Dari Ibnu Umar ra., ia berkata : “Rasulullah saw. memegang pundakku, lalu bersabda : Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara. Lalu Ibnu Umar ra. berkata : “Jika engkau di waktu sore, maka janganlah engkau menunggu pagi dan jika engkau di waktu pagi, maka janganlah menunggu sore dan pergunakanlah waktu sehatmu sebelum kamu sakit dan waktu hidupmu sebelum kamu mati”.
Sekilas tentang periwayatan hadits
Al-‘Uqailîy dalam kitab adh-Dhu’âfa al-Kabîr (3/963) menolak lafadz periwayatan hadits ini yaitu ketika al-A’masy mengungkapkan “حَدَّثَنِي مُجَاهِدٌ”. Seharusnya menggunakan “عن” sebagaimana ashhab al-A’masy meriwayatkan dari Mujâhid, yaitu Laits bin Abîy Sulaim. Al-A’masy menurut keterangan kitab Mîzân al-I’tidal karya adz-Dzahabîy termasuk shighâr at-Tabi’in yang wafat tahun 148 H, sedangkan al-Laits disebutkan dalam kitab yang sama wafat tahun 143 H. Riwayat al-Laits yang menggunakan “عن” :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ بِبَعْضِ جَسَدِي، فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ، " كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ، وَاعْدُدْ نَفْسَكَ فِي الْمَوْتَى " - مسند احمد بن حنبل
Selain riwayat di atas, juga terdapat riwayat dalam kitab musnad Ahmad bin Hanbal, dengan jalur sebagai berikut
حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ، حَدَّثَنَا لَيْثٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ ... - مسند احمد بن حنبل
Perlu disampaikan: (a) perbedaan lafadz periwayatan antara “حَدَّثَنِي” dan “عن” telah dijelaskan ulama, an-Nawawiy dalam at-Taqrîb mengutarakan:
... قيل: أنه مرسل، والصحيح الذي عليه العمل وقاله الجماهير من أصحاب الحديث والفقه والأصول، أنه متصل بشرط أن لا يكون المعنعن مدلساً وبشرط إمكان لقاء بعضهم بعضاً ... ومنهم من شرط اللقاء وحده، وهو قول البخاري، وابن المديني، والمحققين - ص 4
Ada yang mengatakan sanad seperti ini mursal. Akan tetapi, yang tepat dan diamalkan oleh jumhur ahli hadits, fiqih dan ushul fiqih ialah sanad seperti ini muttashil dengan syarat: (a) rawi tidak termasuk seorang mudallis (suka menyembunyikan cacat dalam suatu hadits) dan (b) adanya kemungkinan pertemuan antara satu rawi dengan yang lainnya ... dan di antara ulama ada yang hanya mencantumkan syarat adanya pertemuan antar rawi, pendapat ini dipegang oleh al-Bukhârîy, ibn al-Madînîy dan para ahli tahqiq
أن يقول فيما سمعه وحده من لفظ الشيخ: حدثني ... فإن شك فالأظهر أن يقول: حدثني أو يقول: أخبرني لا حدثنا وأخبرنا، وكل هذا مستحب باتفاق العلماء - ص 9
Yang dikatakan seorang rawi bila ia mendengar hadits dari guru dan ia sendirian ialah haddatsanîy ... maka bila seorang rawi ragu (apakah sendiri atau bersama yang lain ketika menerima hadits dari guru) maka sebaiknya ia mengatakan: haddatsanîy atau akhbaranîy bukan haddatsanâ atau akhbaranâ. Hal ini pendapat yang dipilih berdasarkan kesepakatan ulama’
(b) perbandingan rawi al-Laits dan al-A’masy, dalam hal ini kita dapati penjelasan dari Syaikh al-Albaniy dalam kitab Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah yang mengutip ungkapan al-Hafizh
الحافظ: ليث وأبو يحيى ضعيفان، والعمدة على طريق الأعمش فلم يلتفت إلى كلام العقيلي - ج 3 ص 147
Al-Hâfizh: Laits dan Abu Yahyâ keduanya dha’if, oleh karenanya sandaran dalam jalur periwayatan al-A’masy tidak beralih sebagaimana perkataan al-‘Uqailîy
Dan (c) tentang Al-A’masy yang mendengar dari Mujahid telah disebutkan at-Tirmidzi (w. 279 H) dalam kitab ‘Illal at-Tirmidzîy al-Kabîr
يَقُولُونَ: لَمْ يَسْمَعِ الْأَعْمَشُ مِنْ مُجَاهِدٍ إِلَّا أَرْبَعَةَ أَحَادِيثَ قَالَ: رِيحٌ لَيْسَ بِشَيْءٍ لَقَدْ عَدَدْتُ لَهُ أَحَادِيثَ كَثِيرَةً نَحْوًا مِنْ ثَلَاثِينَ أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ يَقُولُ فِيهَا: حَدَّثَنَا مُجَاهِدٌ... - ص 388
