Oleh Hafid Muhammad
Pendahuluan
Dalam kehidupan umat
Islam aktivitas untuk saling mengingatkan merupakan aktivitas yang mulia di
sisi Allah SWT. Aktivitas ini dapat menghantarkan pada kekokohan pemahaman umat
akan Islam dimana memudarnya kegiatan ini dapat menghantarkan pada rusaknya pemahaman
umat. Telah menjadi bukti bahwa beberapa generasi dari umat ini telah mengalami
kerapuhan pemahaman Islam. Dalam kitab imam ibn Jauzi diungkapkan,
قال عمر بن المهاجر: قال لي عمر بن عبد العزيز: إذ
رأيتني قد حدت عن الحق فخذ بثيابي وهزني، وقل: ما لك يا عمر ؟. وقال عمر بن الخطاب
رضي الله عنه: رحم الله من أهدى إلينا عيوبنا.
“berkata
Umar ibn al-Muhajir: Umar ibn Abdul Aziz berpesan kepadaku,’jika engkau telah
melihatku berpaling dari kebenaran, maka tariklah aku dan goncanglah tubuhku’
Aku bertanya: Ada apa denganmu wahai Umar?, Umar ibn Khaththab juga pernah
berkata,’Semoga rahmat Allah selalu dilimpahkan kepada mereka yang menunjukkan
kepada kita aib (kekurangan) diri kita’ ” [Shaidul Khatir, 1: 15]
Kita berharap termasuk
ke dalam golongan yang mendapatkan kedudukan tinggi seperti halnya sahabat
Rasulullah saw., dalam rangka meneladani Nabi dan Rasul terakhir. Oleh karena
itu, kita tidak akan melontarkan amarah kebencian terhadap sesama yang berusaha
mengingatkan akan kekurangan yang selama ini ada pada diri kita.
Kekurangan (aib)
terbesar yang ada pada umat ini ialah tidak lagi hidup dalam naungan Islam.
Bukankah umat ini telah menyatakan bahwa mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT. berfirman,
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
“Allah
mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah” [Qs. al-Ma’idah 5: 54]
Tidak ada cinta jika
tidak mentaati apa yang menjadi keinginan dari yang dicintainya, seperti yang
diungkapkan imam ibn Jauzi,
محبته طاعته... ومحبة العلم والعمل ترى الصور
المعنوية فتحبها.
“Cinta
kepada Allah adalah dengan taat kepada-Nya...kecintaan yang didasarkan ilmu dan
amal akan mampu menyibak makna sehingga orang mencintai hal tersebut."
[Shaidul Khatir, 1:12]
Secara umum, umat ini
tidak lagi memiliki pemahaman yang shahih sehingga kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya tak lagi tampak dalam amalan, atau tampak pudar dalam amalan
dikarenakan telah ternodai oleh ‘bintik-bintik hitam’ yang menghantarkan pada
kecacatan amal. Semoga tulisan sederhana ini dapat membuat kita semua semakin menyadari
bahwa kita memiliki aib yang besar, sehingga apalah artinya pengakuan cinta
kepada-Nya namun disaat yang bersamaan kita merasa bahagia dengan aib ini,
dikarenakan perasaan bahwa hidup selama ini berada dalam kebaikan. Abu Ali
ar-Rudzabari berkata,
من الاغترار أن تسيء، فيحسن إليك، فتترك التوبة،
توهماً أنك تسامح في العقوبات
“Satu
hal (yang mengindikasikan) bahwa engkau sangat tertipu ialah tatkala engkau
berbuat jahat, namun Dia membalasmu dengan kebaikan, namun engkau tak kunjung
bertaubat, dengan mengira dosa-dosamu bakal diampuni.”
Semoga kita senantiasa
dalam bimbingan dan penjagaan-Nya, agar termasuk ke dalam golongan yang tidak
memperolok-olok urusan yang termasuk dalam bagian din Islam. Yang benar datang
dari Allah dan kesalahan yang ada datang dari penulis, seorang hamba Allah yang
banyak kekurangan.
Nilai – Nilai
Prinsip Islam
Ada dua hal yang
menjadi prinsip dalam Islam yaitu: (1) Islam merupakan petunjuk dalam
kehidupan; (2) Islam harus diterapkan secara menyeluruh. Pembahasan prinsip
pertama adalah berkaitan dengan aqidah Islam yang memancarkan solusi atas
seluruh problematika kehidupan manusia, solusi ini merupakan solusi yang shahih
karena tumbuh dari akar yang kokoh dan benar yaitu aqidah Islam. Adapun
pembahasan pada prinsip kedua ialah berkisar keharusan menggunakan solusi yang
terpancar dari aqidah Islam, baik itu solusi dalam masalah hubungan manusia
dengan Penciptanya, manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan sesama.
Prinsip pertama, Islam
merupakan petunjuk kehidupan. Pendekatan secara normatif membawa kita pada
bukti kebenaran prinsip ini, dimana Allah SWT. berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“dan
Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,
sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira kepada orang yang berserah
diri” [Qs. an-Nahl 16: 89]
Dalam hal ini, Imam
ath-Thabari dalam kitabnya mengungkapkan,
وقوله( وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ ) يقول: نزل عليك يا محمد هذا القرآن بيانا لكلّ ما بالناس إليه
الحاجة من معرفة الحلال والحرام والثواب والعقاب(وَهُدًى) من الضلال(وَرَحْمَةً)
لمن صدّق به، وعمل بما فيه من حدود الله ، وأمره ونهيه، فأحل حلاله ، وحرّم حرامه
“dan
firman Allah: ‘dan Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan
segala sesuatu’ bermakna: Kami turunkan kepadamu wahai Muhammad al-Qur’an ini,
yang menjelaskan segala sesuatu dari apa-apa yang manusia butuhkan dalam
kehidupan, agar mengetahui tentang kehalalan, keharaman, imbalan (pahala) dan
sanksi (dosa). Adapun firmanNya:‘sebagai petunjuk’ bermakna petunjuk dari
kesesatan, sedangkan firmanNya:’serta rahmat’ bermakna bagi siapa saja yang
membenarkannya, dan mengamalkan hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan, serta menghalalkan apa-apa yang dihalalkanNya dan
mengharamkan apa-apa yang diharamkanNya.”
[جامع البيان في تأويل القرآن، 17/278]
Dapat dipahami bahwa
maksud dari firman Allah tersebut ialah segala sesuatu yang termasuk pemenuhan
potensi kehidupan manusia telah dijelaskan oleh Allah SWT terkait hukum-hukum
dari perbuatan atau benda yang berhubungan dengan pemenuhan tersebut, tentunya
ini mengindikasikan bahwa seluruh perkara telah dijelaskan oleh Allah SWT di
dalam al-Qur’an dan juga ditambahkan dalam apa-apa yang ditunjukkan oleh
Al-Qur’an sebagai sumber hukum dalam Islam. Penjelasan yang datang dari Allah
SWT tersebut merupakan penjelasan yang terang lagi fasih sehingga dapat digali
hukum-hukum dari-Nya dan kemudian diamalkan hukum yang telah dipahami dari-Nya,
imam Zamakhsyari mengungkapkan terkait dengan makna dari lafadz tibyaan[an],
( تِبْيَانًا ) بياناً
بليغاً
“terang
lagi fasih” [الكشاف، 3/390]
Ada baiknya kita
menyaksikan apa yang diungkapkan sahabat Rasulullah saw., yaitu ibn Mas’ud
seperti yang dikutip oleh ibn ‘Athiyah
قال ابن مسعود : أنزل في هذا القرآن كل علم ، وكل
شيء قد بين لنا في القرآن
“Berkata
ibn Mas’ud: telah diturunkan pada al-Qur’an ini seluruh ilmu, dan seluruh
perkara sungguh telah jelas kepada kami dalam al-Qur’an ”
[المحرر الوجيز، 4/192]
Prinsip kedua, Islam
harus diterapkan secara menyeluruh. Untuk membuktikan kebenara prinsip ini,
kita melakukan pendekatan rasional-fakta dan normatif. Pendekatan
rasional-fakta adalah dengan meninjau individu manusia itu sendiri, ada tiga
fakta mendasar (karakteristik alami) yang melekat pada makhluk hidup ini yaitu
lemah, terbatas, dan membutuhkan kepada yang lain. Hal ini mengindikasikan
kepada kita bahwa segala sesuatu yang merupakan produk dari makhluk dengan
karakteristik alami ini akan menunjukkan ketidaksempurnaan.
Oleh karena itu,
dimensi kehidupan manusia yang terdiri dari dimensi hubungannya dengan
Pencipta, hubungannya dengan diri sendiri dan hubungannya dengan sesama tidak
dapat diserahkan kepada manusia sebagai pembuat aturan. Sehingga ada dua
kesimpulan yang kita dapatkan: pertama, dibutuhkan aturan yang datang dari
sesuatu dengan karakteristik sempurna, tidak memiliki keterbatasan dan tidak
bergantung kepada pihak lain, tentu saja yang memenuhi kriteria ini adalah
Allah SWT. Telah nyata kepada kita bahwa Dia menurunkan ad-diin al-Islam, yang
sebelumnya telah kita pahami bahwa aturannya melingkupi segala sesuatu; kedua,
aturan ini tidaklah dapat dibagi atau dikompromikan dengan maksud sebagian
diatur dengan aturan Islam dan sebagian lagi diatur dengan aturan dari manusia,
hal ini mengindikasikan bahwa (a) jika demikan berarti kita menganggap bahwa
Allah SWT. tidak sempurna dalam menurunkan pedoman hidup kepada manusia, tentu
hal ini bertentangan dengan fakta. (b) jika demikian berarti pula bahwa manusia
sanggup menghasilkan aturan yang benar berdasarkan akalnya, hal ini tentu
bertentangan dengan fitrah manusia.
Adapun pembuktian
secara normatif adalah sebagai berikut, Allah SWT. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan
janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan adalah musuh yang
nyata.” [Qs. al-Baqarah 2: 208]
Imam ath-Thabari
mengungkapkan,
فالآية عامة لكل من شمله اسم"الإيمان"،
فلا وجه لخصوص بعض بها دون بعض.
“Ayat
ini bersifat umum bagi seluruh yang terkategori beriman, tidak memandang secara
khsusus sebagian tanpa sebagian yang lain.”
[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257]
Berkaitan dengan
firman Allah SWT., ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً
bermakna masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan mengamalkannya. Makna ini
senada dengan yang disampaikan oleh Mujahid seperti yang dikutip oleh Imam
ath-Thabari,
حدثني محمد بن عمرو، قال: حدثنا أبو عاصم، عن
عيسى، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد في قول الله عز وجل:" ادخلوا في السلم
كافة"، قال: ادخلوا في الإسلام كافة، ادخلوا في الأعمال كافة.
“Imam
Mujahid berkata terkait firman Allah :" ادخلوا في السلم كافة"masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan mengamalkan
secara menyeluruh amalan-amalan didalamnya”
[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257]
Makna kata كَافَّةً ialah جميعًا (menyeluruh), hal ini berdasarkan riwayat
dari Qatadah
حدثنا الحسن بن يحيى، قال: أخبرنا عبد الرزاق،
قال: أخبرنا معمر، عن قتادة قوله:" في السلم كافة" قال: جميعًا.
Selanjutnya juga ibn
‘Abbas mengungkapkan,
حدثنا القاسم، قال: حدثنا الحسين، قال: حدثني
حجاج، قال: قال ابن جريج، قال ابن عباس:" كافة"، : جميعًا.
[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257 ]
Oleh karena itu, dapat
kita pahami bahwa adanya keharusan untuk masuk pada keseluruhan ajaran din
Islam baik dengan meyakini dan mengamalkannya. Senada dengan ungkapan ini, Imam
ar-Razi mengungkapkan,
ادخلوا في جميع شرائع الإسلام اعتقاداً وعملاً
[مفاتيح الغيب، 3/224]
Dari pembuktian kedua
nilai prinsip dalam Islam, sampailah pada kesimpulan bahwa setiap dimensi
hubungan dalam kehidupan manusia berada dalam cakupan aturan Islam dan harus
diterapkan secara keseluruhannya. Baik dalam hubungan antara manusia dengan
Pencipta, antara manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan sesamanya.
Islam Dan Daulah
Dua nilai prinsip
Islam yang telah disebutkan di atas dijaga oleh Daulah, yang merupakan Daulah
Islam. Keberadaan Daulah Islam sebagai suatu kemestian dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu (a) aspek rasional-fakta manusia; (b) aspek normatif.
Aspek rasional-fakta
manusia, pada diri manusia terdapat suatu gharizatun baqa’ yang dapat mendorong
seseorang untuk cinta pada kekuasaan, dan berusaha menguasai sesuatu. Kondisi
ini pada suatu keadaan tertentu dapat menghantarkan terciptanya konflik di
tengah-tengah manusia, salah satu keadaan yang dapat menghantarkan kekacauan
tersebut ialah diserahkannya penerapan dan penjagaan dari pelaksanaan aturan di
tengah masyarakat kepada suatu individu atau beberapa individu tanpa adanya institusi
yang sah. Dengan demikian, setiap individu dapat bersaing dengan berbagai cara
agar menjadi pihak yang berkuasa untuk memberikan sanksi atas setiap
pelanggaran dari pelaksanaan hukum di dalam masyarakat.
Sebelum kita melihat
adanya penjelasan nash mengenai hal ini, lebih dahulu kita pahami dua nilai
prinsip Islam sebelumnya telah mengindikasikan bahwa nilai pertama yaitu Islam
merupakan petunjuk kehidupan mengandung makna bahwa Islam juga menjelaskan bagaimana
agar keseluruhan pedoman hidup yang terkandung didalamnya dapat diterapkan,
jika tidak demikian maka terdapat paradoks dalam ajaran Islam. Hal ini tentu
tidak mungkin, karena Islam secara pasti dan meyakinkan datang dari Yang Maha
Sempurna, yaitu Allah SWT.
Kewajiban Adanya
Pemimpin Yang Menerapkan Aturan Allah
Allah SWT. berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً...
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,’Aku hendak menjadikan
Khalifah di bumi’...” [QS. al-Baqarah 2:30]
Pembahasan pertama:
Khalifah Dari Segi Keberadaannya
Kata khalifah berasal
dari kata khalif (wazan fa’il), Ibn al-‘Anbary mengatakan seperti yang dinukil
oleh Imam ibn Jauzi,
والأصل في الخليفة خليف
“Asal
dari kata al-Khalifah adalah Khalif”
[1:41 زاد المسير،]
Adapun tambahan
al-Haa’ berfungsi sebagai li al-mubalaghah (untuk melebihkan), seperti yang
diungkapkan oleh Abu Hayan al-Andalusi,
والهاء للمبالغة
“dan
al-Haa’ berfungsi untuk menyangatkan”
[1:169 تفسير البحر المحيط، ]
Khalifah berarti pihak
yang menggantikan pihak lainnya, menempati kedudukannya dan mewakili urusannya.
Imam al-Mawardi mengungkapkan,
الخليفة : فهو القائم مقام غيره
“pengganti
yang menggantikan pihak selainnya (sebelumnya).”
[1:31 النكت والعيون، ]
Hal yang senada juga
diungkapkan imam ibn Jauzi,
هو القائم مقام غيره ، يقال : هذا خلف فلان
وخليفته
“ialah
pengganti yang menggantikan pihak selainnya. Dikatakan ini adalah pengganti
fulan dan dia menggantikannya”
[1:41 زاد المسير، ]
Secara bahasa, para
mufasirin sepakat bahwa khalifah pada ayat tersebut ialah Adam as., seperti
yang diungkapkan oleh Imam al-Baghawi,
والمراد بالخليفة هاهنا آدم
“dan
yang dimaksud dengan Khalifah di sini adalah Adam.”
[
1:79 معالم التنزيل، ]
Khalifah yang
dimaksudkan disini, ditinjau dari segi keberadaannya bukanlah sebagai sebuah
siklus kehidupan yaitu suatu generasi yang menggantikan generasi lainnya.
Memang benar ini tidak bertentangan dengan fakta, namun pendapat ini kurang
tepat jika kita melihat bahwa kelanjutan ayat 30 surat al-Baqarah yang
mengindikasikan bahwa malaikat menghendaki khalifah itu ialah dari kalangan ahl
al-thaa’ah. Dengan demikian, dari segi keberadaannya, khalifah merupakan siklus
kepemimpinan yang dikehendaki Allah SWT untuk menegakkan hukum-Nya dan
menerapkan ketetapan-Nya. Ungkapan ini senada dengan Imam al-Baghawi, beliau
mengungkapkan
الصحيح أنه خليفة الله في أرضه لإقامة أحكامه
وتنفيذ وصاياه
“dan
pendapat yang shahih bahwasannya khalifah itu ialah khalifah bagi Allah di
bumi-Nya untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya”
[1:79 معالم التنزيل، ]
Begitu juga dengan
pendapat imam Hasan al-Bashri seperti yang dinukil oleh Imam Mawardi,
الذين يخلفون أباهم آدم في إقامة الحق وعمارة
الأرض
“yang
menggantikan ayah mereka Adam, menempati posisinya dan mewakili urusannya dalam
penegakan al-haq dan memimpin serta mengurusi urusan di bumi”
[1:31 النكت والعيون، ]
Selanjutnya ibn Mas’ud
mengungkapkan seperti yang dinukil oleh ats-Tsa’labiy
قال ابن مسعود : إنما معناه : خليفةٌ مني في
الحُكْمِ
.
“berkata
ibn Mas’ud: sesungguhnya makna Khalifah: Khalifah dalam penegakan hukum”
[1:17 الجواهر الحسان في تفسير القرآن،]
Keberadaan khalifah
secara mutlak adalah untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT., dalam firman-Nya
terungkap keharusan ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai
orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan
ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian
itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [Qs. an-Nisa 4: 59]
Yang dimaksud dengan
ulil amri pada ayat tersebut ialah umara’ atau khulafa’, ibn ‘Athiyah
mengungkapkan
وطاعة الأمراء على قول الجمهور : أبي هريرة وابن
عباس وابن زيد وغيرهم
“dan
mentaati umara’ (penguasa) seperti perkataan jumhur ulama yakni Abu Hurairah,
ibn ‘Abbas, ibn Zaid dan yang lainnya.”
[2:145 المحرر الوجيز، ]
Keberadaan umara’ atau
khulafa’ untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. tampak jelas dalam ayat ini,
Imam ibn Qayyim mengungkapkan:
وأحسن تأويلا فأمر تعالى بطاعته وطاعة رسوله وأعاد
الفعل إعلاما بأن طاعة الرسول تجب استقلالا من غير عرض ما أمر به على الكتاب بل
إذا أمر وجبت طاعته مطلقا سواء كان ما أمر به في الكتاب أو لم يكن فيه فإنه أوتي
الكتاب ومثله معه ولم يأمر بطاعة أولي الأمر استقلالا بل حذف الفعل وجعل طاعتهم في
ضمن طاعة الرسول إيذانا بأنهم إنما يطاعون تبعا لطاعة الرسول فمن أمر منهم بطاعة
الرسول وجبت طاعته ومن أمر بخلاف ما جاء به الرسول فلا سمع له ولا طاعة
“Allah
SWT. memerintahkan taat kepada-Nya dan mentaati rasul-Nya. Dia mengulang kata
kerjanya yaitu أَطِيعُوا , untuk menunjukkan bahwa taat kepada
Rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah taat kepada
al-Qur’an. Bahkan bila Rasul saw. memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati
secara mutlak baik perintahnya itu ada di dalam al-Qur’an ataupun tidak. Karena
beliau diberi al-Kitab dan yang semisal bersamanya. Namun Allah tidak
memerintahkan taat kepada ulil amri secara mandiri, justru dengan membuang kata
kerjanya dan menjadikan perintah taat kepada mereka dalam cakupan perintah taat
kepada Rasul saw. hal ini menunjukkan bahwa mereka ditaati karena konsekuensi
taat kepada Rasul. Karena siapa di antara mereka yang memerintahkan taat kepada
Rasul, maka harus ditaati. Sebaliknya siapa di antara mereka yang memerintahkan
menyelisihi apa-apa yang dibawa Rasul saw., maka tidak perlu didengan dan tidak
pula ditaati.”
[1:48 إعلام الموقعين عن رب العالمين، ]
Walhasil, dari segi
keberadaanya Khalifah merupakan siklus kepemimpinan yang dikehendaki oleh Allah
SWT. untuk menegakkan hukum-hukum dan menerapkan ketetapan-ketetapan yang
semata-mata berasal dari-Nya. Sebelum nabi terakhir siklus kepemimpinan ini
berada di tangan para nabi dan Rasul, adapun setelah nabi terakhir siklus
kepemimpinan ini dipegang oleh umat nabi Muhammad saw., yang dipilih dari
mereka dengan syarat-syarat tertentu demi terlaksananya hukum-hukum Allah SWT.
Rasulullah saw. pernah bersabda,
حدثني محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة
عن فرات القزاز قال سمعت أبا حازم قال : قاعدت أبا هريرة خمس سنين فسمعته يحدث عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي
خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون )
“Dulu
Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap
nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi
sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” [Hr. Bukhari, Shahih
Bukhari, 3:1273 no.3268]
Pembahasan kedua:
Khalifah Dari Segi Hukum Keberadaannya
Keberadaan Khalifah
ditinjau dari segi hukum ialah suatu keharusan, dengan kata lain adalah suatu
kewajiban. Hal ini telah nyata dan terang dalam pembahasan para imam ahl
al-haq, pendapat yang mereka sampaikan merupakan istinbath hukum dari
dalil-dalil syara’. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Allah SWT., berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ... - 30
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,’Aku hendak menjadikan
Khalifah di bumi’...” [QS. al-Baqarah 2:30]
Imam Umar bin Ali bin
Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan sebutan ibn Adil
mengungkapkan,
هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له
ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك
بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه
“ayat
ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan
dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum
tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara
para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti
dia…”
[1:204 تفسير اللباب، ]
Imam Qurthubi
mengungkapkan,
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع،
لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.
ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة
إلا ما روي عن الاصم (2) حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه
على رأيه ومذهبه، قال: إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك، وأن الامة متى أقاموا
حجهم وجهادهم، وتناصفوا فيما بينهم، وبذلوا الحق من أنفسهم، وقسموا الغنائم والفئ والصدقات
على أهلها، وأقاموا الحدود على من وجبت عليه، أجزأهم ذلك، ولا يجب عليهم أن ينصبوا
إماما يتولى ذلك.
ودليلنا قول الله تعالى: " إني جاعل في الارض
خليفة " [ البقرة: 30 ]، وقوله تعالى: " يا داود إنا جعلناك خليفة في
الارض " [ ص: 26 ]، وقال: " وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات
ليستخلفنهم في الارض " [ النور: 55 ] أي يجعل منهم خلفاء، إلى غير ذلك من
الآي.
وأجمعت الصحابة على تقديم الصديق بعد اختلاف وقع
بين المهاجرين والانصار في سقيفة بني ساعدة في التعيين، حتى قالت الانصار: منا
أمير ومنكم أمير، فدفعهم أبو بكر وعمر والمهاجرون عن ذلك، وقالوا لهم: إن العرب لا
تدين إلا لهذا الحي من قريش، ورووا لهم الخبر في ذلك، فرجعوا وأطاعوا لقريش.
فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في
غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في
قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب ثم إن الصديق رضي
الله عنه لما حضرته الوفاة عهد إلى عمر في الامامة، ولم يقل له أحد هذا أمر غير
واجب علينا ولا عليك، فدل على وجوبها وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام
المسلمين، والحمد لله رب العالمين.
“ayat
ini menegaskan tentang mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan
dita'ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum tentang
khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat,
tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham
(tokoh mu’tazilah) yang menjadi syariat Asham, dan begitu pula setiap orang
yang berkata dengan perkataannya serta orang yang mengikuti pendapat dan
madzhabnya. Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal
tersebut melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka menegakkan hujjah,
jihad, mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri
mereka, membagi ghanimah, fa'i, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had
atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas
hal tersebut. Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur
hal tersebut. Dalil kami (Imam Al-qurthubi) adalah firman Allah
Ta'ala:"sungguh Kami jadikan di bumi itu khalifah" (TQS Al Baqarah:
30). Dan firman-Nya Ta'ala:"Wahai Dawud sesungguhnya Kami jadikan kamu
khalifah di bumi" (TQS Shad:26). Dan firman-Nya: "Allah telah
menjanjikan bagi mereka yang beriman dari kalian dan beramal shalih untuk
istikhlaf di bumi" (TQS An Nur:55). Artinya Allah menjadikan diantara
mereka para khulafa' dst.
Para
shahabat telah sepakat untuk mendahulukan Ash-siddiq setelah terjadi perbedaan
dalam penunjukan (siapa yang menjadi imam) antara kaum Muhajirin dan Anshar di
Saqifah bani Sa'adah. Bahkan shahabat Anshar berkata: untuk kami pemimpin dan
untuk anda sekalian pemimpin. Abu Bakar, Umar dan kaum Muhajirin menolak hal
tersebut. Mereka berkata pada kaum Anshar: "bahwa sesungguhnya orang Arab
itu tidak beragama kecuali urusan ini ditangan orang Quraisy, lalu kaum
Muhajirin meriwayatkan pada kaum Anshar khabar tentang hal itu. Maka kaum
Ansharpun menarik pendapatnya dan ta'at pada golongan Quraisy. Maka kalau
seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy
maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah.
Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu
yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa
kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal
yang tidak wajib. Sementara itu sungguh Ash-shiddiq ra ketika hampir meninggal
maka dia mengangkat Umar untuk imamah, dan tidak seorangpun yang berkata pada
Ash-shiddiq bahwa hal ini tidaklah wajib atas kita dan anda. Ini menunjukkan
atas wajibnya imamah dan bahwa imamah tersebut adalah salah satu pilar agama
yang dengan pilar tersebut terjaga kekuatan kaum Muslim. Walhamdulillahi rabbil
alamin”
[
1:264-265 تفسير القرطبي، ]
Dalam ayat lain Allah
SWT., berfirman,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
“adapun
orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Qs. al-Ma’idah 5: 38]
Imam ar-Razi
mengungkapkan dalam kitabnya,
احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة
أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة
الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت
الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا
يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً
جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى
الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام
حينئذٍ .
“para
Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat
seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta'ala mewajibkan
di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka
adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut.
Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh
menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa
tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal
kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan
tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan
ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih
dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah
suatu yang pasti qath'inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula”
[6:57 مفاتيح الغيب، ]
Selain di dalam
al-Qur’an, kita juga mendapati keterangan mengenai kewajiban adanya Khalifah di
dalam hadits. Rasulullah saw. bersabda,
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ
الْعَنْبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا عَاصِمٌ - وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ زَيْدٍ - عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ
الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لأَبِى
عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّى لَمْ آتِكَ لأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ
لأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُهُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ».
“siapa
saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia akan menemui kelak pada
hari Kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara tidak
ada baiat di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliyah.”
[Hr.
Imam Muslim, Shahih Muslim, 12:288 no.4899]
Dari hadits ini dapat mengandung
keterangan, bahwa frasa لَيْسَ
فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ
bisa diartikan لَيْسَ عليه إمام (tidak ada Imam / Khalifah), ketiadaan
imam merupakan kondisi yang diharamkan, hal ini ditunjukkan dengan adanya
qarinah (indikasi) yaitu dengan frasa مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ; qarinah disini merupakan qarinah yang tegas sehingga
menunjukkan wajibnya ada bai’at di pundak setiap muslim. Jadi sangat jelas,
bahwa wajib adanya bai’at kepada khalifah dipundak kaum muslim, bukan wajibnya
kaum muslimin membai’at. Rasulullah saw. juga pernah bersabda,
حدثني محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة
عن فرات القزاز قال سمعت أبا حازم قال
:
قاعدت أبا هريرة
خمس سنين فسمعته يحدث عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كانت بنو إسرائيل تسوسهم
الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون ) . قالوا
فما تأمرنا ؟ قال ( فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما
استرعاهم
)
“Dahulu,
Bani Isra’il selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap
kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak
akan ada Nabi sesudahku, tetapi nanti akan ada banyak Khalifah. Para Sahabat
bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab: penuhilah
bai’at yang pertama dan yang pertama. Berikanlah kepada mereka haknya, karena
Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang
dibebankan urusannya kepada mereka.” [Hr. Bukhari, Shahih Bukhari, 3:1273
no.3268]
Hadits ini
mengindikasikan وجوب الوفاء ببيعة
الخلفاء الأول فالأول:
(kewajiban merealisasikan bai’ah kepada Khalifah yang pertama dan pertama).
Adapun maksud dari frasa فوا
ببيعة الأول فالأول
ialah
أي إن الذي تولى الأمر وبويع قبل غيره هو صاحب
البيعة الصحيحة التي يجب الوفاء بها وبيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها مطلقا
“yaitu
sesungguhnya kekuasaan (pemerintahan) penguasa dengan dibai’at sebelum yang
lainnya, yaitu yang memiliki bai’ah sah sehingga memiliki kewajiban
merealisasikan pemerintahan, dan bai’ah kedua yang muncul haram atasnya
kekuasaan secara mutlak.”
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa dalam satu waktu wajib adanya khalifah, dan khalifah ini
diangkat dengan bai’at dan baginya pemerintahan yang sah, setelah tampak
padanya ketidakmampuan menunaikan kewajiban sebagai khalifah maka dibai’at lagi
pengganti setelahnya.
Setelah kita
mengetahui dari al-Qur’an dan al-hadits disertai dengan pendapat ulama ahl
al-haq mengenai kewajiban adanya khalifah, akan kita temui juga dalam ijma’
sahabat. Kita ketahui bahwa para sahabat telah melakukan kesepakatan untuk
membai’at khalifah (pengganti) Rasulullah saw. di tsaqifah Bani Sa’adah saat
Rasulullah saw. wafat dan jenazahnya belum diurus. Padahal mereka memahami
bahwa mengurus jenazah tersebut hukumnya wajib dan harus disegerakan, tetapi
mereka menangguhkannya dan sebaliknya mereka menyegerakan pembahasan untuk
mencari pengganti Nabi saw. Dalam kitab imam Syahrastani dinukil khutbahnya Abu
Bakr, beliau mengatakan
وإن محمداً قد مضى بسبيله ولا بد لهذا الأمر من
قائم يقوم به
“ingatlah,
Muhammad sesungguhnya telah pergi (wafat), akan tetapi merupakan suatu
keharusan bahwa perkara din ini harus ada orang yang menegakkannya.”
[1:168 نهاية الإقدام في علم الكلام، ]
Walhasil, dari segi
hukum keberadaan khalifah berdasarkan nash baik dari al-Qur’an, al-hadits dan
juga ijma’ sahabat yaitu merupakan suatu kewajiban. Layaknya
kewajiban-kewajiban lainnya dalam din Islam yang akan memberi konsekuensi dosa
dihadapan Allah SWT ketika umat mengabaikannya.
Khalifah Yang Satu
Bagi Seluruh Umat Islam Adalah Keharusan
Rasulullah saw. pernah
bersabda,
وَحَدَّثَنِى وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ الْوَاسِطِىُّ
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْجُرَيْرِىِّ عَنْ أَبِى نَضْرَةَ
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا ».
“jika
dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” [Hr.
Imam Muslim, Shahih Muslim, 12:296 no.4905]
Ibn Hazm dalam
kitabnya mengungkapkan
وَلا يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ فِي الدُّنْيَا إلا
إمَامٌ وَاحِدٌ، وَالأَمْرُ لِلأَوَّلِ بَيْعَةٌ
“dan
tidak boleh ada di dunia kecuali satu Imam, yang mendapatkan bai’at pertama
dengan sah”
[17:293 المحلي بالاثار لابن حزم، ]
Adapun imam an-Nawawi
mengutarakan pendapatnya,
إذا بويع لخليفة بعد خليفة فبيعة الأول صحيحة يجب
الوفاء بها وبيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا
للثاني عالمين بعقد الأول جاهلين وسواء كانا في بلدين أو بلد أو أحدهما في بلد
الإمام المنفصل
“ketika
dibai’at Khalifah sesudah Khalifah yang lain, maka bai’at awal yang sah dan
wajib merealisasikan pemerintahan, adapun bai’at yang kedua haram atasnya. Sama
saja apakah yang terikat pada yang kedua merupakan orang-orang yang ‘alim dan
yang terikat dengan yang pertama orang-orang yang jahil; sama saja apakah
negeri Islam yang luas atau sempit atau salah satu di berada di tempat yang
terpisah. (kesemuanya tidak diizinkan ketika adanya dua bai’at dalam satu
waktu)”
[12:231 شرح النووي على صحيح مسلم، ]
Dengan demikian dapat
kita pahami bahwa hanya boleh ada satu Khalifah dalam satu waktu. Tidak
dibenarkan dalam Islam dua khalifah dalam satu waktu. Kondisi kaum muslimin
tidak mempengaruhi ini, karena Allah SWT. yang telah menetapkan hukumnya.
Sementara kondisi ataupun akal tidaklah dapat menentukan halal atau haram,
melainkan dalil syara’ yang dapat menunjukkan hal itu.
Dari pembahasan Islam
Dan Daulah kita memahami bahwa khalifah ialah siklus kepemimpinan yang
dikehendaki oleh Allah SWT. untuk menegakkan hukum-hukum dan menerapkan
ketetapan-ketetapan yang semata-mata berasal dari-Nya. Bahwa adanya khalifah
merupakan kewajiban dan dia diangkat dengan bai’at setelah dirinya memenuhi
syarat-syarat yang telah digariskan dalam Islam. Khalifah sendiri satu bagi
seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bi ash-Shawab
Penutup
Allah SWT. berfirman
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (55) أَنْ تَقُولَ
نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ
لَمِنَ السَّاخِرِينَ (56)
“Dan
kembalikan kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab
kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang
telah diturunkan kepadamu (al-Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu
secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya. Agar jangan ada orang yang
mengatakan,’Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan
kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang
memperolok – olok (agama Allah)’” [Qs. az-Zumar 39: 54-56]
Sesungguhnya, umat ini
telah kehilangan ibunya. Ibu yang dengannya umat ini dijaga, yaitu Daulah
Khilafah Islam. Telah lama Barat bersekutu menghancurkan dan membunuh ibu kita,
lebih kurang 84 tahun yang lalu. Keberadaannya merupakan kewajiban, sungguh ini
adalah kesempatan bagi kita umat Islam untuk menjadi generasi yang Allah
mencintainya dan mereka mencintai Allah. Generasi yang kembali bangkit untuk
menunaikan kewajiban yang telah Allah terangkan, kemudian mereka mengembang
dakwah untuk membangun pemahaman umat agar berakarkan aqidah Islam, akar yang
kokoh sehingga dapat menghantarkan pada prilaku yang shahih.
Semoga kita tidak
termasuk golongan yang termasuk orang-orang yang memperolok – olok agama Allah.
Mudah-mudahan kita termasuk hamba-Nya yang mendapat penjagaan dari-Nya, amin
Wallahu a’lam bi
ash-shawab.