Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Friday, April 10, 2015

Politik Dan Memperhatikan Kondisi Masyarakat

Pengertian politik (السياسة) Islam ialah:
رعاية شئون الامة بالداخل والخارج وفق الشريعة الاسلامية (الكتاب: معجم لغة الفقهاء ، المؤلف: محمد رواس قلعجي - حامد صادق قنيبي، ج 1 ص 252)
Mengurusi urusan masyarakat di dalam dan luar negeri sesuai dengan syari’at Islam

Ungkapan yang akar katanya sama dengan as-Siyâsah juga disebut dalam salah satu hadits Nabi saw.
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ» قَالُوا: فَمَا تَأْمُرُنَا؟ قَالَ: فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ ... (صحيح البخاري)
Dahulu bani Israil diurus oleh para Nabi, ketika meninggal maka digantikan Nabi yang lain, akan tetapi setelahku tidak ada Nabi, melainkan akan ada para khalifah yang banyak. Para sahabat bertanya: apa yang engkau perintahkan ke pada kami  ?; Beliau saw menjawab: penuhi baiat yang awal dan awal

Kata (تَسُوسُ) memiliki akar kata yang sama dengan (السياسة), sehingga dalam Syarh Nawawi ‘ala Shahîh Muslim diungkapkan:
 (باب وجوب الوفاء ببيعة الخليفة الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ قَوْلُهُ ...) .... أَيْ يَتَوَلَّوْنَ أُمُورَهُمْ كَمَا تَفْعَلُ الْأُمَرَاءُ وَالْوُلَاةُ بِالرَّعِيَّةِ وَالسِّيَاسَةُ الْقِيَامُ عَلَى الشيء بما يصلحه  ... (الكتاب: المنهاج شرح صحيح مسلم ، المؤلف: النووي  ، ج 12 ص 231)
(Bab Wajib Memberikan Bai’at Khalifah yang awal dan awal, Beliau saw. bersabda ...) ...  (تَسُوسُهم) yaitu memperhatikan urusan-urusan mereka seperti yang dilakukan para al-umarâ’ dan al-wulât terhadap rakyat dan menegakkan urusan dengan mendatangkan kemashlatan

Sesudah masa Nabi Muhammad saw. yang melakukan tugas tersebut ialah khalifah yang wajib dibai’at agar menegakkan urusan masyarakat sesuai risalah Islam.

Memperhatikan urusan masyarakat merupakan sunnah Rasulullâh saw. yang harus kita amalkan, riwayat dari Hudzaifah ra. dari Rasulullâh:
"مَنْ لاَ يَهْتَمُّ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ، فَلَيْسَ مِنْهُمْ ...". رواه الطبراني  في الأوسط، والصغير، وفيه عبد الله بن جعفر الرازي، ضعفه محمد بن حميد، ووثقه أبو حاتم وأبو زرعة، وابن حبان. (الكتاب: مَجْمَعُ الزَّوَائِدِ وَمَنْبَعُ الفَوَائِدِ ، المؤلف: الهيثمي (المتوفى: 807هـ)، ج 2 ص 40)
Siapa saja yang tidak memikirkan urusan kaum muslimin maka ia bukan bagian dari mereka ...
Imam al-Haitsami berkata: diriwayatkan ath-Thabrani dalam al-Ausath dan ash-Shaghir. Ada perawi yang bernama ‘Abdullah bin Ja’far ar-Râziy, ia didhaifkan oleh Muhammad bin Hamid, dan ditsiqahkan oleh Abu Hâtim, Abu Zur’ah, dan ibn Hibban

Sebagian ulama menilai hadits ini dhaif, diantaranya ialah asy-Syaukânîy dalam kitab al-Fawâ’id al-Majmû’ah (1/83) berkata:
(حديث من لم يهتم بأمر المسلمين فليس منهم قال في المختصر ضعيف). Adapun bagi kita, pandangan yang ditabanni ialah hadits dhaif tidak boleh diamalkan. Bagaimana bisa hadits ini dijadikan landasan?: (a) Abu Hatim ar-Raziy termasuk perawi yang muta’annit (متعنت) dan musyaddid (مشدد), yaitu (هَذَا الْجَارِح توثيقه مُعْتَبر) jârih seperti ini penilaian tsiqah-nya dapat dijadikan pegangan (Abu al-Hasanat (w. 1304 H), ar-Raf’u wa at-Takmîl, hal. 275) mengapa demikian? karena, mereka ialah: 
(يغمز الواحد منهم الراوي بالغلطتين والثلاث ويلين بذلك حديثه) mereka menilai jarh perawi hanya karena dua atau tiga kesalahan dan melemahkan haditsnya (Sa’dîy bin Mahdîy, Ikhtilâf Aqwâl an-Naqâd fîy ar-Rawâtil Mukhtalif, hal. 21), sementara Abu Hatim memberi penilaian tsiqah kepada ‘Abdullâh bin Ja’far; (b) Ibn Rajab dalam Jami’ al-‘Ulum wal Hikam mencantumkan hadits dari Hudzaifah ini tanpa komentar sebagai pertanda haditsnya maqbul (diterima); (c) ada beberapa sanad hadits ini yang dha’if, akan tetapi termasuk:
( تلقاه العلماء بالقبول ) yang wajib diambil dan boleh diamalkan, bahkan ulama ahli tahqîq seperti Ibn Taimiyyah, as-Subkîy, dan Ibn ‘Abd as-Salâm mengambil hadits ini dan beberapa hadits lain walau “isnadnya” perlu dikaji, juga dijadikan dalil dan sandaran salah satu rukun tasyri’ (arsyîf multaqâ al-hadits 4, juz 1 hal. 6747); (d) untuk matn hadits ternyata sejalan dengan al-Qur’an dan hadits yang shahih, hingga dikatakan hadits ini diriwayatkan secara makna, tentang periwayatan bilma’na Ibn Katsir mengutarakan:

وأما إذا كان عالماً بذلك، بصيراً بالألفاظ ومدلولاتها، وبالمترادف من الألفاظ ونحو ذلك - : فقد جوز ذلك جمهور الناس سلفاً وخلفاً وعليه العمل (الكتاب : الباعث الحثيث في اختصار علوم الحديث ، المؤلف : ابن كثير، ص 18)
Dan adapun bila diriwayatkan orang yang ‘alim dalam riwayatnya, bashîran dengan lafazh dan maksud lafazh, mengetahui sinonim diantara lafazh-lafazh: maka diperbolehkan oleh jumhur manusia, baik salaf maupun khalaf dan diamalkan

Jadi, dalil ini maqbul (diterima) dan diamalkan.

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages