallahu ‘alayhi wasallam memperlakukan istri, anak-anak, anggota keluarga, dan kerabatnya dengan perbuatan-perbuatan terbaik. Sebagaimana Rasululah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:


خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِأَهْلِهِ ، وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik terhadap istrinya, dan aku yang terbaik terhadap istriku.” [HR. Ibnu Majah dari Ibnu Abbas, Sunan Ibn Majah: 1608]


 مَنْ وُلِدَتْ له ابنةٌ فلم يئِدْها ولم يُهنْها، ولم يُؤثرْ ولَده عليها -يعني الذكَر- أدخلَه اللهُ بها الجنة»

“Siapa pun yang memiliki seorang anak perempuan yang lahir untuknya dan dia tidak menguburkannya atau menghinanya, dan tidak memanjakan anak laki-lakinya melebihi anak perempuannya, Allah akan mengizinkan dia untuk memasuki Jannah karena anak perempuannya.“(HR. Ahmad, dikoreksi oleh Al-Hakim)


Ketika anak perempuan tumbuh dewasa, dia dijaga dan dirawat dengan baik. Ayah bersikap protektif, dan terus berusaha melindunginya dari bahaya.


Jika seorang perepmpuan menikah, dia dihargai dan dihormati. Suami harus memperlakukannya dengan baik dan bersikap lembut padanya. Allah ta’ala berfirman: “Dan hiduplah bersama mereka dalam kebaikan.” [TQS. An-Nisa: 19]


Juga pesan Rasulullah Shallallaahu ‘alayhi wassalam: “Bertindak baiklah terhadap perempuan” (HR. Ibn Majah).


Begitu pun dengan hadits; “Seorang mukmin tidak boleh membenci perempuan mukminah (istrinya), jika ia tidak menyukai darinya salah satu perilakunya, maka dia menyukai darinya perilakunya yang lain” (HR. Muslim)


Ketiga, melarang dan mencegah tindakan-tindakan yang mengarah pada eksploitasi wanita, termasuk pandangan yang menganggap wanita hanya sebuah komoditas, objek seksual yang tersedia, juga pandangan lain yang merendahkan wanita. Sehingga khilafah mewajibkan para wanita untuk menutup auratnya dan melarang tabarruj ketika berinteraksi di tempat umum.


Keempat, mengatur hubungan antara laki-laki dan wanita sesuai syari’at islam. Hal itu diwujudkan dengan melarang terjadinya kholwat (berdua-duaan) dan ikhtilat (campur baur). Kemudian membentuk lingkungan yang aman dari zinah, hal-hal yang dapat memicu kecemburuan, membangkitkan keraguan, mengguncang masalah kepercayaan, dan merujuk pada kekerasan.


Termasuk mewajibkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan mereka dan menjaga kesucian mereka sehingga keduanya menjadi pondasi kuat dari hubungan yang sehat antara laki-laki dan perempuan. Hubungan dibangun dengan dasar rasa hormat dan tolong-menolong dalam kebaikan.


Kelima, meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola bangunan keluarganya hanya dengan Islam. Yakni dengan menanamkan pemahaman Islam mengenai setiap peran yang dimiliki individu dalam keluarga.


Di dalamnya mencangkup aktifitas membangun segitiga kehidupan perkawinan: istirahat, cinta, dan belas kasihan. Sebagaimana firman Allah ta’ala: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [TQS. Ar-Rum: 21].


Dimana Istri adalah tempat suami menemukan kenyamanan dan merasa aman dengannya, juga sebaliknya. Suaminya akan berbuat baik saat mencintainya. Ketika ada rasa benci, suami akan tetap menghormati dan berbelas kasih padanya.


Khilafah akan membantu para pria untuk menunaikan dua tugas penting, yakni merawat dan melindungi keluarganya. Rasulullah shallallaahu ‘alayhi wassalam bersabda: “Barang siapa terbunuh karena melindungi keluarganya, maka dia (mati) syahid.” (HR. At-Tirmidzi)


Keenam, khilafah mengizinkan perceraian terjadi meskipun itu adalah tindakan halal paling buruk dalam Islam. Mengkondisikan agar terjadinya perceraian dengan cara yang ma’ruf tanpa diikuti kedzaliman. Wallaahu a’lam bish showwab.. (Ummu Zahroh, Batam, 6 September 2020)


Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages