حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْجَعْدِ اللُّؤْلُئِيُّ، أَخْبَرَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، عَنْ حِبَّانَ بْنِ زَيْدٍ الشَّرْعَبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ قَرْنٍ.ح، حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا حَرِيزُ بْنُ عُثْمَانَ، حَدَّثَنَا أَبُو خِدَاشٍ، وَهَذَا لَفْظُ عَلِيٍّ، عَنْ رَجُلٍ مِنِ الْمُهَاجِرِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ قَالَ: غَزَوْتُ مَعَ النَّبِيِّ ثَلَاثًا، أَسْمَعُهُ يَقُولُ: " الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّار "
" Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api "(Hr. Abu Daud, Sunan Abu Daud, 2/596 - 952)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي الزِّنَادِ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: " ثَلَاثٌ لَا يُمْنَعْنَ: الْمَاءُ وَالْكَلَأُ وَالنَّارُ "
"Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu air, padang dan api " (Hr. Ibn Majah, Sunan ibn Majah, 3/177 - 606)
Perawi
Penilaian terhadap para perawi hadits riwayat Imam Abu Daud : 'Ali ibn Ja'di dinilai oleh Imam Ibn Hajar al-Asqolani dalam at-Taqrib sebagai Tsiqoh Tsabit (2/398); Hazir ibn Utsman dinilai Imam Abu Hatim ar-Raziy dalam al-Jarh wa at-Ta'dil dengan ungkapan Hasan al-Hadits, dan beliau juga mengatakan tidak diketahui ada orang di Syam yang lebih Tsabit dari Hazir ibn Utsman (3/289);
Hibban ibn Zaid asy-Syar'abiy dengan nama al-kunyah Abu Khidaasy dimasukkan oleh Imam ibn Hibban sebagai perawi tsiqoh dalam kitab ats-Tsiqoh (4/181) ; Musaddad dengan nama al-Kunyah Abu al-Hasan dinilai oleh Imam al-'Ijliy dalam kitab ats-Tsiqoh sebagai perawi yang tsiqoh (2/272); 'Isa ibn Yunus dengan al-Kunyah Abu al-'Amru dinilai oleh Imam ibn Hajar al-Asqolani sebagai tsiqoh ma'mun dalam kitab at-Taqrib (2/441). Hadits ini tidak menyebutkan nama sahabat yang dimaksud, namun tidak mengurangi keshohihan hadits yang diriwayatkan oleh Imam abu Daud, sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah.
Penilaian ulama terhadap perawi hadits riwayat Imam ibn Majah : Muhammad ibn Abdillah ibn Yazid dinilai oleh Imam Abu Hatim ar-Raziy dalam al-Jarh wa at-Ta'dil dengan ungkapan Shoduq Tsiqoh (7/308); Sufyan dengan al-Kunyah Abu Muhammad termasuk perawi Imam Bukhori dan Imam Muslim, dan Imam Ibn Hajar al-Asqolani memberi penilaian beliau sebagai sosok Tsiqoh Hafizh dalam kitab At-Taqrib (1/245); Abu az-Zinaad termasuk perawi Imam Bukhori dan Imam Muslim, al-Kirmaniy mengungkapkan bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal pernah mengutarakan bahwa Sufyan menilai Abu az-Zinad sebagai Amirul Mu'minin Fi al-Hadits (al-Jarh wa at-Ta'dil, 5/49); al-A'roj dinilai oleh Imam Ibn Hajar al-Asqolani dalam at-Taqrib dengan ungkapan Tsiqoh Tsabit 'Aalim (2/352). Dengan demikian hadits ini terkategori maqbul (dapat diterima) dan dapat dijadikan hujjah.
Dalam riwayat lain yang matn-nya shohih diungkapkan dengan redaksi umum, ya'ni riwayat Abu 'Ubaid al-Qasim ibn Salam al-Baghdadiy (w. 224 H) dalam kitabnya al-Amwaal :
فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: " النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي الْمَاءِ، وَالْكَلإِ، وَالنَّارِ "
"Saya mendengar Rasul saw. bersabda : masyarakat berserikat dalam tiga perkara yaitu air, padang rumput dan api " (al-Amwaal, hlm. 216)
Sumber Daya Alam Milik Masyarakat Bukan Milik Individu Maupun Kelompok
Berkaitan dengan hadits yang telah disebutkan, Imam Sarakhsi (w. 483 H) mengutarakan :
عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ { الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ } وَفِي الرِّوَايَاتِ : النَّاسُ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ ، وَهَذَا أَعَمُّ مِنْ الْأَوَّلِ فَفِيهِ إثْبَاتُ الشَّرِكَةِ لِلنَّاسِ كَافَّةً : الْمُسْلِمِينَ وَالْكُفَّارِ فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ ، وَهُوَ كَذَلِكَ ، وَتَفْسِيرُ هَذِهِ الشَّرِكَةِ فِي الْمِيَاهِ الَّتِي تَجْرِي فِي الْأَوْدِيَةِ ، وَالْأَنْهَارِ الْعِظَامِ كَجَيْحُونَ وَسَيْحُونَ ، وَفُرَاتٍ ، وَدِجْلَةٍ ، وَنِيلٍ فَإِنَّ الِانْتِفَاعَ بِهَا بِمَنْزِلَةِ الِانْتِفَاعِ بِالشَّمْسِ ، وَالْهَوَاءِ وَيَسْتَوِي فِي ذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ ، وَغَيْرُهُمْ ، وَلَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَمْنَعَ أَحَدًا مِنْ ذَلِكَ ، وَهُوَ بِمَنْزِلَةِ الِانْتِفَاعِ بِالطُّرُقِ الْعَامَّةِ مِنْ حَيْثُ التَّطَرُّقُ فِيهَا ، وَمُرَادُهُمْ مِنْ لَفْظَةِ الشَّرِكَةِ بَيْنَ النَّاسِ بَيَانُ أَصْلِ الْإِبَاحَةِ ، وَالْمُسَاوَاةِ بَيْنَ النَّاسِ فِي الِانْتِفَاعِ لَا أَنَّهُ مَمْلُوكٌ لَهُمْ فَالْمَاءُ فِي هَذِهِ الْأَوْدِيَةِ لَيْسَ بِمِلْكٍ لِأَحَدٍ
"dan dalam riwayat (an-Naasu syurokaa'u fii tsalaatsin) lebih umum dari riwayat pertama, dan di dalam hadits ini terdapat ketetapan berserikatnya manusia baik muslim maupun kafir (kafir dzimmiy) dalam tiga hal tersebut. Demikian juga penafsiran perserikatan ini dalam hal air yang mengalir di lembah dan sungai besar seperti Jihun, Sihun, Eufrat, Tigris dan Nil. Maka pemanfaatannya seperti pemanfaatan matahari dan udara; Muslim dan Non-Muslim memiliki hak yang sama. Tidak diperbolehkan seorangpun menghalangi orang lain dari pemanfaatan itu. Statusnya seperti pemanfaatan jalan umum untuk berjalan di jalan itu. Maksud mereka dari lafazh asy-Syarikah bayna an-Naas (Berserikat di antara manusia) adalah penjelasan ketentuan dasar kebolehan dan kesetaraan (musaawah) di antara manusia dalam hal pemanfaatan (ketiganya), bukan karena ketiganya hak milik. Jadi air dilembah itu bukan milik seseorang." (al-Mabsuuth, 27/4)
Dalam hadits diungkapkan al-Maa'u, al-Kalaa'u dan an-Naaru yang termasuk Isim Jamid. Sehingga memberi kesan bahwa masyarakat berserikat dalam zat yang disebutkan ya'ni air, padang rumput dan api. Namun, bila dikaji lebih lanjut ternyata didapati ketetapan Rasul (karena ketetapan maka termasuk dalil) ya'ni : Rasul saw. mengizinkan sumur air dimiliki individu dan diperjualbelikan di Madinah, hal ini tampak dalam riwayat berikut :
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ يَحْفِرْ بِئْرَ رُومَةَ فَلَهُ الْجَنَّةُ فَحَفَرَهَا عُثْمَانُ
" Barangsiapa yang menggali sumur Ruumah maka baginya adalah al-Jannah (surga). " (Hr. Bukhori, Shohih Bukhori, 12/28)
Sumur Ruumah ialah sumur terkenal di lembah Madinah yang menjadi milik seorang Yahudi. Imam al-'Aini (w. 855 H) dalam kitab 'Umdatul Qari' mengutip penuturan Imam al-Kilabiy yang senada dengan penuturan Imam al-Kirmaniy bahwa kaum muslimin biasa membeli air dari sumur tersebut dengan harga 1 dirham tiap 1 kantong air, sebelum Utsman membeli sumur tersebut dan menwakafkannya untuk kaum muslimin,
وقال الكرماني رومة بضم الراء وسكون الواو كان ركية ليهودي يبيع المسلمين ماءها...وذكر الكلبي أنه كان يشتري منها قربة بدرهم قبل أن يشتريها عثمان رضي الله تعالى عنه
('Umdatul Qari', 21/141)
Jika saja berserikatnya masyarakat dalam zat, tentu Rasul saw. tidak akan mengizinkan sumur dimiliki individu dan juga tidak akan membolehkan zat tersebut diperjualbelikan. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat ialah berserikatnya masyarakat bukan dalam zat (air, padang rumput dan api) melainkan karena adanya 'illat (Shifaat mundhobithoh –sifat mengikat–), yaitu karena keberadaannya yang dibutuhkan oleh masyarakat, bila tidak ada akan menimbulkan masalah dalam mencarinya. Sifat tersebut menjadi 'illat istinbaathon dalam berserikatnya masyarakat dalam ketiga perkara tersebut.
Kaidah ushul menyatakan al-hukm yaduuru ma'a 'illatihi wujuudan wa 'adaman (ada dan tidaknya hukum mengikuti ada dan tidaknya 'illat). Dengan demikian, berarti masyarakat berserikat dalam setiap perkara yang menjadi 'illat dari perserikatan tersebut, ya'ni pada fasilitas umum (air, padang rumput, dan api), serta semua harta yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum yang keberadaannya dibutuhkan masyarakat secara bersama dan menimbulkan permasalahan dalam mencarinya bila tidak ada.
Berkaitan dengan pengertian an-naaru (api), dalam kitab Lisan al-'Arab diungkapkan :
( شرك ) الشِّرْكَةُ والشَّرِكة سواء مخالطة الشريكين يقال اشترَكنا بمعنى تَشارَكنا وقد اشترك الرجلان وتَشارَكا وشارَك أَحدُهما الآخر ... وروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أَنه قال الناسُ شُرَكاء في ثلاث الكَلإ والماء والنار قال أَبو منصور ومعنى النار الحَطَبُ الذي يُستوقد به فيقلع من عَفْوِ البلاد وكذلك الماء الذي يَنْبُع والكلأُ الذي مَنْبته غير مملوك والناس فيه مُسْتَوُون
“Asy-Syirkah dan al-Syarikah sama saja, ya'ni mukhaalithah al-syarikain (bercampurnya dua peserikat). Dikatakan, “Isytaraknaa (kami berserikat), maknanya adalah “tasyaaraknaa (kami saling berserikat). Dan qad isytaraka al-rajulaan (dua orang laki-laki berserikat), artinya adalah tasyaaraka (keduanya saling berserikat), dan satu dengan yang lain saling berserikat … Diriwayatkan dari Nabi saw. bahwasanya beliau bersabda, “Manusia saling berserikat dalam tiga hal, padang rumput, air, dan api. Abu Manshur berkata, “Makna al-naar (api) adalah kayu yang digunakan untuk membakar dan ditebang dari tempat yang jauh. Demikian juga air yang berasal dari mata air, dan padang rumput yang tumbuh yang tidak ada pemiliknya, maka, seluruh manusia memiliki hak yang sama di dalamnya .. "
[Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, 10/448]
Dari pengertian ini berarti yang dikehendaki dari kata an-naaru dalam hadits ialah bukan sekedar api itu sendiri melainkan juga sumber yang dengannya dapat menimbulkan api, berarti termasuk dalam pengertian ini ialah Sumber Daya Alam yang mampu menghasilkan energi. Dan ini tentu saja sejalan dengan 'illat istinbaathon dari hadits tersebut, ya'ni dilihat dari sisi keberadaannya, Sumber Daya Alam termasuk sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian, SDA termasuk milik masyarakat bersama, dimana masyarakat berserikat dalam hal tersebut.
