kami sajikan jawaban singkat untuk beberapa isu. Isu ini muncul dalam forum umum dan ada juga yang muncul saat diskusi bersama rekan di batam. jawaban ini belum tentu memuaskan karena membutuhkan perincian yang lebih lanjut
Islam tidak menentukan bentuk negara khusus, karena negara hanya wasilah ?. Perlu Dipahami: (a) secara i’tiqad, Islam telah
menjelaskan seluruh perkara. Imam as-Syâfi’i dalam ar-Risâlah mengutarakan:
قال الشافعي فليست
تنزل في أحد من أهل دين الله نازلة إلا وفي كتاب الله الدليل على سبيل الهدى فيها (الكتاب : الرسالة
المؤلف : الإمام الشافعي ، ص 20 )
Asy-Syâfi’îy berkata: tiada
satupun diantara persoalan dari ahli agama melainkan di dalam kitab Allâh
terdapat dalil yang memberi jalan petunjuk dalam persoalan tersebut.
Dan Abdullâh bin Mas’ud ra. mengutarakan:
قد بين لنا في هذا القرآن كل علم ... |فَإِنَّ الْقُرْآنَ
اشْتَمَلَ عَلَى كُلِّ عِلْمٍ نَافِعٍ مِنْ خَبَرِ مَا سَبَقَ، وَعِلْمِ مَا
سَيَأْتِي، وَحُكْمِ كُلِّ حَلَالٍ وَحَرَامٍ، وَمَا النَّاسُ إِلَيْهِ محتاجون في
أمر دنياهم ودينهم ... (الكتاب:
تفسير القرآن العظيم، المؤلف بن كثير، ج 4 ص 549)
sungguh telah dijelaskan kepada kami dalam al-Qur'an ini segala ilmu ... | Sungguh al-Qur’an mencakup seluruh ilmu yang bermanfaat, diantaranya
tentang kabar yang telah lalu, dan ilmu dari kabar yang akan datang, ketetapan
seluruh perkara halal dan haram, dan apa saja yang manusia butuhkan dalam
urusan dunia dan agama mereka...
(b) adanya larangan
beramal dengan sesuatu yang tidak sesuai petunjuk Nabi saw., baik itu dalam
konteks ghayâh maupun washilah. Rasulullâh saw. bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (صحيح البخاري)
Siapa saja yang beramal dan tiada perintah kami dalam urusan tersebut
maka tertolak
Kata (عَمَلًا) dalam bentuk isim
nakirah, kalimatnya berpola syarat (جملة الشرطية) ditandai dengan perangkat
syarat (ادات الشرط) yaitu (مَنْ) dan jawaban berupa (فَ) pada (فَهُوَ). Ketika isim nakirah berada dalam kalimat
berpola syarat, maka kata tersebut bermakna umum, jadi (عَمَلًا) bermakna umum yang mencakup tujuan dan washilahnya
mesti berdasarkan ketetapan Nabi. Tidak ada satupun dalam al-Qur’an, as-Sunnah
maupun ijma’ shahabat yang menetapkan bahwa republik, kerajaan maupun
kekaisaran adalah washilah yang diizinkan Nabi. Karena dalam al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma’ Shahabat hanya menyebut khilafah, khalifah serta tidak ada
satupun dari kalangan ulama mu’tabar yang menyamakannya dengan kerajaan,
republik maupun kekaisaran.
Hadits ahad ialah hujjah dalam perkara aqidah. Untuk mengetahui hal ini perlu memperhatikan poin-poin berikut: (a)
mengingkari sesuatu yang tergolong bagian dari al-Qur’an hukumnya kufur,
az-Zarqânîy menuturkan:
قال النووي في شرح المهذب ما نصه: ... وأن من جحد شيئا منها كفر (الكتاب: مناهل العرفان في علوم القرآن،
المؤلف: الزُّرْقاني، ج 1 ص 275)
“telah berkata an-Nawawi dalam Syarh al-Muhadzab: ...dan
orang yang mengingkari sesuatu (yang tergolong al-Qur’an ) adalah kufur hukumnya.
