Kedholiman Sistem di Luar Islam dalam Memperlakukan Anak
Kejahiliahan sistem-sistem yang dibuat manusia memposisikan manusia juga anak tidak pada tempatnya. Manusia tahu bahwa anak adalah aset bangsa yang memiliki hak dan kewajiban. Namun, di saat yang sama pandangan mengenai hak dan kewajiban disandarkan pada orang-orang dewasa yang selalu berbeda antara pemikiran yang satu dengan yang lain hingga hanya sebatas perdebatan tanpa realitas. Akhirnya anak-anak kembali diposisikan sebagai penonton dan alat untuk meraup manfaat.
Sistem yang dibuat manusia sibuk mementingkan sebagian golongan dengan mengabaikan kepentingan golongan yang lain. Tak dapat dipungkiri, ini lah yang saat ini terjadi. Akibatnya kemiskinan terus bertambah dan sulit tertanggulangi. Keputusasaan membayangi setiap penjuru negeri hingga berbagai tindakan asusila mulai merongrong untuk dibenarkan oleh hukum. Siapa yang dirugikan? Semua, juga anak-anak.
Dalam kasus hukum yang terkait dengan anak, selalu ada keringanan dan kelonggaran bagi anak-anak yang melanggar hukum tanpa mempedulikan apakah anak itu sudah baligh atau belum. Hal ini dianggap sebagai bentuk perhatian dan perlindungan terhadap hak anak. Undang-Undang RI. No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pasal 1 angka (1), menyebutkan: “Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”. Hal ini tentu berbahaya, sebab batasan usia anak yang 18 tahun ini membuka celah lebar untuk terjadi pelanggaran hukum yang lebih luas. Misalnya, batasan usia membuat KTP, SIM, dan menikah minimal berusia 17 tahun. Artinya, seseorang berusia 18 tahun masih dikategorikan anak padahal ia sudah boleh memiliki identitas sebagai orang dewasa, juga mampu melakukan berbagai aktivitas yang dilakukan orang dewasa. Dengan demikian, besar kemungkinan akan ada kelonggaran bagi para pemerkosa, pencuri, pelanggaran lalu lintas, bahkan menabrak orang sampai mati, dsb. Alih-alih membawa kebaikan, yang terjadi justru aturan yang dibuat ini akan memudahkan manusia untuk melakukan kemaksiyatan yang jelas-jelas merugikan orang lain dengan syarat, selama ia belum menikah dan belum berusia 18 tahun.
Selain itu, momen hari anak diadakan sebagai bentuk adanya perhatian terhadap anak. Di penjuru dunia, hari anak menjadi hari libur dengan dimeriahkan berbagai perayaan yang disesuaikan dengan adat dan kebiasaan masing-masing daerah untuk menyenangkan anak. Padahal anak butuh pendidikan dan liburnya mereka dari aktivitas pendidikan pada saat itu sama saja dengan upaya pembodohan terhadap anak. Karena anak merupakan bagian dari umat, maka secara keseluruhan perayaan hari anak saat ini bisa dikategorikan sebagai pembodohan umat.
Lebih dari itu, pemerintah yang seharusnya menjadi perisai umat, saat ini tampak jengah akan amanahnya. Perlahan tapi pasti, negara melepas atribut-atributnya yang berbau urusan umat. Umat dilepaskan di tengah-tengah kerakusan kapitalis dan kebuasan sosialis. Umat menjerit mencari perlindungan dan negara memposisikan diri tak lebih dari sekedar penonton.
Menuduh Islam atas Semua Permasalahan yang Menimpa Anak
Saat ini kita melihat berbagai tindakan kriminal begitu dekat dengan umat. Anak-anak yang masih bersih pun terancam depresi, trauma, pelecehan seksual, pemerkosaan, sodomi, narkoba, pembunuhan, pencurian, penjualan organ tubuh manusia, penjualan manusia, penganiayaan, bunuh diri, dsb. Belum lagi pengabaian hak anak yang demikian fulgar ditampilkan negara dalam berbagai bidang termasuk pendidikan dengan mahalnya biaya pendidikan, pencotekan berjamaah, kekerasan dalam sekolah, bobroknya moral anak-anak dan remaja, dsb.
Siapa yang salah? Ketika pertanyaan itu muncul, maka kapitalis-liberal juga sosialis-komunis berlomba-lomba menuduh Islam. Pemikiran yang lucu tapi diamini oleh sebagian kaum muslimin dengan mengaitkan dalil-dalil yang tidak sesuai konteks untuk membenarkan ide-ide bodoh mereka. Di antaranya, mereka menuduh Islam terlalu keras dalam mendidik anak dengan anjuran memukul anak dalam usia tertentu karena tidak mau sholat. Mereka anggap itulah yang akhirnya memberikan celah bagi KDRT terhadap anak.
Mereka juga menuduh Islam sebagai agama yang toleran sehingga menyudutkan keluarga-keluarga muslim yang menentang anak-anak mereka masuk agama lain atau menikah dengan pasangannya yang berbeda agama. Sementara di sisi lain, tidak ada celaan yang berarti bagi keluarga-keluarga non muslim yang memutuskan tali kekeluargaan karena ada anggota keluarganya yang memeluk Islam. Jelas sekali bahwa pemaksaan ide toleransi hanya untuk kaum muslimin dan merupakan ide sampah tetapi masih saja ada sebagian kaum muslimin itu sendiri yang memungutnya dan mencoba membersihkannya dengan dalil-dalil yang dipaksakan. Setelah itu dengan bangga diberikan pada anak-anak di sekolah-sekolah mereka.
Hanya Islam yang Melindungi Anak
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
Tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS al-Anbiyaa': 107)
Islam sebagai agama yang rahmatan Lil 'alamin memiliki aturan yang jelas hingga mampu memberikan perlindungan yang tepat bagi anak dan menjamin pemenuhan kebutuhannya. Dilirik dari berbagai sudut, secara normatif Islam telah menggariskan aturan yang mampu memberikan kebaikan yang tiada tara bagi anak dan mengarahkan serta menjaga fitrah mereka.
Dari sudut keluarga, Islam mewajibkan seorang ayah menafkahi istri dan anaknya. Imam al-Qurthubi (w. 671 H) dalam kitab tafsirnya mengutarakan :
وأجمع العلماء على أن على المرء نفقة ولده الأطفال الذين لا مال لهم. وقال صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لهند بنت عتبة وقد قالت له: إن أبا سفيان رجل شحيح وإنه لا يعطيني من النفقة ما يكفيني ويكفى بنى إلا ما أخذت من ماله بغير علمه فهل على في ذلك جناح؟ فقال-:" خذي ما يكفيك وولدك بالمعروف".
Seluruh ulama telah sepakat, bahwa seorang bapak wajib memberikan nafkah kepada anak-anaknya yang masih kecil yang tidak memiliki harta. Rasul saw. berkata kepada Hindun binti ‘Utbah, ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw: ”Wahai Rasulullah saw sesungguhnya Abu Sofyan adalah orang yang kikir. Ia tidak mau memberi nafkah kepadaku dan anakku, sehinga aku mesti mengambil darinya tanpa sepengetahuannya”. Rasulullah saw bersabda,”Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhari) (al-Jami' al-Ahkam al-Qur'an, 3/ hlm 163 )
Berkaitan dengan surat al-Baqoroh ayat 233, Imam ibn Katsir mengutarakan bahwa ayah wajib memberikan nafkah dan pakaian kepada anak-anaknya dengan cara yang ma'ruf, beliau menjelaskan yang dimaksud dengan cara yang ma'ruf ialah
بما جرت به عادة أمثالهن في بلدهنّ من غير إسراف ولا إقتار، بحسب قدرته
"sesuai dengan kepatutan yang berlaku di negerinya, tidak berlebihan, dan sesuai dengan kemampuan dirinya" (Tafsir Ibn Katsir, 1/ hlm. 634)
Selain kewajiban ini, juga terdapat kewajiban untuk memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang, dibawah ini terdapat hadits-hadits Rasul yang berbicara tentangnya :
قال سمعت بن عباس عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : مَا مِنْ مُسْلِمِ تُدْرِكُهُ ابْنَتَانِ فَيُحْسِنُ صُحْبَتَهُمَا إلا أدْخَلَتَاهُ الجنة
"Tidak ada satupun seorang muslim yang memiliki 2 anak perempuan lalu dia memperlakukan keduanya dengan baik kecuali keduanya akan memasukkannya ke dalam al-jannah" (hr. Bukhari, al-Adab al-Mufrod, 1/ hlm. 41)
أن أبا هريرة قال : قبل رسول الله صلى الله عليه و سلم حسن بن على وعنده الأقرع بن حابس التميمي جالس فقال الأقرع إن لي عشرة من الولد ما قبلت منهم أحدا فنظر إليه رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم قال مَنْ لا يَرْحَمْ لا يُرْحَمْ
Abu Hurairah ra. : pernah Rasululloh saw mencium Hasan ibn 'Ali dimana saat itu ada al-Aqro' ibn Haabis at-Tamimiy duduk. Dia lalu berkata, Saya punya 10 orang anak tidak pernah satupun dari mereka saya cium. Rasul saw. melihat kepadanya dan bersabda : "Siapa yang tidak merahmati maka tidak dirahmati (oleh Alloh)"
(Hr. Bukhari, al-Adab al-Mufrod, 1/ hlm. 46)
(Hr. Bukhari, al-Adab al-Mufrod, 1/ hlm. 46)
Dan semakin lengkapnya kesempurnaan Islam dalam melindungi anak dari sudut keluarga dengan adanya kewajiban untuk mendidik mereka agar mentaati Alloh dan Rasul-Nya ; tentang Surat at-Tahrim ayat ke-6, Imam al-Qusyairiy (w. 465 H) dalam kitab Latho'if al-Isyarot mengutarakan :
فَقَّهوهم ، وأَدِّبوهم ، وادعوهم إلى طاعة الله... ودلَّت الآيةُ : على وجوبِ الأمرِ بالمعروف في الدّين للأقرب فالأقرب .
"pahamkan dan ajari mereka adab, serta seru mereka untuk mentaati Alloh …. Penunjukkan ayat ini ialah : Wajib memerintahkan yang ma'ruf fid din (kebaikan dalam din) kepada yang lebih dekat dengan kita (ya'ni keluarga)" (latho'if, 7/ hlm. 443)
Dari sudut negara, Islam telah mensyari'atkan adanya peran penguasa dalam mengurusi urusan masyarakat dan memperhatikan hal ihwal mereka (ri'ayah syu'un wa an-nazhor fii umuur) agar sejalan dengan keridhoan Alloh. Dalam hadits shohih, Rasul saw. bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ...
"Setiap kalian adalah pengurus dan penanggungjawab atas urusannya. Dan Imam (Penguasa) ialah pengurus dan hanya dialah yang jadi penanggung jawab atas urusannya.."
(hr. Bukhori, Shohih Bukhori, 8/ hlm. 253)
ungkapan wahuwa mas'uulun 'an ro'iyyatihi ialah jumlah al-hashr (kalimat yang membatasi), dengan demikian hanya negara yang berhak, bukan LSM ataupun swasta. Oleh karena itu, Islam memberikan jaminan kebutuhan dan juga menentukan penyediaan pendidikan bermutu untuk semua rakyat sebagai kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Dasarnya karena Rasul saw menetapkan tebusan tawanan perang dari orang kafir adalah mengajari sepuluh orang dari anak-anak kaum muslim. Tebusan tawanan merupakan ghanimah yang menjadi hak seluruh kaum muslim. Diperuntukkannya ghanimah untuk menyediakan pendidikan bagi rakyat secara gratis itu menunjukkan bahwa penyediaan pendidikan oleh negara untuk rakyat adalah wajib. Ijma' sahabat atas pemberian gaji kepada para pengajar/guru dari harta baitul mal lebih menegaskan hal itu.
Hingga telah teranglah kehadapan kita semua bahwa memang hanya Islam saja yang mampu melindungi anak-anak dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik jaminan kebutuhan, pemenuhan kasih sayang dan juga pendidikan. Dengan kondisi yang seperti itu, maka tidak akan ditemukan kasus maraknya anak jalanan, anak putus sekolah, anak yang broken home, apalagi anak yang dibuang oleh orang tuanya, dll.
Bentuk Perhatian Daulah Islamiyyah pada Anak
Ketika cahaya Islam telah berpijar di Madinah, cahaya kebaikannya menyebar ke saentaro negeri. Memberikan kehangatan dan kebaikan di setiap sudut kota yang disinari oleh cahaya Islam. Tak terlepas keberadaan anak-anak mendapatkan kehangatan dan kebaikan tersebut, baik laki maupun perempuan, tidak sebagaimana ketika kegelapan menyelimuti bumi di masa kejahiliyahan merajalela.
Islam menghendaki setiap anak menjadi hamba Alloh yang menaati Alloh dan Rasul-Nya; di saat yang bersamaan mereka juga mesti menjalin hubungan baik dengan kedua orang tuanya. Ada petikan hikmah yang berharga dalam kisah Abdulloh ibn Abdulloh ibn Ubay, pertama ketaatan pada Alloh dan Rasul yang terpancar pada individu hasil didikan sistem Islam dan kedua Islam menghendaki seorang anak berbuat baik pada kedua orang tuanya sekalipun ia seorang munafik apatah lagi bila keduanya termasuk golongan muttaqin...berikut riwayatnya :
Hingga telah teranglah kehadapan kita semua bahwa memang hanya Islam saja yang mampu melindungi anak-anak dalam setiap aspek kehidupan mereka, baik jaminan kebutuhan, pemenuhan kasih sayang dan juga pendidikan. Dengan kondisi yang seperti itu, maka tidak akan ditemukan kasus maraknya anak jalanan, anak putus sekolah, anak yang broken home, apalagi anak yang dibuang oleh orang tuanya, dll.
Bentuk Perhatian Daulah Islamiyyah pada Anak
Ketika cahaya Islam telah berpijar di Madinah, cahaya kebaikannya menyebar ke saentaro negeri. Memberikan kehangatan dan kebaikan di setiap sudut kota yang disinari oleh cahaya Islam. Tak terlepas keberadaan anak-anak mendapatkan kehangatan dan kebaikan tersebut, baik laki maupun perempuan, tidak sebagaimana ketika kegelapan menyelimuti bumi di masa kejahiliyahan merajalela.
Islam menghendaki setiap anak menjadi hamba Alloh yang menaati Alloh dan Rasul-Nya; di saat yang bersamaan mereka juga mesti menjalin hubungan baik dengan kedua orang tuanya. Ada petikan hikmah yang berharga dalam kisah Abdulloh ibn Abdulloh ibn Ubay, pertama ketaatan pada Alloh dan Rasul yang terpancar pada individu hasil didikan sistem Islam dan kedua Islam menghendaki seorang anak berbuat baik pada kedua orang tuanya sekalipun ia seorang munafik apatah lagi bila keduanya termasuk golongan muttaqin...berikut riwayatnya :
حَدَّثنا مُحَمد بن بَشَّار وأبو موسى ، قالا : حَدَّثنا عمرو بن خليفة ، قال : حَدَّثنا مُحَمد بن عمرو ، عَن أبي سلمة ، عَن أبي هُرَيرة ، قال : مر رسول الله صلى الله عليه وسلم بعبد الله بن أُبي وهو في ظل أطمة فقال : غَبَّر علينا ابن أبي كبشة , فقال ابنه عَبد الله بن عَبد الله : يا رسول الله والذي أكرمك لئن شئت لأتيتك برأسه قال : لا ولكن بر أباك وأحسن صحبته.وهذا الحديث لا
Dari Abu Hurairah ra.,: pernah Rasulullah saw. lewat di hadapan Abdulloh ibn Ubay (seorang munafik) di suatu tempat yang agak tinggi. Dan ia berkata: Sungguh ibn Abi Kabsyah (nabi Muhammad) telah membuat kekacauan di antara kita. Maka Abdulloh ibn Abdulloh ibn Ubay berkata kepada Rasul: Ya Rasulallah, demi Dzat yang memuliakanmu, jika engkau suka aku untuk membawakan kepala ayahku ke hadapanmu; Jawab Rasul saw: jangan, akan tetapi berbuat baiklah kepada ayahmu dan perbaikilah hubungan dengannya..
