Opini
khilafah tidak lagi jadi ungkapan yang harus disembunyikan dan terus dipendam.
Sebab, meski opini khalifah telah digiring ke arah yang negatif dengan
memanfaatkan isu kemunculan ISIS. Sekarang isu khalifah justru nampak
‘diterima’ oleh berbagai pihak yang tentunya telah disesuaikan dengan arah yang
mereka inginkan, seperti yang terjadi di negeri ini ketika sang Presidennya
disebut sebagai khalifah. Benarkah ? jika ternyata berbeda dimanakah letak
perbedaaanya ?
Isu Jokowi Adalah Khalifah
Tribunnews.com,
“Model kepemimpinan jokowi yang mau berdialog, mendengar langsung keluhan
masyarakat dan mau turun langsung ke lapangan yang dikenal dengan sebutan
blusukan benar benar memberikan inspirasi dan semangat baru bagi model
kepemimpinan di tanah air. Beliau benar-benar meniru khalifah Umar,” terang
Sekjen DPP PKB Imam Nahrawi dalam rilisnya, Selasa (8/7/2014).
Intriknews.com,
sehari setelah dilantik oleh MPR, pengamat politik dan komunikasi dari
Universitas Indonesia, Dr. Ade Armando, Msc. menuliskan dalam halaman sosial
medianya, 21 Oktober 2014, “Bagi umat Islam Indonesia, Jokowi adalah khalifah
yang harus didengar dan ditaati. Ingat ya, jokowi itu khalifah!”
“NKRI sudah sesuai jalan Islam. Pak Jokowi
(Joko Widodo) khalifah kita sekarang, pemimpin bangsa Indonesia termasuk umat
Islam,” kata said Aqil usai penutupan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan
Konferensi Besar NU di Jakarta, Minggu 2 November 2014 (beritasatu.com).
Kepemimpinan Jokowi
Kepemimpinan
Jokowi-JK adalah kepemimpinan dalam bingkai Republik yang dinamakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menurut jokowi ada tiga kunci
kepemimpinannya yaitu bekerja sebaik-baiknya, ketulusan, dan kejujuran. “ya,
tiga poin itu yang utama,” kata Jokowi di rumah dinas Gubernur DKI Jakarta,
senin, 20 Oktober 2014 (tempo.co).
Dari Sisi Keamanan Dan Peluang Masuknya Asing
Pejabat di jajaran Jokowi, yaitu menteri kelautan dan perikanan, Susi P. mengatakan kerjasama pemerintah Amerika Serikat, Norwegia, dan 6 negara lain diperlukan oleh kementerian yang dipimpinnya. Menurut Susi hal-hal yang diperlukan dari negara asing itu ialah: memerangi pencurian ikan, konservasi maritim, kerjasama hukum dalam hal peningkatan kemampuan polisi laut, perlindungan hutan bakau (republika.co.id, 6/11/2014). Dubes AS, Blake telah mengatakan, “ibu menteri dan saya sudah berbagi banyak data, beliau juga memberikan banyak sekali ekerjaan rumah untuk saya pelajari dan saya dengan senang hati mempelajari itu.” (cnnindonesia.com, 6/11/2014).
Setelah 30 hari pengangkatan Jokowi menjadi presiden, Jokowi belum mengangkat Kepala Badan Intelijen nasional (BIN) dan Jaksa Agung. Hal ini menimbulkan banyak persepsi yang salah satunya berasal dari Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane melalui siaran pers kepada Republika Kamis (20/11) yang menyebutkan,”Pemerintah Jokowi terlihat kedodoran”. Hal ini menimbulkan kesan seolah-olah sistem hukum dan keamanan bukan prioritas yang butuh perhatian segera. Terjadinya bentrok antara TNI dan Polri di Batam juga bisa menjadi indikasi ‘kedodoran’ dalam sistem keamanan ini, ditambah dengan solusi yang tampaknya tidak menghapuskan luka lama hubungan antara kedua institusi tersebut.
Dari Sisi Kebijakan Finansial
Untuk memperoleh ruang fiskal yang besar, Jokowi berencana menaikkan harga BBM dikarenakan pengurangan subsidi (saat ini sudah direalisasikan—pen) serta melakukan pemangkasan sejumlah anggaran semisal anggaran perjalanan dinas dan rapat di setiap kementrian atau lembaga. Ungkap Jokowi “saya ingin efisienkan anggaran yang ada. Contoh perjalanan dinas Rp. 30 Trilliun, itu untuk apa? Anggaran rapat Rp. 18 Trilliun itu rapat apa?” (liputan6.com, 2/11/2014).
Selain itu, negera akan meningkatkan pendapatan dari pajak. Tercatat dalam APBNP 2014 yang dikeluarkan dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2015 oleh kementerian keuangan pendapatan dari pajak sebesar Rp. 1.246,1 Trilliun, di tahun 2015 dirancang untuk naik menjadi Rp. 1.370,9 Trilliun. Untuk mencapainya, pemerintah akan fokus untuk meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak (tax compliance). “Jadi menurut saya tahun 2015 ini kita fokus kepada (tax) compliance, baik orang pribadi maupun badan,” ungkap Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro belum lama ini. (website kementrian keuangan, 28/11/2014).
Dilihat dari kondisi internal negara, kebijakan Jokowi terkait peningkatan pajak dan pemangkasan anggaran berupa subsidi maupun anggaran lain merupakan konsekuensi dari dua hal: (a) dari data RAPBN 2015 diketahui belanja negara di tahun 2015 sebesar Rp. 2.019,9 Trilliun ; (b) andalan utama pendapatan negara dari tahun ke tahun ialah pajak dengan nilai lebih dari seribu trilliun.
Perbedaan Antara Kepemimpinan model Republik Demokrasi dengan model Khilafah Islamiyyah
Opini yang menyatakan presiden Jokowi sebagai khalifah layak dikritisi. Dari sudut pandang keilmuan, opini tersebut dinilai gegabah dan prematur. Kepemimpinan dalam model apapun tidak terlepas dari syarat-syarat yang melekat. Dalam UU No 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menetapkan syarat sebagai berikut: (a)bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; (b)warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri; (c)memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik Indonesia
Pertama, penjelasan UU No. 42 Tahun 2008 yang dikeluarkan MK, pasal 5 huruf a, “bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam arti taat menjalankan kewajiban agamanya”. Penjelasan ini mengindikasikan presiden tidak harus beragama Islam sekalipun memuat kata takwa, asalkan ia taat pada agamanya maka ia telah memenuhi syarat pertama. Sedangkan syarat khalifah ? diungkapkan oleh Qadhi ‘Iyadh:
أَجْمَعَ
العُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ الإِمَامَةَ لاَ تَنْعَقِدُ لِكَافِرِ... شرح النووي على
مسلم، ج 12 ص 539
Para ulama bersepakat bahwa al-Imamah
tidak diangkat dari orang nonmuslim …
Kedua, pemimpin NKRI harus sejak lahir telah
berkewarganegaraan Indonesia seperti disebutkan dalam pasal 5 huruf b.
Bagaimana dengan khalifah? Khalifah tidak dilihat dari bangsa mana ia berasal,
apakah keturunan arab atau ajam. Sebab, Khilafah bukan berupa negara bangsa
(nation state) yang memandang bahwa unit identitas “bangsa” menjadi basis
legitimasi berdirinya negara. Sedangkan dalam Khilafah, yang menjadi basis
legitimasi adalah “umat” yang diikat oleh akidah Islam yang satu. Khilafah
hanya satu, dan khilafah merupakan wujud kesatuan bagi seluruh umat Islam. Ibn
Katsir mengutarakan
فَأَمَّا نَصْبُ
إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ... وَهَذَا قَوْلُ
الْجُمْهُورِ ... تفسبر القرآن العظيم ، ج 1 ص 222
Adapun mengangkat dua orang atau lebih
menjadi imam (pemimpin) di bumi (bagi umat Islam) tidak diperbolehkan… dan ini
pendapat jumhur ulama
An-Nawawi juga menyampaikan,
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ
عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعْقَدَ لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْرٍ وَاحِدٍ
سَوَاءٌ اتَّسَعَتْ دَارُ الْإِسْلَامِ أَمْ لَا
(شرح
النووي على مسلم ، ج 12 ص 232)
Dan ulama telah bersepakat tentang tidak
bolehnya mengangkat dua orang khalifah di satu waktu, baik wilayah negeri Islam
luas maupun kecil
Ketiga, presiden Republik dalam pemerintahan NKRI berpedoman pada ideologi negara dan berdasarkan UUD 1945. Keduanya tidak bersifat menyeluruh, hingga terbuka pintu untuk membuat aturan dalam lembaga legislatif menurut kehendak akal yang akan dijalankan Presiden. Sedangkan Islam menegaskan bahwa hanya Allah saja yang berhak menetapkan hukum. Dengan kata lain, seorang khalifah hanya menggali hukum dari al-Qur’an dan as-Sunnah, tidak membuat hukum baru menurut kehendak akalnya. Allah berfirman:
إِنِ
الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ -57
Menetapkan keputusan hukum itu hanyalah
hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik (QS
al-An’am [6]: 57)
Ayat
ini menggunakan uslub al-qashr (القَصْرُ)
dengan adanya huruf istitsna’ yaitu illa (اِلاَّ),
terdiri dari al-maqshur (المَقْصُورُ arti: yang
dibatasi) yaitu al-hukm (الحُكْمُ arti: keputusan
hukum) dan al-maqshur ‘alayh (المَقْصُورُ عَلَيْهِ
arti: yang menjadi batasan) yaitu lillaah (لِلَّهِ
arti: hanyalah hak Allah). Dengan gaya bahasa seperti ini dan penempatan lillah
sebagai al-maqshur ‘alayh, maka Pembicara (yakni Allah karena al-Qur’an adalah
kalam-Nya) hendak mengatakan: Allah-lah satu-satunya pihak yang berhak
menetapkan hukum dan tidak ada perserikatan dalam pembuatan hukum, karena Dia
satu-satunya. Namun bukan hanya menetapkan hukum saja aktivitas dari Maha
Pembuat Hukum, Dia juga lah yang mengatur alam semesta selaku Pemilik dan
Pencipta
Kritik kebijakan: keamanan dan keuangan dari sudut pandang Islam
Dalam hal kekuasaan ada sebuah ungkapan yang sangat indah:
الإِسْلامُ وَالسُّلْطَانُ
أَخَوَانِ تَوْأَمٌ، لا يَصْلُحُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِلا بِصَاحِبِهِ،
فَالإِسْلامُ أُسُّ وَالسُّلْطَانِ حَارِسٌ، وَمَا لا أُسَّ لَهُ مُنْهَدِمٌ،
وَمَا لا حَارِسَ لَهُ ضَائِعٌ
"Islam dan kekuasaan itu merupakan
saudara kembar, tidak akan baik salah satu dari keduanya kecuali dengan saling
menemani. Maka Islam ialah dasar dan kekuasaan-lah yang menjadi penjaganya. Dan
apa-apa yang tidak memiliki dasar akan runtuh, sementara apa-apa yang tidak
memiliki penjaga akan hilang." (al-fadhilah li abi nu'aim, 1/154)
Islam
memiliki paradigma yang unik tentang posisi penguasa. Islam mengibaratkan
penguasa itu sebagai penggembala dan rakyat sebagai pihak yang digembalakan.
Nabi saw. bersabda:
فَالأَمِيرُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Seorang pemimpin (penguasa) adalah
pemelihara dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas pemeliharaan urusan
mereka. (HR Muslim).
Nabi saw. juga pernah bersabda:
سَيِّدُ
القَوْمِ خَادِمُهُمْ
Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka
(HR. Abu Nua’im dari Anas)
disebutkan dalam kitab mawsu’atu
athraaful hadits: hadits ini hasan lighairihi dikarenakan berbilangnya jalur).
Melihat
gaya bahasa hadits pertama juga menggunakan uslub qashr, yaitu dengan dhamir
al-fashal berupa huwa (هو). Dengan al-maqshur
(المَقْصُورُ arti: yang
dibatasi) yaitu ra’in (راع arti pemelihara
atau penggembala), siapa dia ? yaitu penguasa (الأَمِيرُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ), dan al-maqshur ‘alayh (المَقْصُورُ عَلَيْهِ arti: yang menjadi
batasan) yaitu mas’ul (مَسْئُولٌ arti
penanggungjawab). Hadits termasuk wahyu dari sisi makna, dengan penempatan
mas’ul sebagai al-maqshur ‘alayh maka Pembicara hendak menyampaikan kepada
kita: tidak ada yang beraktivitas untuk memelihara, memperhatikan dan melayani
urusan rakyatnya selain ma’sul, yaitu penguasa (الأَمِيرُ
الَّذِى عَلَى النَّاسِ). Dan boleh bagi mas’ul beraktivitas
mengangkat orang-orang yang membantunya dalam pemerintahan yan juga ikut
menjadi penanggungjawab bagi rakyat, semisal wali dan amil, sebagaimana yang
dicontohkan dalam sunnah Nabi saw.
Dua hadis di atas, mengibaratkan penguasa sebagai penggembala (râ’in) dan pelayan (khâdim) rakyatnya. Seorang penggembala akan senantiasa memperhatikan dan memelihara kepentingan gembalaannya; mencarikan makanan dan minuman yang baik; memperhatikan kesehatan, menjaga dan melindunginya dari berbagai ancaman semisal terkaman serigala dan segala marabahaya yang bisa mencelakakan gembalaannya. Sebagai pelayan, penguasa bertugas melayani kepentingan rakyat, memenuhi kemaslahatannya, memberikan bantuan dan meringankan kehidupan rakyatnya. Jadi, tugas penguasa (pemimpin) adalah memelihara kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya dan mensejahterakan mereka. Dalam keamanan, saat ini pemerintah memberi kesempatan asing untuk turut mengamankan potensi dalam negeri yang penting, ikut mengeksplorasi,dsb. Hal ini termasuk perbuatan yang memberikan peluang bagi terciptanya berbagai ancaman di masa depan. Salah satunya semakin memudahkan pihak asing dalam mengetahui hal-hal strategis yang bisa digunakan untuk melemahkan dan mencengkram negeri Indonesia. Perlu dicatat, sikap penguasa yang demikian bisa jadi adalah bentuk kewajaran dalam Republik Demokrasi dan sah sah saja karena tidak melanggar undang-undang yang berlaku. Dari sini kita bisa memahami perbedaannya yang sangat jelas dengan Islam. Dalam Islam, Allah berfirman
وَلَنْ
يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا -141
Allah sekali-kali tidak akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS
an-Nisa [4]: 141)
Ayat ini berbentuk larangan, walau tidak dalam bentuk yang sharih (jelas), akan tetapi ayat ini terkategori larangan dari sisi mafhum-nya. Karena kabar yang disampaikan menuntut harus benar, maka ayat tersebut berisi tuntutan untuk meninggalkan yang Allah larang, yaitu memberi jalan orang-orang kafir menguasai orang-orang beriman. Termasuk larangan membuat kebijakan yang membuka pintu bagi asing untuk mendapatkan data dan menguasai potensi negeri – negeri muslim.
Dalam keuangan, negara memiliki pemasukan terbesar dari pajak dan menganggap subsidi kepada rakyat sebagai sesuatu yang membebani APBN. Hal ini memang pantas terjadi dalam lingkungan negara dengan sistem Kapitalisme Demokrasi yang menjadikan pajak sebagai pendapatan unggulan untuk meraih ribuan trilliun, dan bisa juga sebagai stand by capital (cadangan untuk berjaga-jaga saat kas negara kosong). Sementara dalam Islam tidak demikian, pemungut pajak disebut dengan shohibul maks
إِنِّي
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ
صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ
Sungguh aku mendengar Rasulullah saw
bersabda: sungguh shohibul maks masuk dalam neraka (HR. Ahmad) (Syaikh Syu’aib
al-Arna’uth mengatakan hadits ini hasan lighairihi)
Al-maks ialah pajak dan hasil bumi yang dipungut dengan ketentuan yang menyelisihi hukum syara’. Hadits ini termasuk larangan yang tegas, kenapa ? karena disertai dengan kata an-Naar sebagai celaan (dzam) dari sisi Allah atas pelakunya, hingga larangan ini menunjukkan keharaman memungut pajak. Hanya dalam kondisi darurat sajak pajak bisa diambil yaitu ketika baitul mall kosong hingga bisa menimbulkan bahaya bagi rakyat, Rasulullah bersabda
أن رسول
الله صلى الله عليه و سلم قال : لا ضرر ولا ضرار
Bahwasannya Rasulullah saw. bersabda:
tidak ada bahaya dan membahayakan (HR. al-Baihaqi)
Darurat itu tidak sepanjang waktu dan tidak boleh dinikmati, bahkan menurut kaidah fikih: dhararu yuzal (darurat harus dihilangkan), oleh karenanya pajak saat darurat hanya dipungut dari orang-orang yang mampu dengan besaran tertentu dan waktu yang temporal (sementara), serta pengeluarannya telah ditentukan menurut prioritas yang dibutuhkan saat kas negara kosong.