”
(b) terdapat qira’at ahad
dengan sanad yang shahih akan tetapi tidak dimasukkan sebagai bagian dari
al-Qur’an,
ما صح سنده ... وهذا النوع لا يقرأ به ولا يجب اعتقاده. من ذلك ما أخرجه
الحاكم عن طريق عاصم الجحدري عن أبي بكرة أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قرأ:
"مُتَّكِئِينَ عَلَى رَفَارِفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ" (سورة
الرحمن: 76) ، ومنه قراءة: "لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ
أَنْفَسِكُمْ"( سورة التوبة 128) بفتح الفاء (الكتاب: مباحث في علوم القرآن ، المؤلف: صبحي الصالح ، ج 1
ص 257)
(qira’at ahad) yakni qira’at yang shahih sanadnya ... jenis ini
tidak diamalkan untuk dibaca dan tidak wajib diyakini. Diantara
contohnya ialah yang diriwayatkan al-Hâkim dari jalur ‘âshim dari Abî al-Bakrah
ra. bahwasannya Nabi saw. membaca
(مُتَّكِئِينَ
عَلَى رَفَارِفٍ خُضْرٍ وَعَبَاقَرِيٍّ حِسَانٍ) dan juga qira’at (ibn ‘Abbas ra.) :
(لَقَدْ
جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفَسِكُمْ) dengan (فَ) yang dibaca fathah
Pemaparan ini cukup menjadi tambahan
argumentasi bahwa riwayat ahad yang sanadnya shahîh bukan hujjah
dalam aqidah, kufur hukumnya menolak sesuatu yang menjadi bagian dari
al-Qur’an. Akan tetapi, dalam standarisasi al-Qur’an, para sahabat tidak
mengambil riwayat ahad yang shahih untuk diyakini sebagai bagian dari
al-Qur’an. Dan para ulama memahami sebagaimana yang dipahami sahabat Nabi,
dalam Fath al-Bârîy (13/234) Ibn Hajar al-Asqalânîy mengutip pernyataan
al-Kirmânîy: (لِيُعْلَمَ إِنَّمَا هُوَ فِي الْعَمَلِيَّاتِ لَا فِي
الِاعْتِقَادِيَّاتِ) “Hendaklah
diketahui, bahwa (hadits ahad) hanya berlaku dalam masalah amaliyah, bukan
dalam masalah i’tiqadiyah”
Mati dalam keadaan jahiliyyah. Dikhawatirkan memberi kesan bahwa matinya dalam keadaan kafir. Perlu kita perhatikan hadits dari Nabi saw. diungkapkan sebagai berikut :
(وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ، مَاتَ
مِيتَةً جَاهِلِيَّة) riwayat Muslim dalam
kitab Shahih-nya. (a) Ibn Hajar dalam Fath al-Bariy (13/7)
mengutarakan maksud dari mati jahiliyyah:
(حَالَةُ
الْمَوْتِ كَمَوْتِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ عَلَى ضَلَالٍ وَلَيْسَ لَهُ إِمَامٌ
مُطَاعٌ)
“keadaan meninggalnya seperti meninggalnya
orang jahiliyyah di atas kesesatan dan tiada bagi mereka imam yang ditaati”,
apakah artinya mati dalam keadaan kafir ?,
(وَلَيْسَ
الْمُرَادُ أَنَّهُ يَمُوتُ كَافِرًا بَلْ يَمُوتُ عَاصِيًا) “dan yang dimaksud bukan mati dalam keadaan kafir akan tetapi
meninggal dalam keadaan bermaksiat” (Fathul Bariy, 13/7). (b)
Yahya bin Hubairah asy-Syaibânîy (w. 560 H) mengutarakan:
وقوله: (من مات
وليس في عنقه بيعة) أي لا إمام له، وهذا يدل على أنه لا يسوغ أن يظل المسلمون أكثر
من ثلاثة أيام مدة الشورى إلا وفي أعناقهم بيعة لإمام يرجعون إليه ( الكتاب: الإفصاح عن معاني الصحاح، المؤلف:
يحيى بن (هُبَيْرَة بن) محمد بن هبيرة الذهلي الشيبانيّ، أبو المظفر، عون الدين
(المتوفى: 560هـ)، ج 4 ص 262)
dan sabda Beliau saw. (siapa saja yang
mati sementara dipundaknya tidak ada bai’at) yaitu tidak ada imam di
tengah-tengah mereka, hal ini adalah dalil bahwa tidak diperbolehkan bagi
umat Islam lebih dari 3 hari batas waktu musyawarah tidak memiliki bai’at di
pundak mereka kepada Imam (penguasa) yang mereka kembali kepadanya.
