Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Tuesday, September 25, 2018

Sistem Pemerintahan Islam Menurut Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i

Mukaddimah
Sejarah Nusantara Islam tidak bisa dilepaskan dari penyebaran madzhab Imam asy-Syafi’i dikarenakan para pengemban Dakwah Islam generasi awal merupakan kalangan Syafi’iyyah, yang kemudian dilanjutkan oleh para ulama di era Kesultanan dengan penerapan Syariah Islam bersandar pada madzhab Syafi’iyyah. Meskipun saat ini berkembang madzhab lain, semisal Malikiyyah dan Hanabilah, tidak bisa diingkari bahwa para muqallid Syafi’iyyah masih lebih dominan, terutama di kalangan para tokoh yang berperan dalam kebijakan pengelolaan urusan masyarakat, semisal terlihat dalam penentuan hilal syar’i.
Dengan demikian, perlu dikaji bagaimanakah pemikiran politik persfektif Syafi’iyyah, bahkan jika memungkinkan perlu diteliti adakah fiqih siyasah yang dinukil langsung dari Imam asy-Syafi’i. Hal demikian menjadi penting karena sulitnya menemukan keberadaan para mujtahidin di negeri ini, sedangkan berbagai ide Asing yang berasal dari kaum Kafir Penjajah cukup “membingungkan” umat dalam menentukan sikap politik. Jika bukan dengan mekanisme ijtihad shahih, maka solusinya ialah melakukan taqlid syar’i.

Jika kaum Muslimin dapat merasakan keadilan dan kesejahteraan bersama para Sultan yang “mengakui” kepemimpinan Khilafah, terutama di era Utsmaniyyah, baik secara langsung maupun melalui para Wali, dengan bersandar pada kajian fuqaha Syafi’iyyah, tentu sebagai langkah awal “penyelamatan” kembali ke madzhab Syafi’iyyah dalam mengurus masyarakat dan mengelola negara merupakan tindakan yang lebih “aman” dan “selamat”, dibandingkan secara “tidak sadar” mengamalkan berbagai hukum yang tidak distinbath dari dalil-dalil syar’i, namun dari pemikiran-pemikiran asing, semisal l'état c'est moi-nya Monarki (Kerajaan) dan vox populi vox dei-nya Republik (Demokrasi).

Imam asy-Syafi’i dan Syafi’iyyah
Perlu dipahami bahwa tidak semua murid Imam asy-Syafi’i terkategori sebagai ulama Syafi’iyyah, semsial Imam Ahmad, Imam Abu Tsaur, dan Imam Abu ‘Ubaid, begitupun murid dari muridnya, semisal Imam al-Bukhari, Imam Ibn Munzdir, dan Imam Daud. Begitupun, tidak semua para ulama Syafi’iyyah memiliki pendapat yang sama dengan Imam asy-Syafi’i. Istilah “mu’tamad” dimaksudkan sebagai panduan bagi para muqallidin Syafi’iyyah bahwa pendapat tersebut merupakan pendapat yang dianggap lebih kuat berdasarkan ushul fiqih Syafi’iyyah, meskipun berbeda dengan pendapat Imam asy-Syafi’i.
Memang benar, tidak ada larangan untuk mengambil pendapat “ghair mu’tamad” selama dilakukan oleh seorang ahli yang memiliki kemampuan tarjih. Begitupun, bukan sebuah kesalahan apabila ada pendapat “baru” yang belum disampaikan oleh Imam asy-Syafi’i, namun disusun dengan ushul fiqih yang diadopsinya, dikategorikan sebagai pemikiran madzhab Syafi’iyyah, sesuai prinsip (اذا صح الحديث فهو مذهبي). Apalagi jika pendapat “baru” tersebut tidak bertentangan dengan pendapat Imam asy-Syafi’i. Tidak adanya pembahasan mengenai suatu hal, lebih dikarenakan ada-tidaknya problematika yang membutuhkan solusi di masa hidup seorang ulama, yang bisa jadi “belum ditemukan”, “sudah selesai masalahnya”, atau yang lainnya.
Adapun mengenai kajian fiqih siyasah, Imam al-Mawardi asy-Syafi’i merupakan rujukan utama bagi Imam an-Nawawi yang merupakan “penentu” mengenai apakah suatu pendapat terkategori mu’tamad atau ghair mu’tamad di kalangan Syafi’iyyah. Sudah selayaknya, bagi muqallidin Syafi’iyyah hendaknya memiliki dugaan “awal” bahwa pendapat mu’tamad merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i kecuali memiliki bukti yang jelas bahwa Imam asy-Syafi’i memiliki pendapat yang berbeda, semisal dalam pemikiran mengenai rukyatul hilal.
Jika diperhatikan alur pembahasan Imam al-Mawardi dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyyah yang mengutip pendapat para fuqaha, diantaranya Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi’i, Imam Ahmad, Imam Ibn Jarir, Ashhab asy-Syafi’i semisal Imam al-Muzanni; Imam Ibn Suraij; Imam Abu Ishaq al-Marwazi, dan yang lainnya, dapat dikatakan bahwa pendapat hukum yang disebutkan dalam al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, jika tidak disebutkan adanya perbedaan pendapat, berarti menurut Imam al-Mawardi terkategori kesepakatan para fuqaha, termasuk Imam asy-Syafi’i, mengingat kedudukan ilmiah Imam al-Mawardi yang merupakan penyusun kitab rujukan Syafi’iyyah dengan karyanya, al-Hâwî syarh Mukhtshar al-Muzannî. Termasuk gharib, jika ada “tuduhan” bahwa pemikiran Imam al-Mawardi mengenai fiqih siyasah tidak muttashil dengan para ulama sebelumnya yang menjadi sanad keilmuannya hingga kepada Imam asy-Syafi’i. Imam al-Mawardi berkata dalam mukaddimah karyanya, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah sebagai berikut:

ولما كانت الأحكام السلطانية بولاة الأمور أحق وكان امتزاجها بجميع الأحكام يقطعهم عن تصفحها مع تشاغلهم بالسياسة والتدبير أفردت لها كتابا امتثلت فيه أمر من لزمت طاعته؛ ليعلم " مَذَاهِب الفُقَهَاء " فيما له منها فيستوفيه وما عليه منها فيوفيه توخيا للعدل في تنفيذه وقضائه وتحريا للنصفة في أخذه وعطائه

Dengan demikian, sebagaimana kajian ushul fiqih Imam asy-Syafi’i dengan karyanya, ar-Risâlah, yang melanjutkan pemikiran para gurunya, semisal Imam Malik, Imam Sufyan ibn Uyainah, Imam Waki’, Imam Muslim az-Zanji, Imam Muhammad ibn al-Hasan, dan yang lainnya, begitupula kajian fiqih siyasah Imam al-Mawardi dengan karyanya, al-Ahkâm as-Sulthâniyyah. Apalagi secara jelas, Imam al-Mawardi “terikat” dengan madzhab Syafi’iyyah, baik sebagai akademisi maupun praktisi peradilan.

Fiqih Siyasah Imam asy-Syafi’i
Dalam meneliti pemikiran Imam asy-Syafi’i dapat menggunakan teori 4 (empat) kaidah Pemerintahan Islam (Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm), yakni kedaulatan Syariah, kekuasaan umat, kewajiban pemimpin tunggal, dan hak khusus pengadopsian UU. Juga dapat diteliti menggunakan teori mengenai Struktur Negara (Ajhizah ad-Daulah), semisal pengaturan pemimpin terhadap pemerintahan daerah, keuangan, peradilan, pasukan perang, dan perjanjian luar negeri. Jadi, bukan sekedar bagaimanakah pendapat Imam asy-Syafi’i mengenai mekanisme peralihan atau suksesi kekuasaan, karena politik menurut Islam bukan sekedar dimaknai “perebutan kekuasaan”, namun “pengaturan berbagai urusan umat”.

