حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
قَالَ: «أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
فَالإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
وَالمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا، وَوَلَدِهِ وَهِيَ
مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ ... (صحيح البخاري)
“ingatlah,
setiap orang dari kalian adalah pemelihara dan setiap orang dari kalian
bertanggung jawab atas pemeliharaannya. Pemimpin yang memimpin masyarakat ialah
pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang laki-laki ialah
pemelihara anggota keluarganya dan dia bertanggung jawab atas mereka. Seorang
wanita ialah pemelihara rumah dan anak suaminya dan dia bertanggung jawab
atasnya ...”
Hadits ini dikeluarkan dari jalur sahabat: Abdullâh bin
‘Umar ra., perawi sesudahnya ialah Sâlim bin ‘Abdillâh, Nâfi’ maulâ-nya ibn
‘umar, dan ‘Abdullâh bin Dînâr. Sebagian besar ialah perawi yang terpercaya (tsiqâh),
adapun dari jalur ‘Abdullah bin Dinâr terdapat Ismâ’il bin Abîy Uwais yang meriwayatkan
hadits dari Mâlik bin Anas dari ‘Abdullâh bin Dînâr, Ismâ’il sendiri dinilai
oleh Abû Hâtim (w. 324 H) dalam kitab al-Jarh wa at-Ta’dil (2/182)
dengan ungkapan : Mahalluhu as-Shidqu (محله الصدق ),
yaitu orang yang berstatus jujur akan tetapi tingkat ke-dhabit-annya
cukup kecil, hal ini karena ia pelupa (hafalannya tidak kuat). As-Sakhâwîy
dalam Fath al-Mughîts menyebutkan bahwa peringkat (محله الصدق )
termasuk tingkat keenam dan maknanya ialah tidak terlalu jauh dari kejujuran
(2/118).
Mengapa Ismâ’îl menjadi perawi dalam Shahih Bukhâriy
dan juga Shahîh Muslim ?, karena ia menulis dari naskah asli, dalam
kitab Hady as-Sâriy, ibn Hajar al-Asqalaniy berkata: apa saja yang
diriwayatkan al-Bukhâriy dari Ismâ’il termasuk hadits shahîh dikarenakan ia
mencatat dari naskah aslinya (390). Hal ini wajar karena Ismâ’il memang
menyertai Imam Malik, disebutkan dalam kitab Atsar ‘Illal al-Hadîts fîy
Ikhtilâf al-Fuqâha’ karya Syaikh
Mâhir Yâsîn: al-Bukhâri meriwayatkan dari Isma’il perihal hadits Muwatha’ Mâlik
karena ia mengetahuinya, hal ini wajar sebab ia anak dari saudari perempuan
Imam Mâlik yang mengikuti apa saja yang ia riwayatkan dari Mâlik (1/21).
Hadits ini memiliki Mutabi’ dengan jalur
periwayatan yang kuat dan juga syawahid yaitu ada sahabat Nabi yang lain
meriwayatkan hadits serupa.
Pemimpin itu Penanggung Jawab
Bila kita perhatikan pola kalimat hadits ini, maka kita
dapati kalimatnya berpola qashr, salah satu tandanya ialah menggunakan dhamîr
al-Fashl (ضمير الفصل). Ada
beberapa pelajaran dari sisi bahasa yang bisa diambil:
a. (الامام) sebagai (مقصور) karena
dibatasi dan (مسئول) merupakan
(مقصور
عليه) yang menjadi batasan, melihat posisinya masing-masing maka: (الامام) ialah (الموصوف) artinya yang disifati, sedangkan (مسئول) menjadi sifat bagi al-imâm. Dengan demikian maknanya: al-imâm
(penguasa) tidak berubah dari kedudukannya sebagai penanggung jawab bagi rakyat
menjadi pihak yang berpangku tangan.
b.
(الرجل) sebagai (مقصور) karena
dibatasi dan (مسئول)
merupakan (مقصور عليه) yang
menjadi batasan, melihat posisinya masing-masing maka: (الرجل) ialah (الموصوف) artinya yang disifati, sedangkan (مسئول) menjadi sifat bagi ar-rajul. Dengan demikian maknanya: ar-Rajul
(kepala rumah tangga) tidak berubah dari kedudukannya sebagai penanggung jawab bagi
keluarga menjadi pihak yang berpangku tangan terhadap mereka.
c. (المرآة) sebagai (مقصورة) karena dibatasi dan (مسئولة) merupakan (مقصورة عليه) yang menjadi batasan, melihat posisinya masing-masing maka: (المرآة) ialah (الموصوفة) artinya yang disifati, sedangkan (مسئولة) menjadi sifat bagi al-mar’ah. Dengan demikian maknanya:
al-mar’ah (ibu rumah tangga) tidak berubah dari kedudukannya sebagai
penanggung jawab bagi rumah dan anak-anak suaminya menjadi pihak yang berpangku
tangan.
Dalam sejarah Islam, contoh terbaik
bagi wanita yang memenuhi tanggung jawab ialah Khadijah radhiyaLlaahu ‘anHa.
Beliau wanita yang memposisikan diri sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Berkaitan
tentang hal ini, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengutarakan dalam kitab Muqaddimah
ad-Dustûr bahwa: الأصل في المرأة أنها
أم وربة بيت، وهي عِرض يجب أن يُصان (1/315),
pondasi dari aktivitas wanita ialah umm wa rabbah al-bayt yang merupakan
kehormatan yang wajib dijaga. Artinya, setiap aktivitas wanita baik itu dakwah,
thalab al-‘ilmi, apalagi yang mubah maka wajib dibangun di atas pondasi
tersebut. Di era saat ini, ketika kapitalisme mengotori atmosfer kehidupan,
tanggung jawab seperti ini tampak tak bernilai tatkala istri banyak terlibat
dalam memenuhi kebutuhan materi guna membantu suami untuk menyetor pajak dan
membayar mahal kehidupan sehari – hari, mulai dari sandang, pangan, papan,
pendidikan, kesehatan bahkan keamanan pun berbayar.
Seorang suami adalah penanggung jawab
bagi keluarganya, demikanlah yang telah ditetapkan dalam Islam. Contoh terbaik
dalam hal ini ialah Rasulullah saw. sebagai suami dari istri-istri dan ayah
bagi anak-anaknya. Saat ini, tampaknya peran seorang suami dalam banyak hal
terbatasi sekedar memenuhi nafkah saja, bahkan tak jarang suami yang meminta
istrinya untuk bekerja, sekalipun pekerjaan yang diharamkan seperti berzina
yang berujung kematian, sebagaimana yang pernah terjadi di Batam. Sementara
kewajiban untuk menjaga keluarganya dari siksaan api neraka tampak tak
diperhatikan. Kewajiban yang harus dipenuhi dengan mendidik dan memahamkan
mereka akan ajaran Islam.
Dan pemimpin masyarakat ialah
penanggung jawab. Bertanggung jawab dalam mengurusi urusan dan memperhatikan
hal ihwal keadaan masyarakat (ri’ayah syu’un wa nazhar fil umur). Tidak
menyerahkan urusan masyarakat kepada pihak swasta dan mengutip pajak dari
rakyat sebagai penghasilan utama negara. Sementara kekayaan alam yang merupakan
kepemilikian umum yang ditetapkan Allah dan Rasulullah diserahkan kepada swasta
asing, seperti yang terjadi di negeri ini di era kapitalisme demokrasi.
Bagi
umat nabi Muhammad, setiap urusan mereka kelak akan dipertanggungjawabkan di
hadapan Allah ‘azza wa jalla, apakah dijalankan dengan petunjuk Islam dan
berjalan di atas sunnah Nabi-Nya atau menyelisihi risalah akhir zaman, Islam.
Allah telah berfirman:
فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (92) عَمَّا كَانُوا
يَعْمَلُونَ (93) – سورة الحجر
“Maka Demi Rabbmu wahai
Muhammad, sungguh pasti akan kami mintai tanyakan kepada mereka semua (92)
tentang apa saja yang telah mereka lakukan (93)”
Allâhu
ta’ala a’lam ....