Hal ini menunjukkan wajibnya
membai’at Imam, karena bila tidak
dipenuhi maka ia meninggal dalam keadaan maksiat yang diserupakan dengan mati jahiliyyah
(ini qarinah yang jazm menunjukkan kewajiban tersebut). Kewajiban
ini tidak terpenuhi kecuali dengan melaksanakannya, karena termasuk kewajiban
yang mu’ayyan. Tidak diberi pilihan seperti halnya kafarat sumpah
yang termasuk ghayr mu’ayyan. Artinya, berdakwah pun bukan pengganti
kewajiban tersebut, akan tetapi dapat dijadikan hujjah di hadapan Allâh
saat ajal menjemput sementara belum berbai’at kepada khalifah. Semua
kembali pada keadaan, apakah Allâh menerima pengorbanan dakwahnya ataukah
tidak. faghfirlanâ yâ Rabb
Periodisasi kekuasaan di tengah Umat dan tegaknya Khilafah Islamiyyah
oleh Imam Mahdi. Periodisasi khilafah dapat
diperhatikan dari hadits riwayat Ahmad dalam musnad Ahmad (30/355) dari
Habib bin Sâlim dari an-Nu’man bin Basyîr bahwa Hudzaifah bahwa Rasulullâh saw.
bersabda:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ ... ثُمَّ
تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ... ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا
عَاضًّا ... ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً ... ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى
مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ ... ثُمَّ سَكَتَ
Di tengah-tengah kalian ada masa
kenabian ... kemudian akan ada masa khilafah (خِلَافَةٌ , ta’ dibaca dhommatain)
yang mengikuti manhaj kenabian ... kemudian akan ada masa penguasa (مُلْكًا , kaf dibaca
fathatain) yang menggigit ... kemudian akan ada masa penguasa (مُلْكًا , kaf dibaca
fathatain) yang memaksa ... kemudian muncul kembali masa khilafah (خِلَافَةً dengan ta’ dibaca fathatain)
... kemudian Beliau diam
Dalam kitab matn ajrûmiyyah
ada bab (العوامل
الداخلة على المبتدأ و الخبر) “amil – amil yang
masuk dalam mubtada’ dan khabar” diantaranya ada (كان و أخواتها), dan pengaruh “kâna dan saudara-saudaranya”
ialah :
(فإنها
ترفع الاسم , وتنصب الخبر) “me-rafa’-kan isim dan men-nashab-kan khabar”;
(a) setelah takûnu (fi’il mudhâri’, maa tushrifu minha,
tashrif dari kâna) ada (مُلْكًا عَاضًّا), dengan mulkân ialah khabar dari (تَكُونُ), tandanya nashab, dengan isim takûnu
yang mahdzûf (disembunyikan), kembali pada alur awal dan taqdirûhu (perkiraannya):
khilafatun; sementara ‘âdhân adalah khabaru tsâni dari khilafatun,
Sehingga maknanya: (ثم تكون خلافتكم ملكا عاضا) “kemudian akan ada masa
khilafah kalian (layaknya) raja yang menggigit”; kemudian (b)
setelah takûnu ada (مُلْكًا جَبْرِيَّةً), mulkan sebagaimana poin a, dan (جَبْرِيَّةً) ialah khabaru tsâni dari khilafatun.