Dan disisi lain, ada kekayaan milik umum yang hasilnya bisa digunakan untuk masyarakat baik muslim maupun nonmuslim (kafir dzimmiy), seperti laut, sungai, perairan, mata air, padang rumput, pertambangan, minyak bumi dan gas alam, hutan dsb yang masuk dalam pengertian hadits berikut
فَسَمِعْتُهُ
يَقُولُ: " النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الْمَاءِ، وَالْكَلإِ، وَالنَّارِ "
"Saya mendengar Rasul saw. bersabda
: masyarakat berserikat dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput dan api
" (al-Amwaal)
Selain
itu juga karena jumlah yang melimpah bagai air yang mengalir dan dibutuhkan
oleh masyarakat luas.
أَتَدْرِي
مَا قَطَعْتَ لَهُ ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، قَالَ :
فَانْتَزَعَ مِنْهُ
Tahukah anda wahai Rasulullah apa yang
anda berikan ?, tidak lain anda memberinya laksana air yang terus mengalir; Ia
berkata : Rasul lalu menariknya (menarik tambang garam dari Abyadh ibn Hammal)
(Hr. Abu Daud)
Semuanya milik masyarakat yang harus dikelola negara sebagai penanggungjawab yang telah ditetapkan oleh nash sebagai satu-satunya pihak yang memelihara, melayani dan memperhatikan urusan mereka. Dan hasilnya untuk kemashlatan masyarakat. Sebaga contoh: menurut Rokhmin Dahuri nilai potensi lestari laut Indonesia sebesar Rp. 738 Trilliun, bila negara mengelola sebesar 10 % saja sudah Rp. 73 Trilliun, pengelolaan emas dengan asumsi 200 kg emas perhari (freeport) disertai tambang mineral logam lainnya bisa mendatangkan minimal Rp. 50 Trilliun per tahun (al-wa’ie no. 122 Oktober 2010), ditambah dengan nilai ekonomis hutan, data hutan produksi perpropinsi hingga 2013 sebesar 73, 9 juta Ha (Statistik Kementerian Kehutanan Tahun 2013), bila siklus melestarikan 20 tahun dan pertahun diambil 5 % saja (bila 1 hektar 400 pohon, maka tiap tahun20 pohon perhektar ditebang) dengan harga perpohon Rp. 2 juta, maka nilai ekonomis hasil hutan produksi saja adalah 73,9 juta Ha x 20 pohon perhektar x Rp. 2 juta = Rp. 2.956 Trilliun. Angka ini sudah melebihi angka pengeluaran negara dalam catatan RAPBN 2015 yang hanya sebesar Rp. 2.019 Trilliun.
Merajut Sikap Saat Hidup Dalam Kerusakan
Rusaknya sistem dan kebijakan pemimpin tidak berdiri sendiri, tapi berkaitan dengan rusaknya golongan lain, yaitu ulama dan cendekiawan. Ibn al-Azraq berkata:
اعلام. فساد اخذ خذَّيْنِ الصنفين ملازم في
الوجود لفساد الصنف الآخر غالبا، ومن ثم يتضاعف بهما محنة الناس وافاتهم. فمن كلام
أبي مروان بن حيان في ذلك: ولم تزل آفة الناس منذ خلقوا في صنفين منهم، هم كالملح فيهم
الامراء والفقهاء
Ketahuilah, kerusakan salah satu kelompok
berkaitan dengan kerusakan kelompok yang lain. Karena itu, bencana bagi
masyarakat menjadi berlipat. Abu Marwan bin Hayan berkata dalam hal ini,
“Kesengsaraan manusia sejak diciptakan terus saja pada dua kelompok dari mereka.