Kedaulatan Syariah
Menurut Imam asy-Syafi’i, hak menetapkan hukum atau kedaulatan ada pada Syariah Islam, bukan sekedar rasionalitas apalagi kesepakatan berasaskan kepentingan, sebagaimana disebutkan dalam al-Umm, sebagai berikut:

فأعلم الله نبيه - صلى الله عليه وسلم - أن فرضا عليه وعلى من قبله والناس إذا حكموا أن يحكموا بالعدل والعدل اتباع حكمه المنزل

Pendapat Imam asy-Syafi’i jelas berbeda dengan teori Kedaulatan Raja dengan Sistem Monarki-nya, yakni l'état c'est moi, negara adalah saya, sehingga penerapan hukum hanya berdasarkan hawa nafsu penguasa; juga berbeda dengan teori Kedaulatan Rakyat dengan Sistem Republik-nya, yakni vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan, sehingga penerapan hukum diserahkan kepada hawa nafsu keseluruhan rakyat atau sebagian besar darinya. Tidak ada mekanisme ijtihad dalam Monarki maupun Republik, sehingga peranan ulama mujtahidin tidak diperlukan. Padahal hukum yang bukan diambil melalui proses ijtihad tidak bisa terkategori sebagai hukum Syariah, sebagaimana pendapat Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm, sebagai berikut:

فليس لمفت ولا لحاكم أن يفتي ولا يحكم حتى يكون عالما بهما ولا أن يخالفهما ولا واحدا منهما بحال فإذا خالفهما فهو عاص لله عز وجل وحكمه مردود فإذا لم يوجدا منصوصين فالاجتهاد بأن يطلبا كما يطلب الاجتهاد بأن يتوجه إلى البيت وليس لأحد أن يقول مستحسنا على غير الاجتهاد كما ليس لأحد إذا غاب البيت عنه أن يصلي حيث أحب ولكنه يجتهد في التوجه إلى البيت

Dengan demikian, diantara “standar baku” Sistem Pemerintahan Islam menurut Imam asy-Syafi’i ialah menjadikan wahyu sebagai asas tunggal bagi semua hukum yang ditetapkan sebagai UU, sehingga para ulama mujtahidin merupakan rujukan bagi negara, baik sebagai al-hâkim atau aparatur negara maupun al-mufti yang mewakili masyarakat.

Kekuasaan Umat
Menurut Imam asy-Syafi’i peranan Umat terdiri atas 2 (dua) hal, yakni mengangkat dan mengawasi kepemimpinan, berbeda dengan Sistem Monarki yang membatasi peralihan kekuasaan dengan “pewarisan”, yang tidak memberikan peranan kepada Umat. Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsar menukil sebagai berikut:

قال الشافعي في كتاب البويطي: وكل إمام ولي الناس "بِاِخْتِيَار أو بِغَيْرِهِ أو مُتَغَلِّب" فجرت أحكامه وسلكت به السبل وأمنت به البلاد لا يقاتل ولا يقاتل معه المسلمون والحجة في ذلك قول النبي صلى الله عليه وسلم: اسمعوا وأطيعوا وإن ولي عليكم كذا وكذا وقال النبي صلى الله عليه وسلم: إنكم ستلقون من بعدي أثرة فاصبروا حتى تلقوني، فإن قيل: فقد قال النبي صلى الله عليه وسلم: أطيعوهم ما أطاعوا الله فإن عصوا الله فلا طاعة عليكم قال: فإنهم ما أقاموا الصلاة مطيعين لله في إقامتها فعلينا طاعتهم فيما أطاعوا الله وما عصموا فيه أمسكنا عنهم ولم نطعهم في أن نشركهم في المعصية
Jadi, menurut Imam asy-Syafi’i ada 3 (tiga) mekanisme pengangkatan Imam, yakni pemilihan (umat atau para tokoh), penunjukan selain dirinya, dan kudeta “militer”, serta ketaatan umat kepada pemimpin wajib disesuaikan dengan keterikatan terhadap Syariah Islam, yakni mentaati dalam ketaatan kepada Allah dan tidak taat dalam kemaksiyatan. Adanya pemikiran tentang “proses pengangkatan” dan “kewajiban taat pada selain maksiyat” merupakan “pengakuan” terhadap kekuasaan umat, yang berbeda dengan pemikiran wilâyah an-nash-nya Syiah yang mirip dengan Sistem Monarki, yakni adanya “pewarisan” pada keturunan tertentu dan bersifat ma’shum, serupa dengan ungkapan l'état c'est moi, namun agak berbeda karena teori dasarnya ialah kedaulatan tuhan teokratis versi Syiah. Meskipun bisa jadi adanya penunjukan (istikhlâf) oleh ayah atau kerabatnya, namun kondisi “diturunkan” dapat terjadi, sebagaimana dinukil dari al-Umm, sebagai berikut:

وإذا عقد الخليفة فمات أو عزل واستخلف غيره فعليه أن يفي لهم بما عقد لهم الخليفة قبله

Dengan demikian, “kesalahan penerapan” pada masa tertentu berupa penunjukan yang mirip dengan “pewarisan” belum dapat terkategori sebagai Sistem Monarki, berbeda dengan teori Imamah-nya Syiah yang terkategori “pemikiran cabang”-nya. Menyamakan praktik para Khalifah Ahlus Sunnah dengan teori Syiah sebagai bagian dari Sistem Monarki adalah bentuk ketidakpahaman terhadap keduanya. Oleh karena itu, Imam asy-Syafi’i menamakan Imam Umar ibn Abdul Aziz ibn Marwan sebagai “khalifah”, meskipun proses peralihan kekuasaan-nya bukan pemilihan umat atau para tokoh, namun penunjukan dari kerabatnya, yakni Khalifah Sulaiman ibn Abdul Malik ibn Marwan, Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsar menukil sebagai berikut:

وبإسناده قال: أخبرنا الشافعي قال :أخبرني من أثق به من أهل العلم قال : أخبرني من سمع عمر بن عبد العزيز " وَهُوَ خَلِيْفَة " فِي يوم فطر ظهر على المنبر ...

Kewajiban Pemimpin Tunggal
Menurut Imam asy-Syafi’i, dalam Imamah Shalat ada teori kepemimpinan yang mesti dilaksanakan atau dengan kata lain ada keterkaitan antara shalat dan kekuasaan politik, sebagaimana dinukil dari al-Umm, sebagai berikut:

إذا دخل الوالي البلد يليه فاجتمع وغيره في ولايته فالوالي أحق بالإمامة ولا يتقدم أحد ذا سلطان في سلطانه في مكتوبة ولا نافلة ولا عيد ويروى أن ذا السلطان أحق بالصلاة في سلطانه فإن قدم الوالي رجلا فلا بأس وإنما يؤم حينئذ بأمر الوالي والوالي المطلق الولاية في كل من مر به ذو سلطان حيث مر "وَإنْ دَخَلَ الخَلِيْفَةُ بَلَدًا لاَ يَلِيْهِ وَبِالْبَلَدِ وَالِ غَيْرِهِ فَالخَلِيْفَةُ أَوْلىَ بِالصَّلَاةِ لِأَنَّ وَالِيَهُ إِنَّما وَلي بِسَبَبِه " وكذلك إن دخل بلدا تغلب عليه رجل فالخليفة أولى

Demikian pula, terdapat keterkaitan antara kepemimpinan dengan zakat, sebagaimana dinukil dari al-Umm, sebagai berikut:

ولو دفع الثلاث الشياه إلى عامل أحد البلدين ثم أثبت عنده أن ماشيته الغائبة قد تلفت قبل الحول كان على الساعي أن يرد عليه شاتين لأنه إنما وجبت عليه شاة قال: وسواء كان إحدى غنمه بالمشرق والأخرى بالمغرب " فِي طَاعَةِ خَلِيْفَة وَاحِد أو طَاعَةِ وَالِيَيْنِ مُتَفَرّقَيْنِ " إنما تجب عليه الصدقة بنفسه في ملكه لا بواليه

Bahkan Imam asy-Syafi’i lebih menyukai pelaksanaan jihad bersandar pada izin dari pemimpin, sebagaimana dinukil dari al-Umm, sebagai berikut:

وإذا غزا المسلمون بلاد الحرب فسرت سرية كثيرة أو قليلة بإذن الإمام أو غير إذنه فسواء " وَلَكِنِّي أَسْتَحِبُّ أَنْ لَا يَخْرُجُوا إِلَّا بِإذْنِ الإِمَامِ لِخِصَال " منها أن الإمام يغني عن المسألة ويأتيه من الخبر ما لا تعرفه العامة فيقدم بالسرية حيث يرجو قوتها ويكفها حيث يخاف هلكتها وإن أجمع لأمر الناس أن يكون ذلك بأمر الإمام وإن ذلك أبعد من الضيعة لأنهم قد يسيرون بغير إذن الإمام فيرحل ولا يقيم عليهم فيتلفون إذا انفردوا في بلاد العدو ويسيرون ولا يعلم فيرى الإمام الغارة في ناحيتهم فلا يعينهم ولو علم مكانهم أعانهم وإما أن يكون ذلك يحرم عليهم فلا أعلمه يحرم

Demikian pula, Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsar menukil sebagai berikut:

أخبرنا أبو سعيد حدثنا أبو العباس أخبرنا الربيع أخبرنا الشافعي رحمه الله قال: أستحب أن لا تخرجوا إلا بإذن الإمام بخصال

Kewajiban shalat, zakat, dan jihad pada asalnya merupakan hukum Syariah yang bersifat individual, namun Imam asy-Syafi’i mengisyaratkan keharusan adanya Khalifah/Imam dalam pelaksanaan ketiga perkara tersebut. Bahkan penukilan tentang zakat menggunakan ungkapan (في طاعة خليفة واحد). Demikian pula hukum tentang peradilan dan keuangan sebagaimana dinukil dari al-Umm, sebagai berikut:

فإن كان المحكوم عليه يقهر حاكم بلده بجند أو عز فسأل الطالب الخليفة رفعه إليه ...
وليس لأحد أن يعقد هذا العقد إلا الخليفة أو رجل بأمر الخليفة لأنه يلي الأموال كلها فمن عقده غير خليفة فعقده مردود ...

Dapat dikatakan bahwa Khilafah/Imamah menurut Imam asy-Syafi’i merupakan “metode penerapan” Syariah. Apabila ada penerapan hukum “tanpa kewenangan” meskipun “benar”, terkategori sebagai “pemberontakan”, pelakunya disebut sebagai ahl al-baghî sebagaimana dinukil Imam Ibn Mundzir dalam al-Isyrâf ‘alâ Madzâhib al-‘Ulamâ, sebagai berikut:

فكان الشافعي يقول: إذا ظهر أهل البغي على بلد من بلدان المسلمين فأقام إمامهم على أحد حداً لله أو للناس فأصاب في إقامته أو أخذ صدقات المسلمين ثم ظهر أهل العدل عليهم لم يعودوا عفى من حده إمام أهل البغي بحد ولا على من أخذوا صدقته بصدقة وكذلك ما أخذوا من خراج الأرض وجزية الرقاب لم يعد على من أخذوه منه

Adapun penukilan dari al-Umm, sebagai berikut:

وإذا ظهر أهل البغي على بلد من بلدان المسلمين فأقام إمامهم على أحد حدا لله أو للناس فأصاب في إقامته أو أخذ صدقات المسلمين فاستوفى ما عليهم أو زاده مع أخذه ما عليهم ما ليس عليهم ثم ظهر أهل العدل عليهم لم يعودوا على من حده إمام أهل البغي بحد ولا على من أخذوا صدقته عامة ذلك فإن كانت وجبت عليهم صدقة فأخذوا بعضها استوفى إمام أهل العدل ما بقي منها وحسب لهم ما أخذ أهل البغي منها

Jika kepemimpinan tunggal bukanlah kewajiban, maka penerapan Syariah Islam oleh ahl al-baghî semestinya tidak terkategori sebagai kejahatan kriminal yang layak diberi sanksi atau jarimah.