(Hr. Al-Bazzar (w. 292 H), Musnad al-Bazzar, 2/ hlm. 399)Madinah dan Makkah serta seluruh jazirah Arab ialah Dar al-Kufr, setelah terjadi hijrah dan perluasan wilayah, daerah-daerah tersebut dinamai darul Islam dikarenakan menerapkan hukum Islam, sebagaimana diungkapkan oleh Imam al-Kasaa'iy (w. 587 H) dalam kitab Bada'i ash-Shonaa'i
لَا خِلَافَ بَيْنَ أَصْحَابِنَا فِي أَنَّ دَارَ الْكُفْرِ تَصِيرُ دَارَ إسْلَامٍ بِظُهُورِ أَحْكَامِ الْإِسْلَامِ فِيهَا
"Tidak ada perbedaan diantara sahabat-sahabat kami (dikalangan ulama) bahwa dar al-kufr dapat berubah menjadi dar Islam dengan diterapkannya hukum-hukum Islam di daerah tersebut." (15/ hlm. 406)
ذَكَرَ اللَّه سبحانه وتعالى في الوصية (أمر الوالدين) ثمّ نوّه بشأن الأم خاصة، فهو من باب ذكر (الخاص بعد العام) لزيادة العناية والاهتمام، ولبيان أن حق الأم على الولد أعظم من حق الأب
Dalam perintah-Nya untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, Alloh menyebutkan 'walidaini', kemudian disusul dengan menyebut ibu secara khusus. Ini dalam istilah bahasa disebut dzikrul khosh ba'dal 'am (menyebut yang khusus setelah umum), fungsinya untuk menambah perhatian dan memandangnya sebagai hal yang penting, dan untuk menerangkan bahwa hak ibu atas anak lebih besar daripada hak ayah."(2/ hlm. 240)
Untuk menjaga kondisi masyarakat agar tetap dalam keridhoan Alloh, termasuk anak-anak, maka salah satu strategi Dauah Islamiyyah yang dijalankan sebagai bentuk perhatiannya ialah menerapkan pendidikan yang sempurna pada anak, agar mereka memiliki keimanan yang kokoh, memahami al-Qur'an dan as-Sunnah sehingga beramal dilandasi oleh rasa takut kepada Alloh ta'ala. Berikut catatan dalam riwayat-riwayat tentang perhatian tersebut :
تعليم الولدان للقرآن شعار من شعائر الدين، أخذ به أهل الملة ودرجوا عليه في جميع أمصارهم، لما يسبق فيه إلى القلوب من رسوخ الإيمان وعقائده من آيات القرآن وبعض متون الأحاديث. وصار القرآن أصل التعليم الذي ينبني عليه ما يحصل بعده من الملكات
"mengajarkan al-Qur'an kepada anak-anak merupakan salah satu di antara syi'ar Islam yang dilakukan oleh semua pemeluknya dan telah dibudayakan di semua kota-kota besar. Hal ini karena perlunya qalbu anak-anak untuk lebih dahulu diisi dengan hal-hal yang memantapkan keimanan dan aqidahnya berkat ayat-ayat al-Qur'an dan teks-teks hadits yang dituangkan ke dalam qalbu mereka sejak usia dini, sehingga al-Qur'an menjadi pokok pengajaran yang dibina di atas landasannya semua pengembangan bakat yang bakal diraih di masa mendatang." (Imam ibn Khaldun (w. 808 H), Muqaddimah, 1/ hlm. 346)
وقال ابن عباس: توفي رسول الله -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وأنا ابن عشر سنين، وقد قرأت المحكم. .... عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس قال، جمعت المحكم في عهد النبي -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فقلت له: وما المحكم؟ قال: المفصَّل... وعلى كل تقدير، ففيه دلالة على جواز تعليم القرآن في الصِّبا، وهو ظاهر، بل قد يكون مستحبًّا أو واجبًا؛ لأن الصبي إذا تعلَّم القرآن بلَغَ وهو يعرف ما يصلي به، وحفظُه في الصِّغَرِ أولى من حفظِه كبيرًا، وأشد علوقًا بخاطره، وأرسخ وأثبت، كما هو المعهود في حال الناس.وقد استحبَّ بعض السلف أن يترك الصبي في ابتداء عمره قليلًا للعب، ثم توفر همته على القراءة؛ لئلّا يلزم أولًا بالقراءة فيملها ويعدل عنها إلى اللعب.وكره بعضهم تعليمه القرآن وهو لا يعقل ما يُقَال له، ولكن يُترك حتى إذا عَقِلَ ومَيَّزَ عُلِّمَ قليلًا قليلًا، بحسب همته ونهمته وحفظه وجودة ذهنه.واستحبَّ عمر بن الخطاب -رضي الله عنه- أن يلقن خمس
