Permasalahan terkait keluarga saat ini begitu banyak dan semakin pelik. Seiring perjalanan waktu, keluarga sebagai benteng terakhir umat islam dalam menyelamatkan generasi, mengalami serangan yang bertubi-tubi. Padahal, hancurnya tatanan keluarga akan berdampak pada masa depan generasi juga peradaban yang akan dibangun.
Menjelang akhir tahun 2018, dibuka kembali wacana menolak poligami. Beberapa waktu sebelum itu, muncul dukungan terhadap kaum lgbt, hingga menggulirnya opini untuk ‘membeli’ rahim ibu bagi para pasangan lgbt yang ingin memiliki anak. Di awal tahun 2019 ini, peran ibu dianggap rendah nilainya dibandingkan dengan wanita penjaja tubuh.
Tidak cukup sampai di situ, baru-baru ini kembali muncul masalah RUU P-KS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang telah dibahas sejak tanggal 26 Januari 2016. Mengatasnamakan pembelaan terhadap perempuan, namun sejatinya akan berdampak pada disfungsi keluarga terutama kaum ibu.
Indikasi awalnya dapat dilihat dari pemilihan kata dalam RUU P-KS yang menggunakan redaksi "kekerasan seksual" bukan "kejahatan seksual”. Bila dicermati lebih dalam, RUU P-KS akan berimbas pada legalisasi perzinahan yang dilakukan suka sama suka. Baik oleh pasangan yang berlainan gender atau sesama gender. Bahkan bisa bermakna, negara melegalkan kehadiran kaum LGBT di tengah-tengah masyarakat. Begitu pula dengan aborsi yang dianggap sah-sah saja jika dilakukan tanpa adanya paksaan.
Hal ini senada dengan Dr. Sabriati Azis Ketua Bidang Jaringan AILA (Aliansi Cinta Keluarga), “kata kunci dari definisi atau konsep kekerasan seksual dalam RUU Penghapusan KS (Kekerasan Seksual) itu adalah adanya paksaan dan tidak adanya upaya persetujuan dari seseorang. Bukan pada baik atau buruknya perilaku seksual tersebut ditinjau dari kesehatan, nilai-nilai agama, sosial, dan budaya Indonesia. Maka, jika seseorang melakukan zina suka sama suka, atau suami mensodomi istrinya dan istrinya senang-senang aja, itu bukan kekerasan seksual (menurut RUU itu).”
Diantara isi RUU ini yang perlu diperhatikan ialah BAB V tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 11 : “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan seksual, kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual; dan/atau penyiksaan seksual,”
Pada ayat (2), “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi peristiwa kekerasan seksual dalam lingkup relasi personal, rumah tangga, relasi kerja, publik, dan situasi khusus lainnya.”
Ini menunjukkan bahwa tindak pidana hanya berlaku pada segala bentuk pemaksaan. Hal sehingga pada saat yang sama juga mengandung makna, bila dilakukan tanpa paksaan, maka tidak dikategorikan sebagai kejahatan (tindak pidana) yang patut dikenai sanksi.
Berikutnya dalam pasal 12 ayat (1), “pelecehan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1) huruf a adalah kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain merasa terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan.”
Dari pasal ini, muncul pertanyaan: Bagaimana bila ada anggota masyarakat yang berzina atas dasar suka sama suka, lalu digrebek warga? Maka pasangan pezina itu bisa saja melaporkan warga dengan pasal ini. Lalu dalam pandangan hukum, pezina itu dianggap sebagai korban dan warga sebagai para pelaku tindak pidana karena telah mengintimidasi, mempermalukan, dlsb.
Atau, bagaimana bila ada ada anggota keluarga yang memilih orientasi seksualnya menjadi lgbt? tentu keluarga tidak bisa memperlakukan mereka secara ‘berbeda’ jika tidak ingin terjerat dengan pasal ini. Begitu pula bila ada anak gadis yang merasa diintimidasi karena enggan menutup auratnya, orang tua bisa kena pasal ini.
Akar Masalah
Berbagai permasalahan keluarga seperti perselingkuhan, prostitusi, kekerasan, aborsi, broken home dan yang lainnya muncul dan semakin parah karena faktor: (a) pemahaman sekulerisme (memisahkan agama dari kehidupan) yang menjangkiti kaum muslimin dan, (b) sistem demokrasi-kapitalis yang menghasilkan undang-undang hasil pemikiran manusia.
Sekulerisme berpandangan bahwa kehidupan publik tidak diatur oleh Pencipta manusia. Dari sinilah cikal bakal munculnya perilaku liberal (bebas tanpa aturan) yang kemudian melahirkan budaya permisif (serba boleh) dengan mejadikan materi sebagai standar kebahagiaan (materialistik). Benar-benar segala sesuatu dipandang hanya sebagai materi dan diukur dengan materi. Demi materi, manusia dibebaskan melakukan segala daya upaya tanpa memperhatikan agama. Hal ini bisa mendorong munculnya kekerasan, kesewenang-wenangan, penyimpangan perilaku, hilangnya kepedulian, hancurnya bangunan keluarga dan beragam masalah lainnya.