Kedua kelompok itu bagaikan garam di tengah masyarakat, yaitu para pemimpin dan
fukaha.” (Badâ’i as-Salk fî Thabâ’i’ al-Malik, hlm. 283)
Eksisnya
penguasa dengan kebijakan yang memberatkan rakyat saat ini, selain karena
Republik, Kapitalisme dan demokrasi yang dijadikan pedoman dan diterapkan, juga
karena dua faktor penting:
(1) karena umat belum memiliki kesadaran yang kokoh;
(2)
karena muhâsabah al-hukâm (koreksi terhadap penguasa) belum berjalan dengan
masif dari ujung timur hingga barat. Setidaknya ada beberapa sikap yang harus
dimiliki:
Pertama, tidak ridho, membenarkan, apalagi membantu berbagai keburukan yang terjadi ditengah masyarakat.
أن يستغفر
بلسانه وقلبه مصر على بقائه على الظلم والجور وعدم إقامة الحدود وبقائة على الغش
للرعية فيبوء بغضب من الله سبحانه فإنها صفة اليهود وقد ذمهم الله تعالى على ذلك
ولأنه نوع استهزاء وقد صرح العلماء بأن هذا الاستغفار ذنب
Bahwasannya beristighfar dengan lisan
sementara hatinya ridho atas kezhaliman, ketidakadilan, tidak tegaknya hudud,
ridho saat pemimpin menipu rakyat maka ia mendapatkan kemurkaan dari Allah yang
Maha Suci. Hal yang demikian termasuk sifat yahudi, sungguh Allah telah mencela
mereka karena hal tersebut, sebab termasuk jenis istihza’ (mempermainkan
Allah). Para ulama telah menjelaskan bahwa istighfar yang seperti ini dosa
(Taqiyuddin ad-Dimsyaq asy-Syafi’iy, Kifayatul Akhyar, hlm. 154)
Kedua, meningkatkan kesadaran politik (wa’yu siyasi) kaum Muslim melalui edukasi yang bersifat terus-menerus hingga umat menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya pondasi dari berbagai pemikiran yang lahir dan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan yang mengatur seluruh perbuatan. Yang dimaksud dengan kesadaran politik (wa’yu siyasi) di sini bukanlah kesadaran berpolitik seperti yang dimiliki politisi sekular, tetapi kesadaran yang mendorong umat untuk memandang setiap persoalan dari sudut pandang akidah dan syariah Islam. Kesadaran inilah yang akan memandu kaum Muslim selalu waspada terhadap setiap upaya yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi Islam dan kaum Muslim. Kesadaran ini pula yang akan mendorong mereka untuk membela dan meluruskan ajaran Islam dari para perongrongnya.
Ketiga, memberi penjelasan yang benar kepada umat tentang Islam secara kaffah termasuk tentang Khilafah dan sistem Islam yang mengatur kehidupan, sekaligus menunjukkan letak kesalahan sistem-sistem yang menyelisihi Islam seperti Republik, Kapitalisme, Demokrasi, dsb.
Keempat, Muhasabah al-hukam (mengoreksi penguasa). Ulama dan cendekiawan harus menjelaskan hukum syariah apa adanya tanpa dengan jujur dan berani. Nabi saw. bersabda:
أَفْضَلَ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama adalah
mengucapkan kalimat yang haq di depan penguasa yang zalim (HR Ahmad).
Kelima, sudah waktunya bagi umat untuk mengakhiri penyerahan kekuasaan kepada para pemimpin zalim dan menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin yang taat pada syariah, adil juga memperhatikan kepentingan mereka. Berdasarkan pemahaman dan kesadaran umat itu, umat akan berhasil dihimpun, berikutnya akan berhasil dibangun pemerintahan berlandaskan ide dan konsepsi Islam itu. Dengan begitu, kesatuan umat dan penguasa di dalam entitas ang satu akan kembali eksis. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.
ditulis oleh Ummu Zahroh untuk kajian bulanan bulan Desember awal