As-Sunnah memiliki kedudukan penting dalam hukum Islam, yaitu sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Ilmu yang mendalaminya merupakan sarana utama untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Imam an-Nawawi telah berkata dalam kitabnya,
فإن علم الحديث من أفضل القرب إلى رب العالمين
“Ilmu Hadits merupakan medium optimal untuk mendekatkan diri kepada Rabb al-‘alamin”
[at-Taqrib wa at-Taisir, 1:1]
Rasulullah telah berhasil mendidik generasi yang senantiasa berpegang teguh pada as-Sunnah. Bukti mengenai amalan para sahabat yang senantiasa diselaraskan dengan as-Sunnah dapat dilihat dalam berbagai riwayat yang berkaitan dengan hal tersebut, dalam salah satu riwayat disebutkan,
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ قَالَ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنَا السَّائِبُ بْنُ يَزِيدَ ابْنُ أُخْتِ نَمِرٍ أَنَّ حُوَيْطِبَ بْنَ عَبْدِ الْعُزَّى أَخْبَرَهُ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ السَّعْدِىِّ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ قَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِى خِلاَفَتِهِ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ أَلَمْ أُحَدَّثْ أَنَّكَ تَلِى مِنْ أَعْمَالِ النَّاسِ أَعْمَالاً فَإِذَا أُعْطِيتَ الْعُمَالَةَ كَرِهْتَهَا قَالَ فَقُلْتُ بَلَى. فَقَالَ عُمَرُ فَمَا تُرِيدُ إِلَى ذَلِكَ قَالَ قُلْتُ إِنَّ لِى أَفْرَاساً وَأَعْبُداً وَأَنَا بِخَيْرٍ وَأُرِيدُ أَنْ تَكُونَ عُمَالَتِى صَدَقَةً عَلَى الْمُسْلِمِينَ. فَقَالَ عُمَرُ فَلاَ تَفْعَلْ فَإِنِّى قَدْ كُنْتُ أَرَدْتُ الَّذِى أَرَدْتَ فَكَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- يُعْطِينِى الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى حَتَّى أَعْطَانِى مَرَّةً مَالاً فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّى. قَالَ فَقَالَ لَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلاَ سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لاَ فَلاَ تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ »
“...diriwayatkan dari Sa’ib ibn Yazid ibn Ukhti Namir, bahwa Huwaithib ibn Abd Uzza mengabarkan kepadanya bahwa Abdullah ibn al-Sa’diy memberitahukan kepadanya, bahwa ia datang kepada Umar ibn Khattab semasa kekhalifahannya. Umar lalu berkata kepadanya,’aku diberitahu, bahwa engkau membawahi pekerjaan masyarakat. Tetapi bila engkau diberi karyawan, engkau enggan menerimanya, benarkah demikian?’ Ia bertanya: saya menjawab:’benar’. Lalu Umar bertanya,’lantas apa maksudmu?’ Ia berkata,’saya menjawab: sesungguhnya saya banyak memiliki kuda dan sahaya. Dan saya sendiri dalam keadaan baik – baik saja. Saya ingin agar karyawan – karyawanku itu menjadi sedekah bagi kaum muslimin.’ Umar berkata,’ya jangan begitu, sebab saya sendiri juga pernah menginginkan hal yang sama dengan yang kamu inginkan itu. Tetapi Rasulullah memberikan bagian kepadaku; kemudian aku berkata: hendaknya tuan memberikan kepada yang lebih membutuhkannya daripada diriku. Sampai suatu saat, beliau memberikan harta kepadaku; akupun berkata: hendaknya tuan berkenan memberikan kepada yang lebih membutuhkan daripada diriku;‘ perawi berkata kemudian Rasulullah bersabda,’ ambillah, lalu kembangkanlah dan bersedekahlah dengan hasil-nya. Adapun harta yang datang kepadamu ini, dan engkau sendiri tidak menghendaki dan tidak meminta, maka ambillah. Dan harta yang tidak demikian, maka jangan engkau ikutkan dirimu.’ ” [Hr. Ahmad, Musnad Ahmad, 1:105 no.101]
Para sahabat menjadi generasi terbaik dari umat ini, generasi yang begitu dekat hubungannya dengan Allah , mereka hidup bersama Rasulullah , berdakwah bersama beliau, berjihad dengannya, dan bersama – sama dengan beliau menegakkan Daulah Islam. Predikat terbaik itu diperoleh karena kekokohan aqliyah dan nafsiyah Islamiyah yang ada pada mereka, dimana keduanya dibangun diatas pondasi keimanan yang lurus. Kekuatan kepribadian itu juga tercermin dalam menerima atau menyampaikan as-Sunnah yang tampak pada dua hal yaitu senantiasa cermat dalam menerima khabar dan hati – hati ketika menyampaikan khabar. Cermatnya sahabat dalam menerima khabar dapat dilihat pada riwayat berikut
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ خُصَيْفَةَ عَنْ بُسْرِ بْنِ سَعِيدٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ كُنْتُ فِى مَجْلِسٍ مِنْ مَجَالِسِ الأَنْصَارِ إِذْ جَاءَ أَبُو مُوسَى كَأَنَّهُ مَذْعُورٌ فَقَالَ اسْتَأْذَنْتُ عَلَى عُمَرَ ثَلاَثًا ، فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى فَرَجَعْتُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ قُلْتُ اسْتَأْذَنْتُ ثَلاَثًا ، فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى فَرَجَعْتُ ، وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِذَا اسْتَأْذَنَ أَحَدُكُمْ ثَلاَثًا فَلَمْ يُؤْذَنْ لَهُ ، فَلْيَرْجِعْ » . فَقَالَ وَاللَّهِ لَتُقِيمَنَّ عَلَيْهِ بِبَيِّنَةٍ . أَمِنْكُمْ أَحَدٌ سَمِعَهُ مِنَ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَ أُبَىُّ بْنُ كَعْبٍ وَاللَّهِ لاَ يَقُومُ مَعَكَ إِلاَّ أَصْغَرُ الْقَوْمِ ، فَكُنْتُ أَصْغَرَ الْقَوْمِ ، فَقُمْتُ مَعَهُ فَأَخْبَرْتُ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ ذَلِكَ . وَقَالَ ابْنُ الْمُبَارَكِ أَخْبَرَنِى ابْنُ عُيَيْنَةَ حَدَّثَنِى يَزِيدُ عَنْ بُسْرٍ سَمِعْتُ أَبَا سَعِيدٍ بِهَذَا
“...Abu Sa’id al-Khudri bahwa ia berkata: aku sedang berada di salah satu majelis kaum Anshar. Tiba – tiba datang Abu Musa, seakan sedang kesal, lalu berkata,’aku meminta izin bertemu kepada Umar sebanyak tiga kali, tetapi tidak diberi izin kemudian aku kembali saja. Lalu ia berkata: Mengapa engkau tidak jadi masuk?. Aku menjawab: aku telah meminta izin sebanyak tiga kali tetapi tidak diberi izin, sehingga aku kembali. Dan Rasulullah pernah bersabda: Bila seseorang di antara kamu meminta izin (untuk bertemu) tiga kali, tetapi tidak diizinkan maka sebaiknya ia kembali saja. Umar berkata: demi Allah, hendaknya engkau memberikan saksi atas perkataanmu itu, adakah salah seorang di antara kamu yang mendengarnya dari Nabi? Lalu Ubay ibn Ka’ab berkata: demi Allah tidaklah berdiri bersamamu kecuali yang terkecil di antara kaummu. Akulah yang kecil itu. Lalu aku berdiri bersamanya. Aku beritahukan kepada Umar bahwa Nabi memang berkata demikian. ”[Hr. Bukhari, Shahih Bukhari, 20:477 no.6245]
Hadits di atas juga terdapat dalam riwayat Imam Malik, bahwa selanjutnya Umar telah berkata,
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ لأَبِى مُوسَى أَمَا إِنِّى لَمْ أَتَّهِمْكَ وَلَكِنْ خَشِيتُ أَنْ يَتَقَوَّلَ النَّاسُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
“Umar ibn Khattab berkata kepada Abu Musa,’ingatlah, sebenarnya aku tidaklah mencurigaimu. Akan tetapi aku hanya khawatir orang – orang akan mudah mengatakan sesuatu dari Rasul’”
[Hr. Malik, Muwatha’, 5: 489 no.1768]
Salah satu riwayat yang mengungkapkan kehati – hatian para sahabat Rasulullah ketika menyampaikan khabar ialah sebagai berikut,
وقال عبد الرحمن بن أبي ليلى أدركت مائة وعشرين من الأنصار من أصحاب محمد صلى الله عليه و سلم ما منهم أحد يحدث بحديث إلا ود أن أخاه كفاه إياه ولا يستفتى عن شيء إلا ود أن أخاه كفاه إياه وفي رواية يسأل أحدهم المسألة فيردها هذا إلا هذا حتى ترجع إلى الأول
“berkata Abdurrahman ibn Abi Laila: saya pernah bertemu dengan seratus dua puluh sahabat Rasulullah dari kalangan Anshar. Tak seorangpun di antara mereka yang meriwayatkan hadits, kecuali ingin saudaranya cukup dengannya. Dan tak seorangpun yang dimintai fatwa tentang sesuatu kecuali ingin agar saudaranya merasa cukup dengannya. Dalam riwayat lain disebutkan: salah seorang ditanya tentang suatu masalah. Tetapi ia mengembalikan kepada yang lain dan yang lain mengembalikan lagi kepada yang lain sehingga kembali lagi kepada yang pertama. ” [Abu Syamah, Mukhtashar al-Mu’ammal, 1:40-41]
Sahabat senantiasa memastikan bahwa khabar yang diterima dari pihak lain yang disandarkan kepada Rasulullah adalah benar dari beliau dan mereka berhati – hati dalam menyampaikan khabar agar yang disampaikan tidak menyelisihi perkataan, perbuatan atau taqrir Rasulullah yang didengar sendiri atau mendengar dari sahabat yang lain. Aktivitas ini mereka lakukan karena menyadari akan pentingnya hal tersebut. Dorongan sahabat Rasulullah melakukan aktivitas tersebut dapat kembali pada dua hal yang menjadi pemahaman mereka, yaitu: pertama, setiap amal perbuatan harus memiliki sandaran yang jelas yaitu bersandar kepada Rasulullah, karena setiap yang datang dari Rasul diterima dan jika datang dari selain Rasul maka ditolak; kedua, setiap yang disandarkan kepada Rasul tidak boleh menyelisihi atau membuat samar kandungan khabar tersebut, karena Allah menurunkan al-Qur’an untuk menjelaskan seluruh perkara dan as-Sunnah merupakan penjelas bagi al-Qur’an sehingga segala sesuatu yang menyelisihi dan atau membuat samar kandungan didalamnya merupakan perkara yang bertentangan dengan tujuan dari al-Qur’an dan as-Sunnah itu sendiri yaitu menjelaskan seluruh perkara (membimbing pada kebenaran). Dengan demikian tampak pada kita bahwa para sahabat begitu ketat dalam menerima dan atau menyampaikan as-Sunnah, perbuatan mereka merupakan salah satu bagian dari upaya untuk menjaga pemahaman dan amal perbuatan agar senantiasa sejalan dengan Islam.
Benih kemunduran yang dialami generasi sesudah sahabat telah memunculkan berbagai faktor yang menyebabkan kemunculan hadits dha’if. Faktor – faktor ini dapat dikembalikan pada sebab – sebab dari kedha’ifan hadits tersebut. Secara umum, sebab tersebut dapat dikembalikan pada salah satu dari dua sebab pokok, yaitu (a) ketidakmuttashilan dan (b) selain ketidakmuttashilan sanad. Hadits dha’if memiliki tingkatan yang berbeda, yang paling lemah ialah hadits maudhu’. Kehadiran hadits dha’if menjadi perbincangan di kalangan ulama karena kemunculannya menimbulkan problema tersendiri, yaitu terkait dengan bagaimana meriwayatkan dan mengamalkannya. Untuk meriwayatkan hadits dha’if, ulama berpandangan boleh dengan disertai penjelasan mengenai kedha’ifan hadits tersebut. Adapun mengenai hukum mengamalkannya, ulama berbeda pendapat, dan tulisan ini mencoba memaparkan pendapat ulama dan menganalisis pendapat yang kuat. Sehingga dengannya umat tetap bersandar pada sandaran yang kokoh lagi tidak ada kesamaran didalamnya.
Definisi Hadits Dha’if
Ada beberapa pembahasan dalam bagian ini, (a) tinjauan arti dari hadits dan dha’if ; (b) tinjauan arti dari hadits dha’if. Secara bahasa hadits dapat bermakna jadid (baru) dan dapat pula bermakna khabar (berita). Bila dikatakan perkataan حديث الْعهد في الإسلام (orang tersebut baru memeluk Islam ) makna haditsu ialah jadid. Dalam al-Qur’an terdapat ayat yang menunjukkan bahwa hadits juga bermakna khabar,
فَلَعَلَّكَ بَاخِعٌ نَفْسَكَ عَلَى آَثَارِهِمْ إِنْ لَمْ يُؤْمِنُوا بِهَذَا الْحَدِيثِ أَسَفًا
“Maka (apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati setelah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Al-Quran)” [Qs. al-Kahfi 18: 6]
Ibn Manzhur menjelaskan,
وقوله تعالى وأَما بنِعْمةِ ربك فَحَدِّثْ أَي بَلِّغْ ما أُرْسِلْتَ به
“Dan firman Allah ta’ala: ‘dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaknya kamu menyebut - nyebutnya’ yakni sampaikanlah apa – apa (risalah) yang dibebankan kepadaku.” [Lisan al-‘Arab, 2:131]
Adapun secara istilah hadits memiliki makna,
ما اُضيف إلى النبي صلعم من قول أو فعل أو تقرير، أو وصف خَلْقي – أي متعلق ككونه عليه الصلاة والسلام ليس بالطويل ولا بالقصير-، أو خُلُقي –أي متعلق بالخُلق ككونه يواجه احداً بمكروه
“apa yang disandarkan kepada Nabi , berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, atau sifat penciptaannya –terkait dengan penciptaannya yang tidak pendek dan tidak panjang – atau tingkah lakunya –terkait dengan beliau tidak menghadapi seseorang dengan kebencian – . ”
[Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, 1:326]
Bila dikatakan hadits secara mutlak, maka yang dimaksud ialah definisinya secara istilah yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi dst. Pengertian ini dapat berpaling dari definisi istilahnya ketika ada qarinah yang menyertainya, seperti hadits mauquf, hadits muqayyad, hadits maqthu’, dimana lafadz hadits dalam penyatuan dua lafadz tersebut tidak bisa diartikan berdasarkan makna istilah dikarenakan ada lafadz lain yang menyertai lagi membatasinya.
Secara bahasa pengertian dha’if ialah lemah, dengan kata lain lawan dari kuat. Ibn Manzhur mengungkapkan dalam kitabnya,
ضعف - الضَّعْفُ والضُّعْفُ خِلافُ القُوّة
“...lawan dari kuat.” [Lisan al-‘Arab, 9:203]
Penjelasan senada juga diungkapkan dalam kitab Mu’jam Lughah al-Fuqaha’,
الضعيف: بفتح الضاد، ج ضعاف وضعفاء، ذو الضعف خلاف القوى
“...lawan dari kuat.” [Mu’jam lughah al-fuqaha’, 1:284]
Setelah melihat pengertian hadits dan dha’if secara terpisah, kita perlu mengetahui pendapat ulama mengenai pengertian hadits dha’if itu sendiri. Berikut dikutip beberapa pendapat ulama,
كل حديث لم يجتمع فيه صفات الحديث الصحيح ولا صفات الحديث الحسن
“seluruh hadits yang tidak berkumpul didalamnya sifat hadits shahih dan tidak pula sifat hadits hasan.” [Ibn Shalah, Muqaddimah ibn Shalah, 1:25]
وهو ما لم يجمع صفة الصحيح أو الحسن
“(hadits dha’if) ialah hadits yang tidak berkumpul padanya sifat shahih atau hasan.” [an-Nawawi, at-Taqrib, 1:2]
وهو ما لم يجمع فيه صفات الصحيح ولا صفات الحسن
“(hadits dha’if) ialah hadits yang tidak berkumpul didalamnya sifat shahih dan tidak pula sifat hasan.” [Taqiyuddin an-Nabhani, asy-Syakhshiyah Islamiyyah, 1:341]
Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa hadits dha’if itu hadits yang tidak memenuhi kriteria sebagai hadits shahih dan tidak juga memenuhi kriteria hadits hasan. Hadits dha’if bisa terjadi pada hadits yang disandarkan secara khusus kepada Nabi ataupun sahabat dan juga tabi’in.
Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if
Ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengamalkan hadits dha’if. Ada tiga pendapat terkait dengan hukum mengamalkan hadits dha’if,
a. Hadits dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik yang berkaitan dengan fadha’il ataupun hukum. Imam Ibn Hazm mengungkapkan,
إما بنقل أهل المشرق والمغرب أو كافة عن كافة أو ثقة عن ثقة حتى يبلغ إلى النبي صلى الله عليه و سلم إلا أن في الطريق رجلا مجروحا بكذب أو غفلة أو مجهول الحال فهذا أيضا يقول به بعض المسلمين ولا يحل عندنا القول به ولا تصديقه
“bahwa yang diriwayatkan oleh ulama masyriq, dan ulama maghrib, atau sejumlah ulama’ dari sejumlah ulama’ lain, ataupun perawi tsiqat dari perawi tsiqat lain, sampai kepada Nabi, hanya saja di tengah sanad itu ada seorang perawi yang majruh karena dusta, atau lupa ataupun majhul al-hal. Ini menurut sebagian orang boleh dijadikan sebagai argumen, namun menurut kami hal itu tidak bisa dijadikan sebagai hujjah dan tidak bisa dibenarkan...” [ibn Hazm, al-Fashl fi al-Milal, 2:69]
Sepertinya ini juga pendapat Imam Bukhari dan Imam Muslim, begitu juga dengan Imam Taqiyuddin an-Nabhani.
b. Hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Pendapat ini dinisbatkan kepada Imam ibn Mubarak, Imam ibn Mahdy, Imam Abu Dawud, Imam Ahmad al-Hanbali, Imam Sufyan ats-Tsauri. Imam as-Suyuthi menukil riwayat mengenai perkataan Imam Abu Daud dan Imam Ahmad yang kemudian perkataan ini oleh sebagian kalangan dipahami sebagai pendapat kebolehan menggunakan hadits dha’if dalam amal perbuatan secara mutak,
قال ابن منده: وكذلك أبو داود يأخذ مأخذه, ويُخرِّج الإسناد الضعيف إذا لم يجد في الباب غيره, لأنَّه أقوى عنده من رأى الرجال. وهذا أيضًا رأي الإمام أحمد, فإنَّه قال: إنَّ ضعيف الحديث أحب إليه من رأى الرِّجال, لأنَّه لا يُعدل إلى القياس, إلاَّ بعد عدم النص.
[as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, 1:112]
Dari ungkapan tersebut diketahui bahwa keduanya berpendapat hadits dha’if lebih kuat daripada ra’yu perorangan.
c. Hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il dan atau yang serupa bila memenuhi beberapa syarat. Imam as-Suyuthi mengungkapkan syarat – syarat yang disebutkan oleh Imam Ibn Hajar,
وذكر شيخُ الإسْلام له ثلاثة شروط:أحدها: أن يَكُون الضَّعف غير شديد, فيَخْرُج من انفرد من الكذَّابين والمُتَّهمين بالكذب, ومن فَحُش غلطه, نقل العلائي الاتفاق عليه. الثاني: أن يَنْدرج تحت أصل مَعْمُول به.
الثَّالث: أن لا يعتقد عند العَمَل به ثُبوته, بل يعتقد الاحتياط.
“(a) kedha’ifannya tidak terlalu rusak. Sehingga tidak termasuk didalamnya seorang pendusta atau yang dituduh berdusta, dan yang banyak melakukan kesalahan. Al-Ala’iy meriwayatkan kesepakatan ulama mengenai syarat ini; (b) hadits dha’if tersebut masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan; (c) ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia bersatus kuat, tetapi sekedar berhati – hati. ”
[as-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi, 1:222-233]
Pendapat Yang Kuat Mengenai Hukum Mengamalkan Hadits Dha’if
Untuk mengetahui pendapat yang kuat, terlebih dahulu perlu diketahui perihal kedudukan fadha’il amal, makarim al-akhlaq. Akhlak ialah bagian dari syari’at Islam, begitu juga dengan amal. Keduanya merupakan bagian dari perintah dan larangan Allah . Syara’ telah menjelaskan sifat yang termasuk bagian dari akhlak yang terpuji dan juga mengungkapkan sifat dari akhlak yang tercela, begitu juga dengan amal. Memiliki sifat – sifat akhlak merupakan bentuk pemenuhan atas perintah Allah dan atau menjauhi larangan-Nya, dan dalam melakukan amal perbuatan merupakan aktivitas yang juga harus menjadi bagian dari pemenuhan atas perintah-Nya dan atau menjauhi larangan-Nya.
Dalam hal ini ketika akhlak dan amal adalah bagian dari perintah dan larangan-Nya, maka begitu juga dengan hal yang terkait dengan keduanya. Seperti keutamaan akhlak dan keutamaan amal. Keutamaan keduanya tidak bisa ditentukan oleh manusia, karena akal manusia tidak akan sanggup untuk menjelaskan keutamaan akhlak dan keutamaan suatu amal perbuatan, juga kadar keutamaan keduanya. Keutamaan akhlak dan amal perbuatan merupakan hal yang terkait dengan pahala bagi keduanya dan ataupun ‘kadar’ pahala bagi keduanya, sehingga dapat mendorong seseorang untuk memiliki akhlak tersebut dan ataupun termotivasi untuk melakukan suatu amal perbuatan, sehingga dalam hal ini tidak dapat ditentukan oleh akal manusia. Allah telah berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“dan Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira kepada orang yang berserah diri.” [Qs. an-Nahl 16: 89]
Sahabat Rasulullah yaitu Abdullah ibn Mas’ud mengungkapkan makna ayat ini seperti yang dikutip oleh ibn ‘Athiyah dalam kitabnya,
قال ابن مسعود : أنزل في هذا القرآن كل علم ، وكل شيء قد بين لنا في القرآن
“Berkata ibn Mas’ud: telah diturunkan pada al-Qur’an ini seluruh ilmu, dan seluruh perkara sungguh telah jelas kepada kami dalam al-Qur’an ” [, 4:192المحرر الوجيز]
Rasulullah telah bersabda,
قَدْ تَرَكْتُكُمْ عَلَى الْبَيْضَاء
“Sungguh telah aku tinggalkan kalian semua dalam kondisi terang benderang....”
[Hr. Ahmad, Musnad Ahmad, 37:73 no. 17606]
Dari ayat dan hadits tersebut dapat diketahui bahwa segala sesuatu telah dijelaskan dalam Islam. Dalam pembahasan ini khususnya ialah penjelasan yang terkait dengan akhlak dan perbuatan itu sendiri dan ataupun yang berkaitan dengan keduanya, yaitu keutamaan akhlak dan amal. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib mengungkapkan, bahwa
أن الفضائل ومكارم الأخلاق من دعائم الدين
“bahwa fadha’il dan makarim al-akhlaq bagian dari pilar agama” [Ushul al-Hadits, 1:232]
Dengan memperhatikan kedudukan fadha’il dan makarim al-akhlaq sebagai bagian dari pilar agama, maka dari segi kekuatan sumbernya tidak memiliki perbedaan dengan pembahasan hukum. Sumber yang digunakan dalam perkara fadha’il dan makarim al-akhlaq harus telah terbukti sebagai sumber yang diterima, yang berkumpul padanya sifat – sifat maqbul bukan mardud. Sumber – sumber maqbul dalam hadits ialah yang memenuhi kriteria shahih atau hasan. Hal ini secara ath-thabi’i dapat dipahami berdasarkan kajian – kajian ulama dalam bidang pengetahuan hadits – hadits yang kuat dari yang lemah dan tentang keadaan para perawi yang diterima haditsnya atau yang ditolak, sehingga dari pembahasan tersebut dapat menghasilkan kesimpulan dan istilah khusus yang mengindikasikan maqbul atau mardud-nya suatu riwayat. Suatu riwayat yang disampaikan merupakan bagian yang berkaitan dengan ruang pertanggungjawaban manusia kepada Penciptanya, tabi’in telah mengingatkan terkait dengan hal ini
قال محمد بن المنكدر الفقيه الذي يحدث الناس انما يدخل بين الله وبين عباده فلينظر بما يدخل
“yang memberikan riwayat kepada orang lain tak ubahnya seperti sedang memasuki wilayah antara Allah dan hamba – hamba-Nya. Karena itu perhatikanlah dengan apa ia masuk.” [al-Khatib al-Baghdadi, al-Kifayah fi ‘ilm ar-Riwayah, 1:168]
Oleh karena itu, sumber – sumber tersebut harus memenuhi kriteria yang kuat untuk dapat disandarkan kepada Rasulullah . Utusan Allah yang menyampaikan berbagai penjelasan kepada manusia, dimana kelak manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas ketaatan dan atau pelanggaran yang dilakukan. Allah telah berfirman,
(وما آتاكم الرسول فخذوه ومانهاكم عنه فانتهوا)
“dan apa – apa yang diberikan Rasul maka ambillah dan apa – apa yang dia larang bagi kamu maka tinggalkanlah.”[Qs. al-Hasyr: 7]
Mafhum dari ayat ini ialah apa – apa yang datang dari selain Rasul tidak diterima, karena tidak ada hujjah pada diri selain Rasul
فمفهومه ماأتاكم من غير الرسول لاتأخذوه. وعليه فلا حجة في أحد دون رسول الله
Penyandaran suatu hadits kepada Rasulullah harus memenuhi kriteria bahwa khabar tersebut berdasarkan kemungkinan kuat berasal dari Rasulullah, para sahabat dan tabi’in telah memahami pentingnya hal ini, Imam adz-Dzahabi mengungkapkan metoda Abu Bakr ash-Shiddiq dalam menerima riwayat,
ان مراد الصديق التثبت في الاخبار والتحري لا سد باب الرواية
“yang dimaksudkan as-Shiddiq adalah mencermati dan meneliti berbagai khabar, bukan menutup pintu periwayatan.” [Tadzkirah al-Huffadz, 1:3]
Dalam suatu riwayat juga diungkapkan bahwa para tabi’in ketat dalam menerima suatu riwayat, sehingga sumber tersebut memiliki kekuatan yang nyata untuk layak diterima,
حدثنا عبد الرحمن نا ابي نا نعيم بن حماد نا عيسى بن يونس عن الاوزاعي عن سليمان بن موسى قال لقيت طاوسا فقلت ان رجلا حدثني بكيت وكيت قال ان كان مليا فخذ منه - أي ثقة في دينه.
“...Sulaiman ibn Musa telah berkata bahwa ia bertemu dengan Thawus (...-106 H), Sulaiman bertanya kepadanya,’seseorang telah menceritakan kepadaku begini, begini.’ Thawus berkata,’kalau temanmu itu bisa dipercaya, ambillah (hadits) darinya’. – tsiqah dalam agama – ” [Abdurrahman ibn Abu Hatim ar-Raziy, al-Jarh wa al-Ta’dil, 2:27]
Diriwayat lain juga disebutkan, Yazid ibn Hubaib (...-128 H) seorang periwayat kawasan Mesir mengatakan sesuatu seperti yang dikutip oleh Imam ar-Raziy,
حدثنا عبد الرحمن نا أبي نا يزيد بن عبد ربه الحمصي نا عقبه بن علقمه عن الأوزاعي قال قال يزيد بن أبي حبيب إذا سمعت الحديث فأنشده كما تنشد الضاله فإن عرف فخذه والا فدعه
“...bila engkau mendengar hadits, maka telitilah seperti kamu meneliti barang yang hilang. Bila kamu mengenalnya maka ambillah dan bila tidak, maka tinggalkanlah.”
[Abdurrahman ibn Abu Hatim ar-Raziy, al-Jarh wa al-Ta’dil, 2:19]
Walhasil, berdasarkan penjelasan kekuatan sumber yang dibutuhkan dalam masalah fadha’il amal dan makarim al-akhlaq yang tidak memiliki perbedaan dengan pembahasan hukum dan juga berdasarkan fakta bahwa adanya hadits – hadits shahih tentang fadha’il, targhib dan tarhib yang merupakan sabda Nabi yang sangat padat dalam jumlah besar, maka pendapat yang pertamalah yang kuat lagi selamat. Tidak boleh berhujjah dengan hadits dha’if secara mutlak, karena hadits ini mardud, tidak memenuhi kriteria sebagai sumber yang kuat untuk diterima dan lemah untuk disandarkan sebagai sabda Rasulullah .
Pendapat yang kedua, yaitu hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak, dimana pendapat ini dinisbatkan kepada Imam ibn Mubarak, Imam ibn Mahdy, Imam Abu Daud, Imam Ahmad, Imam Sufyan ats-Tsauri perlu dicermati dan dikaji ulang dari sisi penisbatannya kepada para imam tersebut. Selain yang diungkapkan oleh Imam as-Suyuthi, juga ada riwayat lain terkait dengan ungkapan Imam Ahmad, beliau berkata,
أبا عبد الله يقول سمعت احمد بن حنبل يقول إذا روينا عن رسول الله صلى الله عليه و سلم في الحلال والحرام والسنن والأحكام تشددنا في الأسانيد وإذا روينا عن النبي صلى الله عليه و سلم في فضائل الأعمال وما لا يضع حكما ولا يرفعه تساهلنا في الأسانيد
“ketika kami meriwayatkan dari Rasulullah dalam masalah halal dan haram, sunan dan ahkam maka kami bersikap ketat terhadap sanad – sanadnya. Dan ketika kami meriwayatkan dari Nabi dalam masalah fadha’il amal dan tidak pula menghilangkan hukum maka kami bersikap longgar terhadap sanad – sanadnya.”[al-Khatib al-Baghdadi, al-kifayah, 1:133-134]
Terhadap perkataan ini dan yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi perlu dipahami dengan tepat. Maksud yang tepat dari ungkapan para imam tersebut ialah bahwa mereka tidak akan meriwayatkan kecuali yang shahih dalam permasalahan hukum dan mengamalkan kandungan hukum darinya, sementara sikap longgar mereka dalam pembahasan selain hukum ialah meriwayatkan dari orang yang hanya memenuhi kriteria hasan dan mengamalkan yang terkandung dalam hadits yang diriwayatkan melalui jalur hasan tersebut. Hadits hasan menurut peristilahan ulama muta’akhirin, dimana hadits tersebutlah yang menjadi tandingan hadits shahih yakni hadits dha’if yang bisa diamalkan menurut ulama mutaqaddimin. Pemahaman ini berdasarkan apa yang diketahui dari ungkapan Imam Sufyan ats-Tsauri, beliau mengungkapkan,
حدثنا رواد بن الجراح قال سمعت سفيان الثوري يقول لا تأخذوا هذا العلم في الحلال والحرام الا من الرؤساء المشهورين بالعلم الذين يعرفون الزيادة والنقصان فلا بأس بما سوى ذلك من المشايخ
“jangan kalian ambil ilmu ini dalam halal dan haram kecuali dari para tokoh yang populer ilmunya, yang mengetahui adanya penambahan dan pengurangan, dan tidak mengapa (kalian ambil) yang selain itu dari al-masyayikh.” [al-Khatib al-Baghdadi, al-kifayah, 1:133-134]
(الرؤساء المشهورين) tokoh populer ini tidak lain adalah para imam yang memenuhi kriteria shahih secara maksimal. Adapun al-masyayikh, secara istilah ungkapan para syaikh (al-masyayikh) sebutan bagi orang (syaikh) yang berada pada tingkat ketiga dari empat peringkat ta’dil menurut Imam ar-Raziy, beliau mengungkapkan
شيخ فهو بالمنزلة الثالثه يكتب حديثه وينظر فيه
“Syaikh pada tingkat ketiga (tingkat maqbul), haditsnya dicatat dan kemudian diteliti.”