"ibn 'Abbas telah berkata : Rasul saw. wafat, sedang usia saya menginjak 10 tahun dan telah mempelajari ayat-ayat muhkam. Ibn 'Abbas juga telah mengatakan kepada Sa'id ibn Jubair : aku telah mengumpulkan semua ayat-ayat muhkam pada masa Rasulullah saw. Sa'id bertanya : apakah ayat-ayat muhkam itu ? beliau menjawab : surat-surat yang mufashshol ... dengan interpretasi apapun ma'na hadits menunjukkan kebolehan mengajari anak-anak untuk membaca al-Qur'an meskipun dalam usia dini, bahkan adakalanya mustahab atau bahkan diwajibkan. Hal itu karena sesungguhnya seorang anak apabila telah belajar al-Qur'an sejak kecil, maka saat menginjak usia baligh dia mengetahui apa yang harus dibaca dalam shalatnya. Menghafal al-Qur'an pada masa kecil lebih utama daripada menghafal setelah besar. Belajar pada masa kecil lebih melekat dalam ingatan, lebih mantap, dan lebih kokoh dalam hafalan sebagaimana telah dimaklumi oleh semua orang. Sesungguhnya sebagian ulama salaf ada yang berpendapat hendaknya anak diberi kesempatan dalam usia dini untuk sedikit bermain, kemudian diarahkan untuk belajar, agar diusia dini tidak ditekankan untuk langsung belajar tanpa diberi kesempatan bermain, karena pada akhirnya anak akan bosan dan lebih menyukai bermain. Sebagian ulama lain ada yang menilai makruh mengajari anak baca al-Qur'an diusia dini karena tidak dapat memahami apa yang dibacanya. Akan tetapi, hendaknya dibiarkan sampai bisa berakal dan tamyiz, lalu diajarkan al-Qur'an secara bertahap sesuai semangat, respon dan kemampuan hafalan dan kecerdasan akal. Umar ibn Khaththab menganjurkan anak diajari al-Qur'an sejak usia 5 tahun." (Imam ibn Katsir, Fadho'il al-Qur'an, 1/ hlm. 226)
Untuk melengkapi hal itu semua, sangatlah wajar pada abad 1 H juga sudah terdapat sarana penunjang pendidikan anak, ya'ni adanya perpustakaan, yang berisi berbagai jenis buku dan permainan bagi anak-anak. Imam Abu al-Faraj al-Ashfahaniy (w. 356 H) mengutarakan
أخبرني الحرمي قال حدثنا الزبير قال حدثني عبد الرحمن بن عبد الله عن عبد الله بن عمرو الجمحي قال كان عبد الحكم بن عمرو بن عبد الله بن صفوان الجمحي قد اتخذ بيتا فجعل فيه شطرنجات ونردات وقرقات ودفاتر فيها من كل علم وجعل في الجدار أوتادا فمن جاء علق ثيابه على وتد منها ثم جر دفترا فقرأه أو بعض ما يلعب به فلعب به مع بعضهم
"'Abd al-Hakim ibn 'Amr ibn 'Abdullah ibn Shafwan al-jumhiy membuat satu rumah untuk dijadikan sebatai tempat catur, dadu, dan mainan anak-anak serta buku-buku yang terdiri dari berbagai ilmu. Beliau membuat pasak-pasak pada dinding. Orang yang datang akan menggantungkan pakaiannya pada pasak tersebut, lalu mengambil buku untuk dibaca atau suatu permainan untuk digunakan bersama temannya" (al-Aghaniy, 4/ hlm. 250)
Inilah gambaran singkat dan sederhana tentang perhatian daulah Islamiyyah terhadap anak, ya'ni mempersiapkan mereka menjadi seorang mukallaf yang teguh dalam mengarungi kehidupan meraih kebaikan dengan tergapainya ridho Alloh ta'ala.
Bagaimana Anak Bisa Berpartisipasi dalam Menegakkan Daulah Islam?
Tidak seperti kapitalis yang memandang peran anak sebatas usia, Islam memandang anak sebagai status. Dikatakan memandang anak sebatas usia adalah melihat fenomena dalam masyarakat kapitalis dimana anak adalah dari usia tertentu sampai usia tertentu. Di luar usia yang mencakupinya, maka ia bukanlah anak. Ia adalah bayi yang benar-benar membutuhkan perawatan atau orang dewasa yang mampu memutuskan kehidupannya sendiri tanpa campur tangan siapapun. Tidak heran jika banyak terjadi pelantaran terhadap orang-orang lanjut usia karenanya. Dengan demikian, setiap orang tua benar-benar berupaya menjadikan anak-anaknya sholih. Mereka tidak bangga bahkan sedih bila mendapati anak-anaknya sukses di dunia namun jauh dari perilaku Islam.
Di saat yang sama, dalam upayanya mendampingi anak-anaknya agar menjadi anak yang sholih, mereka berupaya sekuat tenaga untuk menjadi anak yang sholih bagi kedua orang tuanya. Luar biasa, sekiranya ini benar-benar dipahami umat Islam, maka keberadaan hubungan orang tua dan anak akan senantiasa berlangsung terus menerus. Sambung menyambung dari keturunan yang satu pada keturunan berikutnya. Terus menerus bagaikan tali yang tidak terputus.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua agar anak-anaknya menjadi generasi dambaan umat, yaitu:
1. Menanamkan rasa cinta dalam hati anak pada Alloh dan RosulNYA.
2. Menanamkan rasa cinta pada Al Qur'an dan membiasakan anak untuk berinteraksi dengan Al Qur'an.
3. Menanamkan rasa cinta pada syari'at Islam dan membiasakan untuk terikat dengan Syari'at Islam.
4. Menanamkan rasa cinta dan hormat pada ayah dan ibu.
5. Berupaya sekuat tenaga untuk menjadikan diri (ibu) sebagai sumber informasi bagi anak-anak sehingga segala bentuk informasi dan pengaruh negatif dari luar mampu difilter oleh ibu.
6. Mengkondisikan rumah bukan hanya sebagai tempat istirahat dan arena bermain tetapi juga sebagai tempat yang nyaman untuk melakukan aktivitas-aktivitas ibadah dan keilmuan.
7. Bersama-sama berupaya membangun keluarga yang kompak dalam melaksanakan segala bentuk kebaikan sehingga suasana berlomba-lomba dalam kebaikan yang dimulai dari rumah mampu dibawa anak ke lingkungan di luar rumah.
8. Memilihkan tempat dan atau metode pendidikan yang tepat agar mampu membentuk kepribadian Islam yang kuat pada anak.
9. Membiasakan anak untuk terlibat dalam segala bentuk aktivitas dakwah.
Tentunya, tidaklah bisa seseorang dikatakan sholih jika ia meninggalkan dakwah demi meraup materi. Dakwah juga bukan sebuah label yang dapat gugur kewajibannya setelah ia mengazamkan diri sebagai pengemban dakwah. Dakwah adalah sebuah aktivitas yang kontinyu lillahi robbil 'alamin.
Peran dakwah dalam kebangkitan Islam dan mengembalikan kehidupan Islam sangat besar. Siapapun bisa melakukannya tidak terkecuali anak-anak. Islam sendiri tidak menomor duakan anak-anak atau siapapun dalam mengemban dakwah Islam. meskipun dakwah diwajibkan bagi yang sudah baligh, tetap ada kebaikan bagi yang belum baligh dalam mengemban dakwah bahkan kebaikan itu juga diberikan pada kedua orang tuanya. Kebaikan yang senantiasa dirindukan setiap insan yang bertakwa dan merupakan kebanggaan tersendiri bagi orang tua yang mampu menjadikan anak-anaknya (baik yang sudah baligh maupu belum) meraih kebaikan itu.
Inilah yang seharusnya menjadi tujuan bagi setiap muslim, janji Alloh akan ridlo dan ampunanNya. Sehingga apapun aktivitas dan peran yang diberikan Alloh padanya tidak melupakan dirinya dari ghoyah yang sebenarnya, yakni menggapai ridlo Alloh. Wallohu a'lam bi ash-showwab...
bunda zahroh dan wafa'