Hak Khusus Pengadopsian UU
Imam al-Fakh ar-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib menyebutkan bahwa Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i merupakan salah satu ulama yang menetapkan hukum musyawarah adalah sunnah bukan wajib.

ظاهر الأمر للوجوب فقوله: { وشاورهم } يقتضي الوجوب وحمل الشافعي رحمه الله ذلك على الندب فقال هذا كقوله عليه الصلاة والسلام: " البكر تستأمر في نفسها " ولو أكرهها الأب على النكاح جاز لكن الأولى ذلك تطييبا لنفسها فكذا ههنا

Demikian pula dinukil Imam al-Baihaqi dalam Ma’rifah as-Sunan wa al-Âtsar. Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut Imam asy-Syafi’i seorang Khalifah/Imam dibolehkan menetapkan UU tanpa bermusyawarah dengan umat atau para tokohnya, yakni ahlul halli wal ‘aqdi. Yang berarti dalam pengadopsian UU merupakan hak khusus bagi Khalifah/Imam.
Demikianlah, 4 (empat) prinsip Pemerintahan Islam menurut Imam asy-Syafi’i, sehingga bersandar pada pendapat Syaikhuna al-‘Allamah al-Qadhi Taqiyyuddin ibn Ibrahim an-Nabhani al-Azhari apabila terpenuhi 4 (empat) prinsip tersebut maka suatu pemerintahan dapat terkategori sebagai Sistem Pemerintahan Islam (Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm), dapat dinamakan Khilafah dan Imamah serta pemimpinnya dinamakan Imam, Khalifah, dan Amirul Mukminin. Begitupula, dalam kajian fiqih Imam asy-Syafi’i dapat ditemukan adanya teori mengenai Struktur Negara (Ajhizah ad-Daulah), semisal hukum tentang wali (pemerintahan daerah), jihad, dzimmah, shulh, peradilan, dan keuangan.
Apabila dibandingkan pemikiran Imam asy-Syafi’i mengenai Pemerintahan Islam dan Struktur Negara dengan fiqih siyasah ulama Syafi’iyyah setelahnya, termasuk Imam al-Mawardi dan Imam an-Nawawi, tidak ditemukan adanya “pertentangan”, bahkan dapat dianggap “melanjutkan” silsilah keilmuan dengan perincian hukum yang dibutuhkan sesuai problematika yang dihadapi.

Fiqih Siyasah Sebelum Imam asy-Syafi’i
Imam asy-Syafi’i memiliki sanad muttashil kepada para Shighâr ash-Shahâbah yang hidup hingga awal masa pemerintahan Bani Umayyah, yakni Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab radhiyallâhu ‘anhumâ, Abdullah ibn al-Abbas ibn Abdul Muthallib radhiyallâhu ‘anhumâ, dan Anas ibn Malik radhiyallâhu ‘anhu melalui para gurunya, yakni Imam Malik ibn Anas dan Imam Sufyan ibn ‘Uyainah. Sikap dan pemikiran ketiganya perlu dikaji apakah terdapat kesesuaian dengan pendapat-pendapat Imam asy-Syafi’i ataukah ada perbedaan yang dianggap “saling bertentangan”. Setidaknya apa yang diriwayatkan dari Ibn Umar dapat dianggap mewakili “arus utama” pemikiran Imam asy-Syafi’i, karena Imam Malik merupakan guru “paling utama” dengan mulâzamah-nya yang cukup lama.