Dengan makna (ثم تكون خلافتكم ملكا
جبريةً)
“kemudian akan ada masa khilafah kalian (layaknya) raja yang memaksa”; (c)
marhalah (مُلْكًا
عَاضًّا)
dan (مُلْكًا
جَبْرِيَّةً)
berhubungan dengan isim takûnu yang mahfdzûf yang
diperkirakan yaitu khilafatun, artinya ini adalah periodisasi khilafah,
sulit untuk mengatakan awal mula khilafah mulkan jabariyyatan, akan
tetapi menurut dugaan kami, masa ini terjadi saat khilafah utsmaniyyah, tandanya:
muncul (دُعَاةٌ إلى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ) “penyeru ke pintu
jahannam – hadits riwayat Baihaqi (dala’il an-Nubuwwah, 1521)”, siapa
mereka? dijelaskan oleh an-Nawawi:
(قَالَ الْعُلَمَاء:هَؤُلَاءِ
مَنْ كَانَ مِنْ الْأُمَرَاء يَدْعُو إِلَى بِدْعَة أَوْ ضَلَال (المنهاج
شرح صحيح مسلم, 6: ص 320))
“para ulama menjelaskan: mereka ialah para
umara’ yang menyeru kepada bid’ah dan kesesatan”,
seperti pemberlakuan
sistem pendidikan ala Perancis di Suriah
dan Mesir, Sultan Mahmud II merancang sivilisasi Barat, kemudian anaknya Abdul
Majid melanjutkan dan memunculkan al-Mansyur yang dijuluki Firman
al-Kalkhanah tahun 1839 Masehi yang merancang al-hurriyah asy-syakhshiyyah,
al-hurriyah al-fikriyyah, juga persamaan muslim dengan non muslim beruntun
setelah peristiwa ini lahir perundang-undangan ala Barat, mendirikan bank-bank
dengan pinjaman bunga (diungkap dalam catatan panjang dalam Muqaddimah kitab
Ittijâhât at-Tafsîr fil ‘Ashri ar-Rahin karya DR. Abdul Majid Abdussalam
al-Muhtasib). (d) marhalah tersebut berlanjut dengan runtuhnya
khilafah. Bukankah dalam teks hadits riwayat Ahmad tidak disebutkan ? ya, akan
tetapi muncul dalam riwayat lain, yaitu (i) Anas bin Malik menuturkan
penjelasan urutan waktu sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: إِنَّهَا نُبُوَّةٌ وَرَحْمَةٌ , ثُمَّ
خِلَافَةٌ وَرَحْمَةٌ , ثُمَّ مُلْكٌ عَضُوضٌ , ثُمَّ جَبْرِيَّةٌ , ثُمَّ
طَوَاغِيتُ
“dari Anas: sungguh ada kenabian dan rahmat, kemudian khilafah dan rahmat,
kemudian raja yang menggigit, kemudian penguasa yang memaksa dan kemudian
para thaghut” (‘Utsman ad-Dânîy (w. 444 H), as-Sunan al-Wâridat fil
Fitan, 4/824);
(ii) beristidlâl dengan jalan ini sesuai
dengan pemahaman terhadap ayat al-Qur’an
(ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ
تُرْجَعُونَ),
antara kematian dan kehidupan kembali ada peristiwa yang banyak namun tidak
disebutkan dalam ayat, akan tetapi muncul dalam nash lain, semisal tanya
jawab di alam kubur, jasad yang dimakan ulat, dsb. Bagaimana dengan khilafah
‘ala minhaj an-Nubuwwah yang kedua ? (e) (خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ), ungkapan (خِلَافَةً) ialah khabar dari (تكون) dengan tanda nashab, dan isim takûnu
mahdzûf (disembunyikan), taqdirûhu (perkiraannya): khilafatun
yang disebut di awal setelah masa kenabian. Dengan demikian, maknanya (ثم تكون خلافتكم خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ نُبُوَّةٍ) “kemudian akan ada masa
khilafah kalian (layaknya) khilafah yang sesuai metode kenabian”. Pelajaran
dari teks terakhir ini, terkait isim dan khabar kâna dan
atau tashrîf-nya itu menurut kitab at-Tuhfatus Saniyyah bi
syarhil Muqaddimah al-Ajurrumiyyah : (وهو
يفيد اتصاف الاسم بالخبر) “memberi makna mensifati isimnya dengan
khabar” (hal.75) jadi maksudnya: khilafah setelah masa para thaghut (yaitu
masa sekarang) ialah negara yang para pendiri dan masyarakat tempat
ditegakkannya disifati layaknya kutlah Nabi saw dengan para sahabat dan
masyarakat di Madinah menjelang bai’at dan tegaknya Daulah Islam. Pertanyaan :
Apakah kita sudah memposisikan diri layaknya mereka ?, bila belum: ilâ mata
(sampai kapan ?)