Mereka mengatakan: al-A’masy tidak mendengar dari Mujahid kecuali 4 hadits saja. Dijawab (al-Bukhârîy): tidak demikian, sungguh saya mendapatkan darinya hadits dengan jumlah banyak sekitar 30 kurang lebih, diantaranya dengan shighat: haddatsanâ Mujâhid
Kandungan hadits yang berbunyi
“كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ”
memiliki penguat dari jalur lain yang marfu’ (bersambung hingga Nabi saw.) dan para perawi yang tsiqah (terpercaya) yaitu yang dikeluarkan oleh an-Nasa’i dalam kitab as-Sunan al-Kubrâ :
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيِّ بْنِ مَيْمُونٍ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ، عَنِ الأَوْزَعِيِّ، عَنْ عَبْدَةَ بْنِ أَبِي لُبَابَةَ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ بِبَعْضِ جَسَدِي، فَقَالَ: " اعْبُدِ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، وَكُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ، أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ "
“... beribadahlah kepada Allah seperti engkau sedang menyaksikan-Nya, Jadilah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara”
Sebentar saja di dunia, hanya sekedar singgah untuk mendapatkan bekal dan berbagi
Dunia ini tempat yang asing, tempat singgah sementara untuk mengumpulkan bekal sembari berbagi hingga bisa kembali pulang. Ibn Bathal (w. 449 H) dalam kitab Syarh Shahîh al-Bukhârîy mengutarakan
فشبه الإنسان فى الدنيا بالمسافر، وكذلك هو على الحقيقة؛ لأن الدنيا دار نقلة وطريق إلى الآخرة - ج 1 ص 97
Pemisalannya manusia di dunia ibarat musâfir, dan memang demikianlah hakikatnya. Dikarenakan kehidupan dunia merupakan tempat berusaha dan jalan menuju akhirat
Dunia beserta isinya ialah makhluk, dari tiada menjadi ada dan akan dimatikan kembali, kemudian dibangkitkan guna diminta pertanggungjawaban. Bila dunia ini fana, maka tentu tidak pantas kita menjadikan dunia sebagai orientasi hidup. Dan tepatlah dalam hadits kita diibaratkan sebagai pengembara di dunia fana ini, dan bagaimana seseorang pengembara memandang dunia seharusnya sebagaimana Allâh menyebut perihalnya.
Dalam salah satu ayat yang mulia, Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang perkataan orang yang beriman dikalangan keluarga Fir’aun:
يَا قَوْمِ إِنَّمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَإِنَّ الْآخِرَةَ هِيَ دَارُ الْقَرَارِ - سورة غافر: 39
Hai kaumku, sungguh kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sungguh kehidupan akhirat itulah negeri yang kekal
Dari ayat ini ada banyak pelajaran yang bermanfaat: (a) musnad ilayh (الحياة الدنيا) ditunjuk dengan menggunakan isim isyârah (هذه) dengan tujuan lil-hith (للحط) yaitu untuk merendahkan kehidupan dunia; kehidupan yang tinggi dan sebenarnya ialah kehidupan akhirat di sisi Allah; (b) lafadz مَتَاعٌ dalam bentuk nakirah, dan berfungsi untuk tashgîr (التصغير) dan tahqîr (التحقير) yakni untuk mengesankan kesenangan dunia itu rendah lagi hina; (c) ayat ini menggunakan metode al-qashr ditandai dengan adanya perangkat qashr (ادات القصر) yaitu انما, termasuk qashr idhafiy (قصر إضافي) jenis qashr al-mawshuf ‘ala shifat (قصر الموصوف على الصفة), artinya tidak diboleh mensifati kehidupan dunia dengan sifat selain متاع , akan tetapi bisa jadi sifat itu dimiliki oleh mawsûf (الموصوف) yang lain. Fungsinya ialah lilqalab (للقلب) yaitu untuk membalikkan keyakinan pendengar, bisa jadi ada yang mengira kehidupan dunia ialah kehidupan yang tinggi dan sebenarnya, hingga karenanya mereka menjadikan kehidupan dunia sebagai orientasi hidupnya; (d) penggunaan taukid yaitu inna (إن) sesuai derajat pengingkaran (حتم له بحسب الانكار), yaitu tingkat penolakan orang yang mendengarkan kabar. Bisa jadi ada yang ingkar atau bertanya-tanya, tentang kehidupan akhirat. Hingga dikabarkanlah kepada kita dengan penegasan bahwa sungguh kehidupan akhirat itu negeri yang kekal.