Pemikiran dan Sikap Politik Abdullah ibn Umar
Abdullah ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Abdullah ibn Umar radhiyallâhu ‘anhumâ meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Apabila diperhatikan “situasi” saat Ibn Umar menyampaikan kedua hadits tersebut maka dapat dipahami bahwa Ibn Umar mengajarkan salah satu pemikiran mendasar mengenai hubungan yang benar antara rakyat dengan pemimpinnya, yakni hendaknya masing-masing pihak memandang yang lain bersandarkan pada pemikiran tentang “pembalasan akhirat”. Jadi, saat meriwayatkan kedua hadits ini, Ibn Umar sedang melaksanakan pembinaan (edukasi) politik Islam, sekaligus menasehati pemimpin dan rakyat agar membangun hubungan yang sinergis berdasarkan akidah Islam, sebagai bentuk pengawasan (kontrol) politik.
Adapun pernyataan politik Ibn Umar setidaknya dapat ditemukan pada 4 (empat) peristiwa, yaitu (1) saat menyikapi “pencalonan” Yazid ibn Mua’awiyah, (2) saat dikritik karena tidak bergabung dengan pasukan Abdullah ibn az-Zubair, (3) saat ditawari kekuasaan oleh Marwan ibn al-Hakam, dan (4) saat mendengar pengangkatan Abdul Malik ibn Marwan.
Adz-Dzahabi dalam Târîkh al-Islâm menyebutkan riwayat dari Nu’man ibn Rasyid dari az-Zuhri dari Dzakwan bahwa Ibn Umar berkata kepada Mu’awiyah:

فإنك قد كانت قبلك خلفاء لهم أبناء ليس ابنك بخير من أبنائهم فلم يروا في أبنائهم ما رأيت في ابنك ولكنهم اختاروا للمسلمين حيث علموا الخيار وإنك تحذرني أن أشق عصا المسلمين ولم أكن لأفعل إنما أنا رجل من المسلمين فإذا اجتمعوا على أمر فإنما أنا رجل منهم

Ibn Sa’ad dalam ath-Thabâqât al-Kubrâ meriwayatkan dari Ahmad ibn Abdullah ibn Yunus dari Abu Bakar ibn Iyasy dari ‘Ashim ibn Abu an-Najud mengenai dialog antara Marwan ibn al-Hakam dengan ibn Umar:

قال مروان لابن عمر: هلم يدك نبايع لك فإنك سيد العرب وابن سيدها قال قال له ابن عمر: كيف أصنع بأهل المشرق؟ قال تضربهم حتى يبايعوا قال: والله ما أحب أنها دانت لي سبعين سنة وأنه قتل في سببي رجل واحد

al-Bukhari dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh meriwayatkan dari Nafi’ mengenai dialog seorang laki-laki dengan Ibn Umar:

اتاه رجلان في فتنة ابن الزبير فقالا إن الناس صنعوا وأنت ابن عمر وصاحب النبي صلى الله عليه وسلم فما يمنعك أن تخرج فقال يمنعني أن الله حرم دم أخي فقالا ألم يقل الله وقاتلوهم حتى لا تكون فتنة فقال قاتلنا حتى لم تكن فتنة وكان الدين لله وأنتم تريدون أن تقاتلوا حتى تكون فتنة ويكون الدين لغير الله

al-Bukhari dalam al-Jâmi’ ash-Shahîh meriwayatkan dari Abdullah ibn Dinar bahwa Ibn Umar menulis kepada Abdul Malik ibn Marwan saat masyarakat membaiatnya:

إني أقر بالسمع والطاعة لعبد الله عبد الملك أمير المؤمنين على سنة الله وسنة رسوله ما استطعت