Adapun
Imam Mahdi, ia tidak akan pernah muncul sebelum tegaknya khilafah. Hal ini
sebagaimana yang dituturkan Nabi saw. dalam hadits shahih sebagai berikut:
يَكُونُ اخْتِلَافٌ عِنْدَ مَوْتِ خَلِيفَةٍ، فَيَخْرُجُ مِنْ بَنِي
هَاشِمٍ ... وَيُلْقِي الْإِسْلَامُ بِجِرَانِهِ إِلَى الْأَرْضِ، فَيَعِيشُونَ
بِذَلِكَ سَبْعَ سِنِينَ ". أَوْ قَالَ: " تِسْعَ». رَوَاهُ
الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ. (الكتاب: مجمع
الزوائد ومنبع الفوائد، المؤلف: أبو الحسن نور الدين علي بن أبي بكر بن سليمان
الهيثمي (المتوفى: 807هـ)، ج 7 ص 315)
Terjadi perselisihan saat meninggalnya
seorang khalifah, maka saat itu keluar seorang laki-laki dari
Bani Hasyim ... dan ia memenuhi seluruh muka bumi dengan Islam. Ia berkuasa 7
tahun atau perawi berkata: 9 tahun. Diriwayatkan ath-Thabrânîy dalam kitab
al-Awsath dengan para perawi yang shahih.
Peran wanita dalam perjuangan menegakkan Khilafah. Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani menuturkan bahwa
(الأصل
في المرأة أنها أم وربة بيت، وهي عِرض يجب أن يُصان) “Hukum asal seorang wanita dalam Islam adalah
“Ummun wa Rabbatul Bait”, karena ia adalah kehormatan yang wajib dijaga” (Muqaddimah ad-Dustûr, 1/230), dam dalam kitab Nizhamul
Ijtima’iy (1/84) beliau menyampaikan:
وعليه
فإنه يجب أن يكون واضحاً أنه مهما أُسند للمرأة من أعمال، ومهما ألقي عليها من
تكاليف، فيجب أن يظل عملها الأصلي هو الأمومة، وتربية الأولاد
“Atas dasar ini, maka harus menjadi jelas bahwa bagaimanapun
aktivitas yang disandarkan pada wanita, bagaimanapun taklif yang dibebankan
pada wanita, maka aktivitas utamanya harus tetap berupa aspek
keibuan dan mendidik serta membesarkan anak.”
Perlu
diketahui bahwa aktivitas seorang wanita muslimah sebagai seorang ibu dan
pengatur rumah tangga bukan sekedar kewajiban, akan tetapi merupakan aktivitas
utama yang menjadi hukum asal apa maksudnya ? (a) hukum asal (الأصل),
telah dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Syakhshiyyah
al-Islamiyyah (3/11) : (الأصل في اللغة هو ما يبتنى
عليه ) “asal (pondasi) secara bahasa ialah sesuatu yang dibangun di atasnya
sesuatu yang lain ” ; (b) adapun tentang aktivitas utama seorang
wanita (أن يظل عملها الأصلي) dijelaskan oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy dalam Muqaddimah
ad-Dustûr sebagai berikut ( الذي
يستمرّ القيام به من جميع الحالات من غير قطاع) “Aktivitas
yang pelaksanaannya terus menerus pada semua kondisi tanpa terputus.” (c)
tidak ada satupun taklif yang berada diluar kemampuan, taklif sebagai ummun
wa rabbatul bait, taklif berdakwah, taklif berdakwah secara berjama’ah, taklif
mengikuti metode dakwah Nabi saw dalam menegakkan Daulah, taklif menuntut
ilmu, dll. Semua taklif ini mampu ditunaikan oleh wanita. Berkaitan dengan
dakwah secara berjamaah, kreasi uslub dalam dakwah yang tidak boleh mengabaikan
atau mengikis hukum asal dan aktivitas utama mereka sebagai ummun wa
rabbatul bait (d) konsekuensi dari pandangan Islam tentang
wanita yang ditabanni ialah bila terjadi realita yang harus menentukan
pilihan, maka wanita harus kembali pada hukum asal. Bila terjadi silang
pendapat antara pengurus dan suami, maka pendapat suami harus diprioritaskan.
Namun semua bisa ditata dengan baik, menentukan segmen, obyek, tugas, jarak
tempuh dalam dakwah berjama’ah bagi para wanita yang mendukung aktivitas utama
wanita dan hukum asalnya sebagai ummun wa rabbatul bait. Dan optimalnya
dakwah seorang wanita tidak diukur dari seringnya wanita keluar rumah, jauhnya perjalanan dakwah, banyaknya tugas
dalam mendukung uslub dakwah. (e) dan bagi para suami tidak
diperbolehkan menghalangi wanita menjalankan setiap taklif yang Allah berikan
bagi mereka, yang wajib baginya adalah menjaga istri dan anak-anak mereka dari
siksa neraka. Allahu a’lam