Inilah kehidupan dunia, kehidupan yang rendah lagi hina. Dan keberadaan kita di dalamnya layaknya seorang pengembara yang memiliki cita-cita tinggi, ia tidak berpaling darinya sekalipun fatamorgana kehidupan dunia datang menggoda. Dia menyadari kehidupan dunia hanya tempat untuk mengumpulkan bekal sembari berbagi kepada sesama. Mendapatkan bekal kebaikan dan berbagi kebaikan yang mendatangkan ridha Allah ta’ala.
Memiliki cita-cita yang tinggi dalam mengarungi kehidupan dunia yang hanya sekali
Ibn Rajab al-Hanbali menuturkan ungkapan yang baik untuk diambil pelajaran darinya:
صاحب الهمة العالية والنفس الشريفة التواقة لا يرضى بالأشياء الدنية الفانية وإنما همته المسابقة إلى الدرجات الباقية الزاكية التي لا تفنى ولا يرجع عن مطلوبه ولو تلفت نفسه في طلبه ومن كان في الله تلفه كان على الله خلفه. قيل لبعض المجتهدين في الطاعات: لم تعذب هذا الجسد؟ قال: كرامته أريد ... قال عمر بن عبد العزيز إن لي نفسا تواقة ما نالت شيئا إلا تاقت إلى ما هو أفضل منه وإنها لما نالت هذه المنزلة يعني الخلافة وليس في الدنيا منزلة أعلى منها تاقت إلى ما هو أعلى من الدنيا يعني الآخرة. على قدر أهل العزم تأتي العزائم ... وتأتي على قدر الكرام المكارم
Pemilik cita-cita tinggi dan jiwa mulia, sangat ingin untuk tidak ridha dengan sesuatu yang rendah dan fana. Sungguh, cita-citanya mendahului ke derajat-derajat yang abadi nan suci, tidak rusak dan tidak kembali dari yang dicarinya. Sekalipun dirinya rusak dalam pencarian. Siapa saja yang binasa di jalan Allâh (mencari ridha Allâh), maka Allâh akan menggantikan. Ditanya kepada sebagian orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan: ”jasad ini tidak disiksa?”, ia menjawab: “kemuliaannya kuinginkan”... Umar ibn Abdul ‘Azîz berkata: “sungguh aku rindu untuk tidak meraih sesuatu kecuali yang lebih utama dari ini”. Sungguh ia tidak berharap sesuatu dari kedudukannya dalam Khilafah yang telah diraih dan tidak ada di dunia yang lebih tinggi dari kedudukan itu (sebagai khalifah, pemimpin negara Khilafah Islamiyyah yang menaungi seluruh umat Islam-pent), tapi ia rindu yang lebih tinggi dari dunia yaitu akhirat.
Cita-cita akan diraih sesuai kadar usaha mencapai cita-cita ... kemuliaan akan tercapai sesuai kadar usaha berbuat mulia
(Ibn Rajab al-Hanbalîy (w. 795 H), Lathâ’if al-Ma’ârif, Dâr ibn Hazm, 2004 M, hal. 244-245)
(Ibn Rajab al-Hanbalîy (w. 795 H), Lathâ’if al-Ma’ârif, Dâr ibn Hazm, 2004 M, hal. 244-245)
Kehidupan akhirat sebagaimana yang terungkap dalam riwayat dan ungkapan ulama merupakan kehidupan yang baik. Oleh karena itu, kita mesti memiliki cita-cita untuk meraih kebaikan dalam kehidupan akhirat. Cita-cita tersebut tinggi, dan harus disertai dengan usaha yang ikhlas, sungguh-sungguh dengan jalan yang benar, disertai memohon pertolongan dari Allâh ta’ala, Penguasa hari pertanggungjawaban.
Usaha yang ikhlas, sungguh-sungguh dengan jalan yang benar tampak dalam keseharian bila: (a) aktivitas kita lakukan dalam rangka meraih kemuliaan dan ridha dari sisi Allah, bukan manusia ; (b) melaksanakan suatu pekerjaan dengan cermat dan disiplin hingga tuntas kemudian kerjakan urusan lain dan tidak berleha-leha karena kehidupan dunia sementara. Sejalan dengan firman Allâh dalam surat al-Insyirâh: (فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ), yang artinya: “maka apabila kamu telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain” ; (c) jalan yang benar berarti harus mengikuti syariat Islam dalam setiap urusan, baik batin maupun zhahir. Urusan yang dimaksud bukan sekedar ibadah dan akhlak saja, tapi juga urusan keluarga, pekerjaan, masyarakat dan bernegara. Inilah gambaran dari usaha untuk meraih cita-cita tinggi, yakni kehidupan akhirat yang penuh kebahagiaan, suka cita yang tak berujung. Allahu ta’ala a’lam ...
[tulisan ini bahan kajian hadits syabab hizbut tahrir kota Batam di Masjid al-Jabar Bengkong]