[al-Jarh wa at-Ta’dil, 2:37]
Dengan kata lain, sebutan syaikh termasuk dalam kategori جيده حسنه (jayyidul hadits dan hasan al-hadits lihat fath al-Mughits karya Imam as-Syakhawi 1:361). Secara umum, ungkapan para syaikh yang dimaksudkan ialah orang – orang yang tidak terlalu dha’if, hal ini dikukuhkan berdasarkan fakta bahwa para imam tersebut tidak meriwayatkan dan tidak berhujjah dengan riwayat orang – orang yang kemungkinan besar lemah. Terkait dengan penjelasan mengenai pendapat kedua, imam Ibn Qayyim mengungkapkan,
الْأَخْذُ بِالْمُرْسَلِ وَالْحَدِيثِ الضَّعِيفِ ، إذَا لَمْ يَكُنْ فِي الْبَابِ شَيْءٌ يَدْفَعُهُ ، وَهُوَ الَّذِي رَجَّحَهُ عَلَى الْقِيَاسِ ، وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِالضَّعِيفِ عِنْدَهُ الْبَاطِلَ وَلَا الْمُنْكَرَ وَلَا مَا فِي رِوَايَتِهِ مُتَّهَمٌ بِحَيْثُ لَا يَسُوغُ الذَّهَابُ إلَيْهِ فَالْعَمَلُ بِهِ ؛ بَلْ الْحَدِيثُ الضَّعِيفُ عِنْدَهُ قَسِيمُ الصَّحِيحِ وَقِسْمٌ مِنْ أَقْسَامِ الْحَسَنِ ، وَلَمْ يَكُنْ يُقَسِّمُ الْحَدِيثَ إلَى صَحِيحٍ وَحَسَنٍ وَضَعِيفٍ ، بَلْ إلَى صَحِيحٍ وَضَعِيفٍ ، وَلِلضَّعِيفِ عِنْدَهُ مَرَاتِبُ ، فَإِذَا لَمْ يَجِدْ فِي الْبَابِ أَثَرًا يَدْفَعُهُ وَلَا قَوْلَ صَاحِبٍ ، وَلَا إجْمَاعَ عَلَى خِلَافِهِ كَانَ الْعَمَلُ بِهِ عِنْدَهُ أَوْلَى مِنْ الْقِيَاسِ وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْ الْأَئِمَّةِ إلَّا وَهُوَ مُوَافِقُهُ عَلَى هَذَا الْأَصْلِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ ، فَإِنَّهُ مَا مِنْهُمْ أَحَدٌ إلَّا وَقَدْ قَدَّمَ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ عَلَى الْقِيَاسِ .
“bahwa hadits mursal dan dha’if bisa diambil, bila dalam bab itu tidak ada hadits lain yang menolaknya. Inilah yang beliau tarjihkan atas qiyas. Tidaklah yang beliau maksudkan hadits dha’if ialah yang batil, juga bukan yang mungkar, serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang muttaham sekiranya dilarang mengambil dan mengamalkannya, tetapi hadits dha’if menurut beliau adalah lawan dari hadits shahih yang merupakan bagian dari hadits hasan. Beliau tidak membagi hadits menjadi shahih, hasan dan dha’if tetapi menjadi shahih dan dha’if. Yang dha’if menurut beliau memiliki tingkatan. Dan bila dalam bab yang bersangkutan tidak ada atsar yang menolaknya, atau pendapat sahabat ataupun ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama daripada qiyas. Tidak ada imam lain yang tidak sependapat dengan beliau mengenai masalah ini. Karena tidak seorangpun di antara para imam yang mendahulukan qiyas atas hadits dha’if. ”[I’lam al-Muwwaqi’in, 1:37]
Dengan demikian, penisbatan pendapat ini kepada para imam tersebut adalah tidak tepat. Dan pendapat yang membolehkan berhujjah dengan hadits dha’if ialah pendapat yang lemah lagi tidak bersandar pada penisbatan yang benar.
