لَمَّا بَلَغَ رَسُولَ اللَّهِ أَنَّ أَهْلَ
فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى، قَالَ: " لَنْ يُفْلِحَ
قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً "
(رواه البخاري)
Tatkala sampai kepada Rasulullah, penduduk Persia telah dipimpin oleh
seorang wanita putri Kisra. Beliau bersabda: “Suatu kaum tidak akan beruntung,
jika dipimpin oleh seorang wanita”
1. Hadits dengan redaksi ini dan yang semakna
diriwayatkan melalui jalur sahabat: (a)Abu Bakr ra; (b)Jābir bin Samurah ra.;
(c)Nāfi’ bin al-Hārits yang dengan ism kunyah Abū Bakrah
2. Hadits yang memalui jalur: (a) Abu Bakr ra.
disebutkan oleh al-Bushiri (w. 695 H) dalam ithāf al-Khairah al-Mahrah (no.
5828), beliau berkomentar para perawinya tsiqāh (terpercaya) ; (b)Jābir
bin Samurah ra. diriwayatkan oleh ath-Thabrāniy dalam al-Mu’jam al-Ausath (no.
4855)
3. Untuk jalur sahabat Abu Bakrah, kita akan ambil
faedah dari kitab takhrij hadits: (a)al-Jāmi’ ash-Shaghīr karya as-Suyuthi (w.
911 H), disusun dengan metode lafadz pertama matn hadits, hadits ini ditemukan di
jilid 2 hal. 233 bab (حرف اللام) diikuti (النون) karena matn hadits diawali: (لَنْ), setelah disebut matn hadits ditulis 2 keterangan: pertama, ((
حم خ ت ن ) عن أبي بكرة) artinya: hadits ini diriwayatkan: (حم) Ahmad dalam Musnadnya, (خ) Bukhari dalam Shahihnya, (ت) at-Tirmidzi dalam Sunannya, (ن) an-Nasai dalam Sunannya. Periwayatan yang disebut dalam kitab
ini melalui jalur (عن أبي
بكرة) yakni
sahabat Nabi Abu Bakrah ra.; kedua, ( صح ) artinya
hadits ini shahih. (b)Tuhfat al-Muhtaj ila Adillat al-Minhaj karya Ibn Mulqin
(w. 804 H) guru dari al-Hafizh Ibn Hajar, masuk kategori kitab takhrij hadits yang
disusun berdasarkan tema-tema fiqh, hadits yang kita kaji terdapat di pasal (الْإِمَامَة), dapat dipahami bahwa hadits ini memiliki kandungan fiqh yang
berkaitan dengan wilayah Imamah yakni berhubungan dengan penguasa dalam
pemerintahan.
4. Hadits ini shahih. Dengan alasan: (a)perawi
memiliki karakteristik sifat ‘adil yang terpercaya dan tingkat kapasitas
intelektual yang baik; (b)sanadnya muttashil (bersambung), istilah teknis periwayatan
menunjukkan liqa’ (bertemu) dan sama’ (mendengar), dalam beberapa kitab
digunakan istilah: haddatsanā, akhbaranā, akhbaranīy, adapun (عن) dari perawi yang diduga tadlis, perlu diketahui hadits ini ada
di shahih Bukhari berdasarkan penjelasan at-Taqrib dan Tadrib ar-Rawi (hal.
149): jika pun tadlis maka tidak terkategori dusta, periwayatan dengan (عن) dalam shahih Bukhari merupakan metode at-tashrih bis samā’, juga
terdapat jalur lain, hingga tidak mengubah status muttashilnya; (c)sanad dan
matn tidak memiliki cacat dan kejanggalan.
5. Ungkapan (أَمْرَهُمُ) bermakna urusan mereka, isim ini (أَمْرَ) dimakrifatkan dengan ism al-mudhmar (هُمُ) dan ini merupakan bentuk umum (صيغة العام). Apakah mencakup keumuman urusan segala sesuatu? apakah hadits
ini meliputi kewalian (الولاية) dalam segala urusan?, kaidah yang berlaku:
(أن عموم اللفظ في خصوص السبب هو عموم في
الموضوع الذي جرى الحديث عنه، ليس عموما في كل شيئ),
lafadz umum pada riwayat yang datang dengan latar belakang kejadian
tertentu berfaedah umum pada topik kejadian saat peristiwa itu berlangsung,
jadi tidak bermakna umum dalam segala urusan. Latar belakang kejadian
(أَنَّ أَهْلَ فَارِسَ قَدْ مَلَّكُوا
عَلَيْهِمْ بِنْتَ كِسْرَى)
dan topik kejadiannya (رئيس الدولة) yakni kepala negara, putri kisra diangkat menjadi kaisar dari
kekaisaran persia. Dimana letak keumumannya? bahwa hadits ini tidak hanya
berlaku saat peristiwa pengangkatan putri kisra sebagai kepala negara terjadi,
akan tetapi juga berlaku umum pada setiap pengangkatan wanita sebagai penguasa
dalam pemerintahan. Kenapa berlaku juga bagi kaum selain persia dan wanita
selain putri kisra? karena kata (قَوْمٌ) dan (امْرَأَةً) datang setelah perangkat nafy yakni (لَنْ), hingga berlaku kaidah (النكرة في سياق النفي تفيد العموم). Jadi kata (قَوْمٌ) bermakna umum, tidak hanya berlaku bagi kaum persia saja dan (امْرَأَةً) juga bermakna umum, tidak hanya berlaku bagi putri kisra saja.
Hadits ini tidak mencakup kewalian dalam segala urusan, syariat membolehkan
wanita menjadi wali bagi anak kecil, dan urusan lain yang diperbolehkan.
6. Hadits ini termasuk redaksi thalab
(tuntutan), karena pemberitahuannya disertai celaan yang menafikan
keberuntungan, yakni (لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ), (لَنْ) berfaedah
(لتأكيد النفي عن الأفعال المستقبلة)
maksudnya menegaskan
penafian keberuntungan di masa yang akan datang. Dengan demikian, hadits ini
berisi larangan yang tegas, yakni melarang diangkatnya wanita menjadi penguasa
dalam pemerintahan, dengan kategori hukum haram. Al-Qadhi Abu Bakr bin al-‘Arabiy
berkata: hadits ini merupakan nash bahwa wanita tidak boleh menjadi khalifah
dan tiada perselisihan pendapat dalam perkara ini (al-jami’ li ahkam al-Qur’an,
13/183). Allaahu a’lam