Demokrasi-kapitalis ialah sistem politik yang menguatkan kerjasama antara penguasa dan pengusaha. Sistem ini dibangun di atas pondasi sekularisme. Kebebasan individu adalah perkara mutlak dalam sistem demokrasi-kapitalis saat ini. Sehingga segala hal terkait dengan pemuasan seksual juga menjadi komoditas berharga untuk diperdagangkan. Ini karena keuntungan yang didapat darinya begitu menggiurkan.
Disahkannya RUU P-KS akan berdampak pada disfungsi keluarga dalam menjaga anggota keluarganya dari murka Allah ﷻ. Sebab landasan dibuatnya RUU P-KS bukan Islam, sehingga tidak aneh ketika didapati dalam pasal-pasalnya yang pertentangan dengan Islam. Tidak hanya itu, peran masyarakat dalam melakukan amar ma’ruf nahiy munkar juga ikut tergerus. Akibatnya masyarakat akan hidup dalam peradaban rusak lagi merusak, hingga mereka akan terbiasa dengan prilaku rendah yang merendahkan jati diri manusia itu sendiri.
Solusi
Langkah utama ialah mewujudkan pemahaman islamiy di tengah-tengah masyarakat. Bahwa manusia diciptakan oleh Allah ﷻ, dan Dia ﷻ Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk makhluk-Nya serta bagaimana mengatur makhluk-Nya. Jika manusia ingin tetap berada dalam kebaikan maka mereka harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Allah ﷻ. Dalam al-Qur’an Allah ﷻ berfirman :
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ
"Itulah Allah, Tuhan kalian. Tidak ada Tuhan selain Dia Yang menciptakan segala sesuatu. Karena itu sembahlah Dia. Dialah Pemelihara segala sesuatu." (al-An’am: 102)
Dalam ayat ini ada redaksi (وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ), dhamir (هُوَ) yang termasuk dhamir fashl merupakan bagian dari bentuk al-Qashr (القصر) yang berfaedah menetapkan dan membatasi, bahwa satu-satunya pihak yang menjadi pemelihara segala sesuatu ialah Allah ﷻ.
فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
“mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)
Dalam ayat ini ada redaksi (شَيْئًا), bentuk nakirah yang berfaedah tidak tertentu (غَيرُ مُعَيَّنٍ), hingga bermakna umum, ibadah kepada Allah ﷻ, menerapkan dan mentaati semua hukum-Nya bisa jadi termasuk perkara yang tidak disukai namun didalamnya terdapat kebaikan yang banyak.
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (al-An’am: 57)
Ayat ini berpola (القصر), jadi tiada yang berhak menetapkan hukum selain Allah ﷻ. Perundang-undangan ada 2, pertama bersifat tasyri’iy (pensyariatan) dan kedua bersifat ijra’iy (administratif). Keduanya harus dibangun di atas akidah Islam, hanya saja dalam persoalan administratif yang hukummya mubah, dari segi pelaksanaan bisa dimusyawarahkan untuk diketahui apa yang paling mudah dan berfaedah bagi masyarakat. Redaksi (خَيْرُ الْفَاصِلِينَ) terdiri dari kata (خَيْرُ) yang asalnya ialah isim tafdhil (kata yang menunjukkan makna ter-) qiyasinya (أَخْيَرُ), yang terbaik dalam memberikan keputusan ialah hanya Allah ﷻ saja, dipahami sesuai dengan pola qashrnya yang ditandai dengan isim dhamir (هُوَ).
Langkah berikutnya menegakkan aturan Islam secara menyeluruh yang akan mengembalikan individu, keluarga, masyarakat, dan negara pada fungsi hakikinya. Rasulullah ﷺ bersabda :
الإِمامُ رَاعٍ وَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Setidaknya ada 4 bidang dalam Daulah Islam yang berperan menjadi penyokong keluarga dan masyarakat untuk mengubah dari peradaban rusak dan prilaku rendah menjadi peradaban yang mulia dengan gemilang:
- Pendidikan: pendidikan dalam keluarga, pendidikan formal dan non formal dibangun dengan asas Islam. Dididik untuk menjadi hamba Allah ﷻ yang bertakwa. Meletakkan kebahagiaan pada Ridlo Allah ﷻ. Berbeda dengan sekularisme dan demokrasi-kapitalis yang mengagungkan kebebasan, merendahkan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, dan materialistik.
- Ekonomi: membangun konsep ri’ayah (mengurus) dalam ekonomi warga masyarakat, melancarkan distribusi kekayaan, menopang kaum papa, hingga prilaku rendah karena dorongan ekonomi tertutup celahnya.
- Sosial dan budaya: Islam mengharuskan wanita menjaga kehormatan dan kemuliaannya, serta memerintahkan kaum pria untuk melindungi kehormatan dan kemuliaan wanita dengan cara menjaga interaksi pergaulan keduanya serta batasan yang jelas mengenai auratnya.
- Sanksi: Islam memberikan sanksi pada setiap pelaku kejahatan. Pemaksaan, tidak dijadikan standar apakah sesuatu itu dikatakan sebagai tindak kejahatan atau bukan. Akan tetapi bilamana adanya perilaku yang bertentangan dengan syariat Islam, baik dengan paksaan atau sukarela, maka hal itu dikatakan sebagai tindak kejahatan.
Wallaahu a’lam bish showab
Disusun oleh Tias