Mengenai pendapat ketiga beserta syarat – syarat yang diungkapkan oleh ulama muta’akhirin dalam mengamalkan hadits dha’if. Pertama, telah dijelaskan mengenai kedudukan fadha’il dan makarim al-akhlaq bahwa keduanya dan yang serupa dengan keduanya mengharuskan pengambilan dari sumber yang kuat bukan yang lemah, karena tidak ada perbedaan pembahasan tersebut dengan pembahasan hukum dari segi kekuatan sumbernya, yakni shahih ataupun hasan. Kedua, meski syarat – syarat dapat dipenuhi tidak dapat menjadikan hadits dha’if sebagai sumber penetapan fadha’il ataupun makarim al-akhlaq, dikarenakan syarat – syarat tersebut hanya menggerakkan berdasarkan kehati – hatian bukan berdasarkan ketetapan hukum untuk mengamalkannya. Ketiga, kehati –hatian tersebut tidaklah dapat menghantarkan pada ketenangan ketika beramal, karena berpegang pada sesuatu yang lemah (dha’if), disisi yang lain dengan melihat upaya para ulama untuk menjaga as-sunnah, memeliharanya dan menjelaskan yang shahih dari yang cacat serta mengumpulkannya dalam berbagai koleksi - dimana ini menunjukkan adanya penjagaan maksimal -, maka sudah selayaknya hanya berpegang pada yang maqbul (hadits shahih atau hadits hasan).
Penutup
Pembahasan hukum mengamalkan hadits dha’if menghasilkan kesimpulan bahwa tidak boleh berhujjah dengan hadits dha’if dalam perkara yang terkait hukum ataupun yang tidak berhubungan dengan pembahasan hukum. Adapun periwayatan hadits dha’if diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama dengan disertai penjelasan mengenai kedha’ifan hadits yang diriwayatkan.
Dengan memperhatikan tradisi kajian dimasa para sahabat, penulis berharap pembahasan ini adalah bagian dari upaya untuk kembali menghidupkan tradisi tersebut. Tradisi yang memiliki tujuan untuk menjaga pemahaman dan mengarahkan perasaan serta tingkah laku demi terwujudnya kepribadian yang shahih lagi kokoh. Allah telah berfirman,
التَّائِبُونَ الْعَابِدُونَ الْحَامِدُونَ السَّائِحُونَ الرَّاكِعُونَ السَّاجِدُونَ الْآَمِرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّاهُونَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَالْحَافِظُونَ لِحُدُودِ اللَّهِ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” [Qs. at-Taubah 9: 112]
Sahabat Rasulullah, ibn ‘Abbas mengungkapkan makna السائحون
أخبرنا عبيد الله بن أبي الفتح ، والحسن بن أبي طالب ، قالا حدثنا محمد بن العباس الخزاز ، قال حدثنا عبد الله بن أبي داود ، قال : حدثنا جعفر بن أبي سلمة ، قال : حدثنا عبد الله بن عمر ، قال : حدثنا الوليد بن بكير ، عن عمر بن نافع ، عن عكرمة ، مولى ابن عباس ، في قوله تعالى : ( « السائحون . » ) ، قال : « هم طلبة الحديث . »
“...mereka adalah penuntut ilmu hadits.” [al-Khatib a-Baghdadiy, Syaraf Ashhab al-Hadits, 1:143]
Pada kesempatan lain, ibn ‘Abbas menganjurkan seseorang untuk mengkaji apa – apa yang sampai dan atau didengar dari para sahabat,
أخبرنا أبو طالب محمد بن الحسين بن أحمد بن عبد الله بن بكير ، قال : أخبرنا عبد الله بن إبراهيم بن ماسي ، قال : أخبرنا أبو أحمد بن عبدوس ، قال : حدثنا أبو معمر ، قال : حدثنا عبد السلام بن حرب ، عن حجاج ، عن عطاء ، قال : قال ابن عباس : « إذا سمعتم منا ، شيئا فتذاكروه بينكم »
“...jika kalian mendengar sesuatu dari kami, maka pelajarilah berulang-uang diantara kalian”
[al-Khatib a-Baghdadiy, Syaraf Ashhab al-Hadits, 1:242]
Para sahabat dan generasi yang lurus sesudah mereka menyadari pentingnya hal ini, karena tolak ukur keilmuan seseorang bukan dengan banyak menyampaikan sesuatu, tapi ialah ketakutannya kepada Allah ta’ala yang semakin besar. Ketakutan yang semakin besar terwujud pada amalan yang senantiasa ditujukan untuk meraih ridha Allah semata dan sesuai dengan aturan Allah saja. Abdullah ibn Mas’ud mengungkapkan,
قال عبد الله بن مسعود ليس العلم بكثرة الحديث ولكن العلم خشية الله
“telah berkata Abdullah ibn Mas’ud,’ tolak ukur ilmu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, akan tetapi tolak ukur ilmu ialah takut kepada Allah.’”
[ Abu Syamah, Mukhtasar al-Mu’ammal li ar-Radd ila al-Amr al-Awal, 1:32]
Wallahu a’lam bi ash-shawab