Dan ditinjau dari sisi jumlahnya (depositnya), setiap barang tambang yang depositnya (jumlah) besar maka tambang tersebut menjadi milik umum (al-milkiyyah al-'aamah), didasarkan pada hadits :
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ ، أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ : أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، قَالَ : فَانْتَزَعَ مِنْهُ
"... Abyadh ibn Hammal pernah datang kepada Rasululloh saw. dan meminta diberi tambang garam. Lalu Beliau memberikannya. Ketika ia pergi, seorang lelaki yang ada dalam majelis berkata : Tahukah anda apa yang anda berikan, tidak lain anda memberinya laksana air yang terus mengalir; Ia berkata : Rasul lalu menariknya dari Abyadh ibn Hammal " (Hr. Abu Daud, Sunan Abu Daud, 3/174)
Riwayat ini berkaitan dengan tambang garam, bukan garam itu sendiri. Dalam riwayat Imam an-Nasa'i diungkapkan dengan معدن الملح (Ma'din al-milh, tambang garam, Sunan an-Nasa'i, 3/406). Rasul saw. mengambil kembali tambang tersebut karena depositnya besar, bagaikan air yang terus mengalir tidak terputus, dan ini menjadi 'illat penarikan tambang tersebut dari kepemilikan individu. Padahal dalam hadits Imam Bukhori, diharamkan kita mengambil kembali pemberian yang telah diberikan, karena ada qorinah jazm ya'ni Rasul saw. mengumpamakannya dengan ungkapan Kalkalbin yarji'u fii qoy'ihi (seperti anjing yang menjilat muntahnya sendiri). Dengan demikian, jika Rasul saw. melarang menarik kembali barang pemberian, sementara Beliau sendiri melakukannya, dan itu dilakukan setelah beliau mengetahui bahwa tambang yang diberikan itu depositnya melimpah (al-maa`u al-‘iddu), maka semua itu menunjukkan bahwa benda tersebut (barang tambang yang depositnya besar) tidak boleh dimiliki secara individu ataupun kelompok.
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, akhirnya kita bisa memahami bahwa SDA termasuk milik masyarakat, dan masyarakat berhak secara setara memanfaatkannya dan tidak boleh seorang individu atau kelompok apapun yang menghalangi. Dan sungguh, hal ini membuktikan Alloh ta'ala telah menurunkan syari'at Islam yang mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat secara merata, karena pengelolaan SDA pada dasarnya adalah pengelolaan milik masyarakat dan hasilnya dikembalikan untuk mensejahterakan seluruh masyarakat.
Dalam Islam : Negara Yang Mengelola Sumber Daya Alam Yang Menjadi Hak Masyarakat Bukan Swasta
Dilihat dari sisi keberadaannya yang sangat dibutuhkan dan dari sisi jumlahnya yang sangat besar, sebagaimana yang dipahami dari hadits-hadits yang telah dijelaskan, maka SDA merupakan milik masyarakat. Dan pengelolaannya wajib dilakukan oleh negara sebagai wakil dari masyarakat, dan hasilnya untuk kesejahteraan masyarakat secara merata.
Fakta saat ini, pengelolaan SDA dibawah naungan Sistem Kapitalisme yang dianut di negeri kita, hasilnya SDA boleh dimiliki oleh swasta dan hasilnya tidak bisa dinikmati masyarakat secara merata. Haluan Kepri (Senin, 30 april 2012) menyebutkan "Keberadaan sejumlah perusahaan berskala besar tak menjamin kesejahteraan warga sekitar. Buktinya, di Desa Payak Laman, Anambas banyak berdiri perusahaan Migas, namun ironisnya warga belum menikmati aliran listrik ...", bahkan potensi Alam tersebut telah dijarah oleh asing, disebutkan dalam Haluan Kepri (Senin, 30 april 2012) " Potensi alam di wilayah perbatasan Provinsi Kepri rawan penjarahan dari nelayan-nelayan asing " , hal ini sangat menyedihkan dan mengkhawatirkan.
Padahal dalam Islam, hanya negara yang berhak mengurusi urusan masyarakat dan memperhatikan hal ihwal mereka (ri'ayah syu'un wa an-nazhor fii umuur) agar sejalan dengan ketetapan Alloh dan Rasul-Nya. Dalam hadits shohih, Rasul saw. bersabda :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ...
"Setiap kalian adalah pengurus dan penanggungjawab atas urusannya. Dan Imam (Penguasa) ialah pengurus dan hanya dialah yang jadi penanggung jawab atas urusannya.." (hr. Bukhori, Shohih Bukhori, 8/253)
Dikarenakan dalam Islam SDA milik masyarakat, maka agar tidak dimiliki individu dan kelompok tertentu, serta adanya jaminan bagi masyarakat dalam memanfaatkannya secara merata (tanpa diskriminasi), maka negara lah yang wajib mengelolanya, tidak boleh diserahkan kepada pihak swasta, baik lokal maupung asing. Sebab bagaimanapun juga, tujuan pengelolaan pihak swasta ialah profit oriented bagi diri mereka sendiri dan bukan untuk kemashlahatan masyarakat. Allohu ta'ala a'lam