Dari berbagai periwayatan dapat dipahami bahwa Ibn Umar menghindari kepemimpinan dan kekuasaan bukan karena merasa “tidak mampu” namun menghendaki agar tidak ada “pemaksaan” kepada masyarakat untuk membaiat siapapun selama belum terjadi akad yang shahih. Ibn Umar menolak peperangan demi sebuah kekuasaan yang “belum sah” dan hal yang menjadi ukurannya ialah kerelaan sebagian besar masyarakat.
Oleh karena itu, Ibn Umar bersikap “netral” kepada Yazid ibn Muawiyah dan Abdullah ibn Zubair, namun secara jelas “mendukung” Abdul Malik setelah wafatnya Ibn Zubair, serta menolak dicalonkan oleh Bani Umayyah jika akibatnya mesti berperang dengan penduduk “bagian Timur”, yakni Irak. Dengan demikian sikap “diam”-nya Ibn Umar selama konflik yang ditimbulkan Bani Umayyah merupakan bagian dari aktivitas politik aktif, bukan pasif. Dapat dikatakan semua perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perjuangan politik (Kifâh as-Siyâsî).
Jika manaqib atau biografi Imam asy-Syafi’i dikaji secara mendalam dapat ditemukan adanya “kemiripan” antara sikap Sayyiduna Ibn Umar dengan Imam asy-Syafi’i, yakni mengakui adanya “sistem baku” pemerintahan, namun “menjaga jarak” dengan kekuasaan serta menempuh kritik tanpa “perlawanan keras”.
Jadi, apabila ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa Ibn Umar memerintahkan para penerusnya agar memberikan zakat kepada para penguasa sekalipun bukan kepemimpinan yang adil, bukan berarti Ibn Umar bersikap “masa bodoh” terhadap politik, namun mesti digabungkan dengan pemikiran dan sikap Ibn Umar yang lain, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Apalagi dengan “tergesa-gesa” mengambil simpulan bahwa Syariah Islam dapat diamalkan sekalipun rezim dan sistemnya tidak sesuai dengan Syariah disertai “tuduhan” bahwa tidak ada “sistem baku” yang dapat ditetapkan sebagai Sistem Pemerintahan Islam.

Khatimah
Penolakan terhadap dakwah Islam yang fokus terhadap upaya mewujudkan al-Khilâfah ‘alâ Minhâj an-Nubuwwah merupakan pemikiran gharib yang tidak perlu diperhatikan. “Sistem” Khilafah merupakan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang diwariskan para Sahabat, semisal Ibn Umar, kepada para ulama setelahnya, termasuk Imam Muhammad ibn Idris asy-Syafi’i, kemudian dilanjutkan para fuqaha dengan penyusunan teori yang sistematis dengan istilah al-Ahkâm ash-Sulthâniyyah, as-Siyâsah asy-Syar’iyyah, dan semisalnya, sebagaimana ditempuh oleh Qadhi al-Qudhah al-Imam Ali ibn Muhammad al-Mawardi asy-Syafi’i, al-Imam al-Qadhi Abu Ya’la al-Hanbali, Imam al-Haramain al-Imam Abu al-Ma’ali Abdul Malik ibn Abdullah al-Juwaini asy-Syafi’i, Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafizh Yahya ibn Syaraf an-Nawawi, Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin Ibn Taimiyyah al-Hanbali, hingga ke era muta`akhirin, semisal Syaikh Ibn Abidin Afandi al-Hanafi, Syaikh al-Azhar al-‘Allamah Sayyid Muhammad al-Khidhir ibn Husain al-Maliki, Syaikh Dhiyauddin ar-Rais, Syaikh Muhammad ath-Thahir ‘Asyur, Syaikh Abdul Wahhab Khallaf, Syaikh Abu al-A’la al-Maududi, al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Taqiyyuddin ibn Ibrahim an-Nabhani al-Azhari, Syaikh Abdullah ibn Umar ad-Dumaiji, Syaikh Wahbah az-Zuhaili, Syaikh Abdurrahman al-Jaziri, dan yang lainnya.
“Kesepakatan Teori” dari para ulama dari berbagai negeri dan madzhab tersebut menunjukkan bahwa Pemerintahan Islam memiliki “sistem baku” dengan prinsip-prinsip tertentu yang mendasar dan gambaran strukturisasi negara yang jelas, meskipun terdapat ikhtilaf yang mu’tabar pada beberapa rincian hukum. Kami memandang “Kesepakatan Teori” merupakan pemikiran yang sanadnya muttashil kepada para ulama al-Madzahib al-Mu’tabarah, bukan hanya Imam asy-Syafi’i, namun juga Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit, Imam Malik ibn Anas, dan Imam Ahmad ibn Hanbal. Wallâhu A’lâm.

Purwakarta, Muharram 1440 H/ September 2018 M
Ahmad Abdurrahman al-Khaddami al-Jawi asy-Syafi’i

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages