Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Friday, June 24, 2011

Islam dan Negara

 


Oleh Hafid Muhammad

 

Pendahuluan

 

Dalam kehidupan umat Islam aktivitas untuk saling mengingatkan merupakan aktivitas yang mulia di sisi Allah SWT. Aktivitas ini dapat menghantarkan pada kekokohan pemahaman umat akan Islam dimana memudarnya kegiatan ini dapat menghantarkan pada rusaknya pemahaman umat. Telah menjadi bukti bahwa beberapa generasi dari umat ini telah mengalami kerapuhan pemahaman Islam. Dalam kitab imam ibn Jauzi diungkapkan,

 

قال عمر بن المهاجر: قال لي عمر بن عبد العزيز: إذ رأيتني قد حدت عن الحق فخذ بثيابي وهزني، وقل: ما لك يا عمر ؟. وقال عمر بن الخطاب رضي الله عنه: رحم الله من أهدى إلينا عيوبنا.

 

“berkata Umar ibn al-Muhajir: Umar ibn Abdul Aziz berpesan kepadaku,’jika engkau telah melihatku berpaling dari kebenaran, maka tariklah aku dan goncanglah tubuhku’ Aku bertanya: Ada apa denganmu wahai Umar?, Umar ibn Khaththab juga pernah berkata,’Semoga rahmat Allah selalu dilimpahkan kepada mereka yang menunjukkan kepada kita aib (kekurangan) diri kita’ ” [Shaidul Khatir, 1: 15]

 

Kita berharap termasuk ke dalam golongan yang mendapatkan kedudukan tinggi seperti halnya sahabat Rasulullah saw., dalam rangka meneladani Nabi dan Rasul terakhir. Oleh karena itu, kita tidak akan melontarkan amarah kebencian terhadap sesama yang berusaha mengingatkan akan kekurangan yang selama ini ada pada diri kita.

 

Kekurangan (aib) terbesar yang ada pada umat ini ialah tidak lagi hidup dalam naungan Islam. Bukankah umat ini telah menyatakan bahwa mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT. berfirman,

 

يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ

 

“Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai Allah” [Qs. al-Ma’idah 5: 54]

 

Tidak ada cinta jika tidak mentaati apa yang menjadi keinginan dari yang dicintainya, seperti yang diungkapkan imam ibn Jauzi,

 

محبته طاعته... ومحبة العلم والعمل ترى الصور المعنوية فتحبها.

 

“Cinta kepada Allah adalah dengan taat kepada-Nya...kecintaan yang didasarkan ilmu dan amal akan mampu menyibak makna sehingga orang mencintai hal tersebut." [Shaidul Khatir, 1:12]

 

Secara umum, umat ini tidak lagi memiliki pemahaman yang shahih sehingga kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya tak lagi tampak dalam amalan, atau tampak pudar dalam amalan dikarenakan telah ternodai oleh ‘bintik-bintik hitam’ yang menghantarkan pada kecacatan amal. Semoga tulisan sederhana ini dapat membuat kita semua semakin menyadari bahwa kita memiliki aib yang besar, sehingga apalah artinya pengakuan cinta kepada-Nya namun disaat yang bersamaan kita merasa bahagia dengan aib ini, dikarenakan perasaan bahwa hidup selama ini berada dalam kebaikan. Abu Ali ar-Rudzabari berkata,

 

من الاغترار أن تسيء، فيحسن إليك، فتترك التوبة، توهماً أنك تسامح في العقوبات

 

“Satu hal (yang mengindikasikan) bahwa engkau sangat tertipu ialah tatkala engkau berbuat jahat, namun Dia membalasmu dengan kebaikan, namun engkau tak kunjung bertaubat, dengan mengira dosa-dosamu bakal diampuni.”

 

Semoga kita senantiasa dalam bimbingan dan penjagaan-Nya, agar termasuk ke dalam golongan yang tidak memperolok-olok urusan yang termasuk dalam bagian din Islam. Yang benar datang dari Allah dan kesalahan yang ada datang dari penulis, seorang hamba Allah yang banyak kekurangan.

 

 

Nilai – Nilai Prinsip Islam

 

Ada dua hal yang menjadi prinsip dalam Islam yaitu: (1) Islam merupakan petunjuk dalam kehidupan; (2) Islam harus diterapkan secara menyeluruh. Pembahasan prinsip pertama adalah berkaitan dengan aqidah Islam yang memancarkan solusi atas seluruh problematika kehidupan manusia, solusi ini merupakan solusi yang shahih karena tumbuh dari akar yang kokoh dan benar yaitu aqidah Islam. Adapun pembahasan pada prinsip kedua ialah berkisar keharusan menggunakan solusi yang terpancar dari aqidah Islam, baik itu solusi dalam masalah hubungan manusia dengan Penciptanya, manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan sesama.

 

Prinsip pertama, Islam merupakan petunjuk kehidupan. Pendekatan secara normatif membawa kita pada bukti kebenaran prinsip ini, dimana Allah SWT. berfirman,

 

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

 

“dan Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira kepada orang yang berserah diri” [Qs. an-Nahl 16: 89]

 

Dalam hal ini, Imam ath-Thabari dalam kitabnya mengungkapkan,

 

وقوله( وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ ) يقول: نزل عليك يا محمد هذا القرآن بيانا لكلّ ما بالناس إليه الحاجة من معرفة الحلال والحرام والثواب والعقاب(وَهُدًى) من الضلال(وَرَحْمَةً) لمن صدّق به، وعمل بما فيه من حدود الله ، وأمره ونهيه، فأحل حلاله ، وحرّم حرامه

 

“dan firman Allah: ‘dan Kami turunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu’ bermakna: Kami turunkan kepadamu wahai Muhammad al-Qur’an ini, yang menjelaskan segala sesuatu dari apa-apa yang manusia butuhkan dalam kehidupan, agar mengetahui tentang kehalalan, keharaman, imbalan (pahala) dan sanksi (dosa). Adapun firmanNya:‘sebagai petunjuk’ bermakna petunjuk dari kesesatan, sedangkan firmanNya:’serta rahmat’ bermakna bagi siapa saja yang membenarkannya, dan mengamalkan hukum-hukum Allah, melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, serta menghalalkan apa-apa yang dihalalkanNya dan mengharamkan apa-apa yang diharamkanNya.”

[جامع البيان في تأويل القرآن، 17/278]

 

 

Dapat dipahami bahwa maksud dari firman Allah tersebut ialah segala sesuatu yang termasuk pemenuhan potensi kehidupan manusia telah dijelaskan oleh Allah SWT terkait hukum-hukum dari perbuatan atau benda yang berhubungan dengan pemenuhan tersebut, tentunya ini mengindikasikan bahwa seluruh perkara telah dijelaskan oleh Allah SWT di dalam al-Qur’an dan juga ditambahkan dalam apa-apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an sebagai sumber hukum dalam Islam. Penjelasan yang datang dari Allah SWT tersebut merupakan penjelasan yang terang lagi fasih sehingga dapat digali hukum-hukum dari-Nya dan kemudian diamalkan hukum yang telah dipahami dari-Nya, imam Zamakhsyari mengungkapkan terkait dengan makna dari lafadz tibyaan[an],

 

( تِبْيَانًا )  بياناً بليغاً

“terang lagi fasih” [الكشاف، 3/390]

 

Ada baiknya kita menyaksikan apa yang diungkapkan sahabat Rasulullah saw., yaitu ibn Mas’ud seperti yang dikutip oleh ibn ‘Athiyah

 

قال ابن مسعود : أنزل في هذا القرآن كل علم ، وكل شيء قد بين لنا في القرآن

 

“Berkata ibn Mas’ud: telah diturunkan pada al-Qur’an ini seluruh ilmu, dan seluruh perkara sungguh telah jelas kepada kami dalam al-Qur’an ”

[المحرر الوجيز، 4/192]

 

 

Prinsip kedua, Islam harus diterapkan secara menyeluruh. Untuk membuktikan kebenara prinsip ini, kita melakukan pendekatan rasional-fakta dan normatif. Pendekatan rasional-fakta adalah dengan meninjau individu manusia itu sendiri, ada tiga fakta mendasar (karakteristik alami) yang melekat pada makhluk hidup ini yaitu lemah, terbatas, dan membutuhkan kepada yang lain. Hal ini mengindikasikan kepada kita bahwa segala sesuatu yang merupakan produk dari makhluk dengan karakteristik alami ini akan menunjukkan ketidaksempurnaan.

 

Oleh karena itu, dimensi kehidupan manusia yang terdiri dari dimensi hubungannya dengan Pencipta, hubungannya dengan diri sendiri dan hubungannya dengan sesama tidak dapat diserahkan kepada manusia sebagai pembuat aturan. Sehingga ada dua kesimpulan yang kita dapatkan: pertama, dibutuhkan aturan yang datang dari sesuatu dengan karakteristik sempurna, tidak memiliki keterbatasan dan tidak bergantung kepada pihak lain, tentu saja yang memenuhi kriteria ini adalah Allah SWT. Telah nyata kepada kita bahwa Dia menurunkan ad-diin al-Islam, yang sebelumnya telah kita pahami bahwa aturannya melingkupi segala sesuatu; kedua, aturan ini tidaklah dapat dibagi atau dikompromikan dengan maksud sebagian diatur dengan aturan Islam dan sebagian lagi diatur dengan aturan dari manusia, hal ini mengindikasikan bahwa (a) jika demikan berarti kita menganggap bahwa Allah SWT. tidak sempurna dalam menurunkan pedoman hidup kepada manusia, tentu hal ini bertentangan dengan fakta. (b) jika demikian berarti pula bahwa manusia sanggup menghasilkan aturan yang benar berdasarkan akalnya, hal ini tentu bertentangan dengan fitrah manusia.

 

Adapun pembuktian secara normatif adalah sebagai berikut, Allah SWT. berfirman,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

 

“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan adalah musuh yang nyata.” [Qs. al-Baqarah 2: 208]

 

Imam ath-Thabari mengungkapkan,

 

فالآية عامة لكل من شمله اسم"الإيمان"، فلا وجه لخصوص بعض بها دون بعض.

 

“Ayat ini bersifat umum bagi seluruh yang terkategori beriman, tidak memandang secara khsusus sebagian tanpa sebagian yang lain.”

[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257]

 

Berkaitan dengan firman Allah SWT., ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً bermakna masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan mengamalkannya. Makna ini senada dengan yang disampaikan oleh Mujahid seperti yang dikutip oleh Imam ath-Thabari,

 

حدثني محمد بن عمرو، قال: حدثنا أبو عاصم، عن عيسى، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد في قول الله عز وجل:" ادخلوا في السلم كافة"، قال: ادخلوا في الإسلام كافة، ادخلوا في الأعمال كافة.

 

“Imam Mujahid berkata terkait firman Allah :" ادخلوا في السلم كافة"masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan mengamalkan secara menyeluruh amalan-amalan didalamnya”

[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257]

 

Makna kata كَافَّةً ialah جميعًا (menyeluruh), hal ini berdasarkan riwayat dari Qatadah

 

حدثنا الحسن بن يحيى، قال: أخبرنا عبد الرزاق، قال: أخبرنا معمر، عن قتادة قوله:" في السلم كافة" قال: جميعًا.

 

Selanjutnya juga ibn ‘Abbas mengungkapkan,

 

حدثنا القاسم، قال: حدثنا الحسين، قال: حدثني حجاج، قال: قال ابن جريج، قال ابن عباس:" كافة"، : جميعًا.

[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257 ]

 

 

Oleh karena itu, dapat kita pahami bahwa adanya keharusan untuk masuk pada keseluruhan ajaran din Islam baik dengan meyakini dan mengamalkannya. Senada dengan ungkapan ini, Imam ar-Razi mengungkapkan,

 

ادخلوا في جميع شرائع الإسلام اعتقاداً وعملاً

[مفاتيح الغيب، 3/224]

 

 

Dari pembuktian kedua nilai prinsip dalam Islam, sampailah pada kesimpulan bahwa setiap dimensi hubungan dalam kehidupan manusia berada dalam cakupan aturan Islam dan harus diterapkan secara keseluruhannya. Baik dalam hubungan antara manusia dengan Pencipta, antara manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan sesamanya.

 

 

Islam Dan Daulah

 

Dua nilai prinsip Islam yang telah disebutkan di atas dijaga oleh Daulah, yang merupakan Daulah Islam. Keberadaan Daulah Islam sebagai suatu kemestian dapat dilihat dari dua aspek, yaitu (a) aspek rasional-fakta manusia; (b) aspek normatif.

 

Aspek rasional-fakta manusia, pada diri manusia terdapat suatu gharizatun baqa’ yang dapat mendorong seseorang untuk cinta pada kekuasaan, dan berusaha menguasai sesuatu. Kondisi ini pada suatu keadaan tertentu dapat menghantarkan terciptanya konflik di tengah-tengah manusia, salah satu keadaan yang dapat menghantarkan kekacauan tersebut ialah diserahkannya penerapan dan penjagaan dari pelaksanaan aturan di tengah masyarakat kepada suatu individu atau beberapa individu tanpa adanya institusi yang sah. Dengan demikian, setiap individu dapat bersaing dengan berbagai cara agar menjadi pihak yang berkuasa untuk memberikan sanksi atas setiap pelanggaran dari pelaksanaan hukum di dalam masyarakat.

 

Sebelum kita melihat adanya penjelasan nash mengenai hal ini, lebih dahulu kita pahami dua nilai prinsip Islam sebelumnya telah mengindikasikan bahwa nilai pertama yaitu Islam merupakan petunjuk kehidupan mengandung makna bahwa Islam juga menjelaskan bagaimana agar keseluruhan pedoman hidup yang terkandung didalamnya dapat diterapkan, jika tidak demikian maka terdapat paradoks dalam ajaran Islam. Hal ini tentu tidak mungkin, karena Islam secara pasti dan meyakinkan datang dari Yang Maha Sempurna, yaitu Allah SWT.

 

 

Kewajiban Adanya Pemimpin Yang Menerapkan Aturan Allah

 

Allah SWT. berfirman,

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً...

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,’Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi’...” [QS. al-Baqarah 2:30]

Pembahasan pertama: Khalifah Dari Segi Keberadaannya

 

Kata khalifah berasal dari kata khalif (wazan fa’il), Ibn al-‘Anbary mengatakan seperti yang dinukil oleh Imam ibn Jauzi,

 

والأصل في الخليفة خليف

“Asal dari kata al-Khalifah adalah Khalif”

[1:41 زاد المسير،]

 

Adapun tambahan al-Haa’ berfungsi sebagai li al-mubalaghah (untuk melebihkan), seperti yang diungkapkan oleh Abu Hayan al-Andalusi,

 

والهاء للمبالغة

“dan al-Haa’ berfungsi untuk menyangatkan”

[1:169 تفسير البحر المحيط، ]

 

Khalifah berarti pihak yang menggantikan pihak lainnya, menempati kedudukannya dan mewakili urusannya. Imam al-Mawardi mengungkapkan,

 

الخليفة : فهو القائم مقام غيره

“pengganti yang menggantikan pihak selainnya (sebelumnya).”

[1:31 النكت والعيون، ]

 

Hal yang senada juga diungkapkan imam ibn Jauzi,

 

هو القائم مقام غيره ، يقال : هذا خلف فلان وخليفته

“ialah pengganti yang menggantikan pihak selainnya. Dikatakan ini adalah pengganti fulan dan dia menggantikannya”

[1:41 زاد المسير، ]

 

Secara bahasa, para mufasirin sepakat bahwa khalifah pada ayat tersebut ialah Adam as., seperti yang diungkapkan oleh Imam al-Baghawi,

 

والمراد بالخليفة هاهنا آدم

“dan yang dimaksud dengan Khalifah di sini adalah Adam.”

[ 1:79 معالم التنزيل، ]

 

Khalifah yang dimaksudkan disini, ditinjau dari segi keberadaannya bukanlah sebagai sebuah siklus kehidupan yaitu suatu generasi yang menggantikan generasi lainnya. Memang benar ini tidak bertentangan dengan fakta, namun pendapat ini kurang tepat jika kita melihat bahwa kelanjutan ayat 30 surat al-Baqarah yang mengindikasikan bahwa malaikat menghendaki khalifah itu ialah dari kalangan ahl al-thaa’ah. Dengan demikian, dari segi keberadaannya, khalifah merupakan siklus kepemimpinan yang dikehendaki Allah SWT untuk menegakkan hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-Nya. Ungkapan ini senada dengan Imam al-Baghawi, beliau mengungkapkan

 

الصحيح أنه خليفة الله في أرضه لإقامة أحكامه وتنفيذ وصاياه

“dan pendapat yang shahih bahwasannya khalifah itu ialah khalifah bagi Allah di bumi-Nya untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya”

[1:79 معالم التنزيل، ]

 

Begitu juga dengan pendapat imam Hasan al-Bashri seperti yang dinukil oleh Imam Mawardi,

 

الذين يخلفون أباهم آدم في إقامة الحق وعمارة الأرض

 

“yang menggantikan ayah mereka Adam, menempati posisinya dan mewakili urusannya dalam penegakan al-haq dan memimpin serta mengurusi urusan di bumi”

[1:31 النكت والعيون، ]

 

Selanjutnya ibn Mas’ud mengungkapkan seperti yang dinukil oleh ats-Tsa’labiy

 

قال ابن مسعود : إنما معناه : خليفةٌ مني في الحُكْمِ .

“berkata ibn Mas’ud: sesungguhnya makna Khalifah: Khalifah dalam penegakan hukum”

[1:17 الجواهر الحسان في تفسير القرآن،]

 

Keberadaan khalifah secara mutlak adalah untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT., dalam firman-Nya terungkap keharusan ini,

 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

 

“Wahai orang-orang yang beriman ! taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [Qs. an-Nisa 4: 59]

 

Yang dimaksud dengan ulil amri pada ayat tersebut ialah umara’ atau khulafa’, ibn ‘Athiyah mengungkapkan

 

وطاعة الأمراء على قول الجمهور : أبي هريرة وابن عباس وابن زيد وغيرهم

“dan mentaati umara’ (penguasa) seperti perkataan jumhur ulama yakni Abu Hurairah, ibn ‘Abbas, ibn Zaid dan yang lainnya.”

[2:145 المحرر الوجيز، ]

 

Keberadaan umara’ atau khulafa’ untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. tampak jelas dalam ayat ini, Imam ibn Qayyim mengungkapkan:

 

وأحسن تأويلا فأمر تعالى بطاعته وطاعة رسوله وأعاد الفعل إعلاما بأن طاعة الرسول تجب استقلالا من غير عرض ما أمر به على الكتاب بل إذا أمر وجبت طاعته مطلقا سواء كان ما أمر به في الكتاب أو لم يكن فيه فإنه أوتي الكتاب ومثله معه ولم يأمر بطاعة أولي الأمر استقلالا بل حذف الفعل وجعل طاعتهم في ضمن طاعة الرسول إيذانا بأنهم إنما يطاعون تبعا لطاعة الرسول فمن أمر منهم بطاعة الرسول وجبت طاعته ومن أمر بخلاف ما جاء به الرسول فلا سمع له ولا طاعة

“Allah SWT. memerintahkan taat kepada-Nya dan mentaati rasul-Nya. Dia mengulang kata kerjanya yaitu أَطِيعُوا , untuk menunjukkan bahwa taat kepada Rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah taat kepada al-Qur’an. Bahkan bila Rasul saw. memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati secara mutlak baik perintahnya itu ada di dalam al-Qur’an ataupun tidak. Karena beliau diberi al-Kitab dan yang semisal bersamanya. Namun Allah tidak memerintahkan taat kepada ulil amri secara mandiri, justru dengan membuang kata kerjanya dan menjadikan perintah taat kepada mereka dalam cakupan perintah taat kepada Rasul saw. hal ini menunjukkan bahwa mereka ditaati karena konsekuensi taat kepada Rasul. Karena siapa di antara mereka yang memerintahkan taat kepada Rasul, maka harus ditaati. Sebaliknya siapa di antara mereka yang memerintahkan menyelisihi apa-apa yang dibawa Rasul saw., maka tidak perlu didengan dan tidak pula ditaati.”

[1:48 إعلام الموقعين عن رب العالمين، ]

 

 

Walhasil, dari segi keberadaanya Khalifah merupakan siklus kepemimpinan yang dikehendaki oleh Allah SWT. untuk menegakkan hukum-hukum dan menerapkan ketetapan-ketetapan yang semata-mata berasal dari-Nya. Sebelum nabi terakhir siklus kepemimpinan ini berada di tangan para nabi dan Rasul, adapun setelah nabi terakhir siklus kepemimpinan ini dipegang oleh umat nabi Muhammad saw., yang dipilih dari mereka dengan syarat-syarat tertentu demi terlaksananya hukum-hukum Allah SWT. Rasulullah saw. pernah bersabda,

 

حدثني محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن فرات القزاز قال سمعت أبا حازم قال : قاعدت أبا هريرة خمس سنين فسمعته يحدث عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون )

“Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” [Hr. Bukhari, Shahih Bukhari, 3:1273 no.3268]

 

Pembahasan kedua: Khalifah Dari Segi Hukum Keberadaannya

 

Keberadaan Khalifah ditinjau dari segi hukum ialah suatu keharusan, dengan kata lain adalah suatu kewajiban. Hal ini telah nyata dan terang dalam pembahasan para imam ahl al-haq, pendapat yang mereka sampaikan merupakan istinbath hukum dari dalil-dalil syara’. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

 

Allah SWT., berfirman:

 

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ... - 30

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,’Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi’...” [QS. al-Baqarah 2:30]

 

Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan sebutan ibn Adil mengungkapkan,

 

هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه

“ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…”

[1:204 تفسير اللباب، ]

 

Imam Qurthubi mengungkapkan,

 

هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.

 

ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما روي عن الاصم (2) حيث كان عن الشريعة أصم، وكذلك كل من قال بقوله واتبعه على رأيه ومذهبه، قال: إنها غير واجبة في الدين بل يسوغ ذلك، وأن الامة متى أقاموا حجهم وجهادهم، وتناصفوا فيما بينهم، وبذلوا الحق من أنفسهم، وقسموا الغنائم والفئ والصدقات على أهلها، وأقاموا الحدود على من وجبت عليه، أجزأهم ذلك، ولا يجب عليهم أن ينصبوا إماما يتولى ذلك.

 

ودليلنا قول الله تعالى: " إني جاعل في الارض خليفة " [ البقرة: 30 ]، وقوله تعالى: " يا داود إنا جعلناك خليفة في الارض " [ ص: 26 ]، وقال: " وعد الله الذين آمنوا منكم وعملوا الصالحات ليستخلفنهم في الارض " [ النور: 55 ] أي يجعل منهم خلفاء، إلى غير ذلك من الآي.

 

وأجمعت الصحابة على تقديم الصديق بعد اختلاف وقع بين المهاجرين والانصار في سقيفة بني ساعدة في التعيين، حتى قالت الانصار: منا أمير ومنكم أمير، فدفعهم أبو بكر وعمر والمهاجرون عن ذلك، وقالوا لهم: إن العرب لا تدين إلا لهذا الحي من قريش، ورووا لهم الخبر في ذلك، فرجعوا وأطاعوا لقريش.

 

فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب ثم إن الصديق رضي الله عنه لما حضرته الوفاة عهد إلى عمر في الامامة، ولم يقل له أحد هذا أمر غير واجب علينا ولا عليك، فدل على وجوبها وأنها ركن من أركان الدين الذي به قوام المسلمين، والحمد لله رب العالمين.

 

“ayat ini menegaskan tentang mengangkat imam dan khalifah untuk didengar dan dita'ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham (tokoh mu’tazilah) yang menjadi syariat Asham, dan begitu pula setiap orang yang berkata dengan perkataannya serta orang yang mengikuti pendapat dan madzhabnya. Al-asham berkata: imamah itu tidak wajib dalam agama bahkan hal tersebut melengkapinya (saja). Bahwa umat itu ketika mereka menegakkan hujjah, jihad, mengatur apa yang ada diantara mereka, mencurahkan yang haq dengan diri mereka, membagi ghanimah, fa'i, zakat atas yang berhak, dan menegakkan had-had atas siapa saja yang diwajibkan atasnya, maka Allah akan membalas mereka atas hal tersebut. Tidak diwajibkan atas mereka untuk mengangkat imam untuk mengatur hal tersebut. Dalil kami (Imam Al-qurthubi) adalah firman Allah Ta'ala:"sungguh Kami jadikan di bumi itu khalifah" (TQS Al Baqarah: 30). Dan firman-Nya Ta'ala:"Wahai Dawud sesungguhnya Kami jadikan kamu khalifah di bumi" (TQS Shad:26). Dan firman-Nya: "Allah telah menjanjikan bagi mereka yang beriman dari kalian dan beramal shalih untuk istikhlaf di bumi" (TQS An Nur:55). Artinya Allah menjadikan diantara mereka para khulafa' dst.

 

Para shahabat telah sepakat untuk mendahulukan Ash-siddiq setelah terjadi perbedaan dalam penunjukan (siapa yang menjadi imam) antara kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah bani Sa'adah. Bahkan shahabat Anshar berkata: untuk kami pemimpin dan untuk anda sekalian pemimpin. Abu Bakar, Umar dan kaum Muhajirin menolak hal tersebut. Mereka berkata pada kaum Anshar: "bahwa sesungguhnya orang Arab itu tidak beragama kecuali urusan ini ditangan orang Quraisy, lalu kaum Muhajirin meriwayatkan pada kaum Anshar khabar tentang hal itu. Maka kaum Ansharpun menarik pendapatnya dan ta'at pada golongan Quraisy. Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang tidak wajib. Sementara itu sungguh Ash-shiddiq ra ketika hampir meninggal maka dia mengangkat Umar untuk imamah, dan tidak seorangpun yang berkata pada Ash-shiddiq bahwa hal ini tidaklah wajib atas kita dan anda. Ini menunjukkan atas wajibnya imamah dan bahwa imamah tersebut adalah salah satu pilar agama yang dengan pilar tersebut terjaga kekuatan kaum Muslim. Walhamdulillahi rabbil alamin”

[ 1:264-265 تفسير القرطبي، ]

 

 

Dalam ayat lain Allah SWT., berfirman,

 

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

“adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Qs. al-Ma’idah 5: 38]

 

Imam ar-Razi mengungkapkan dalam kitabnya,

 

احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ .

 

“para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Dia Ta'ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam, dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath'inya atas wajibnya mengangkat imam, seketika itu pula”

[6:57 مفاتيح الغيب، ]

 

Selain di dalam al-Qur’an, kita juga mendapati keterangan mengenai kewajiban adanya Khalifah di dalam hadits. Rasulullah saw. bersabda,

 

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا عَاصِمٌ - وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ - عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لأَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّى لَمْ آتِكَ لأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ».

 

“siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, niscaya ia akan menemui kelak pada hari Kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sementara tidak ada baiat di pundaknya, maka ia mati seperti kematian jahiliyah.”

[Hr. Imam Muslim, Shahih Muslim, 12:288 no.4899]

 

Dari hadits ini dapat mengandung keterangan, bahwa frasa لَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ bisa diartikan لَيْسَ عليه إمام (tidak ada Imam / Khalifah), ketiadaan imam merupakan kondisi yang diharamkan, hal ini ditunjukkan dengan adanya qarinah (indikasi) yaitu dengan frasa مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ; qarinah disini merupakan qarinah yang tegas sehingga menunjukkan wajibnya ada bai’at di pundak setiap muslim. Jadi sangat jelas, bahwa wajib adanya bai’at kepada khalifah dipundak kaum muslim, bukan wajibnya kaum muslimin membai’at. Rasulullah saw. juga pernah bersabda,

 

حدثني محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة عن فرات القزاز قال سمعت أبا حازم قال

 

: قاعدت أبا هريرة خمس سنين فسمعته يحدث عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون ) . قالوا فما تأمرنا ؟ قال ( فوا ببيعة الأول فالأول أعطوهم حقهم فإن الله سائلهم عما استرعاهم )

 

“Dahulu, Bani Isra’il selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku, tetapi nanti akan ada banyak Khalifah. Para Sahabat bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau menjawab: penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama. Berikanlah kepada mereka haknya, karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.” [Hr. Bukhari, Shahih Bukhari, 3:1273 no.3268]

 

Hadits ini mengindikasikan وجوب الوفاء ببيعة الخلفاء الأول فالأول: (kewajiban merealisasikan bai’ah kepada Khalifah yang pertama dan pertama). Adapun maksud dari frasa فوا ببيعة الأول فالأول ialah

 

 

أي إن الذي تولى الأمر وبويع قبل غيره هو صاحب البيعة الصحيحة التي يجب الوفاء بها وبيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها مطلقا

 

“yaitu sesungguhnya kekuasaan (pemerintahan) penguasa dengan dibai’at sebelum yang lainnya, yaitu yang memiliki bai’ah sah sehingga memiliki kewajiban merealisasikan pemerintahan, dan bai’ah kedua yang muncul haram atasnya kekuasaan secara mutlak.”

 

 

Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam satu waktu wajib adanya khalifah, dan khalifah ini diangkat dengan bai’at dan baginya pemerintahan yang sah, setelah tampak padanya ketidakmampuan menunaikan kewajiban sebagai khalifah maka dibai’at lagi pengganti setelahnya.

 

Setelah kita mengetahui dari al-Qur’an dan al-hadits disertai dengan pendapat ulama ahl al-haq mengenai kewajiban adanya khalifah, akan kita temui juga dalam ijma’ sahabat. Kita ketahui bahwa para sahabat telah melakukan kesepakatan untuk membai’at khalifah (pengganti) Rasulullah saw. di tsaqifah Bani Sa’adah saat Rasulullah saw. wafat dan jenazahnya belum diurus. Padahal mereka memahami bahwa mengurus jenazah tersebut hukumnya wajib dan harus disegerakan, tetapi mereka menangguhkannya dan sebaliknya mereka menyegerakan pembahasan untuk mencari pengganti Nabi saw. Dalam kitab imam Syahrastani dinukil khutbahnya Abu Bakr, beliau mengatakan

 

وإن محمداً قد مضى بسبيله ولا بد لهذا الأمر من قائم يقوم به

 

“ingatlah, Muhammad sesungguhnya telah pergi (wafat), akan tetapi merupakan suatu keharusan bahwa perkara din ini harus ada orang yang menegakkannya.”

[1:168 نهاية الإقدام في علم الكلام، ]

 

Walhasil, dari segi hukum keberadaan khalifah berdasarkan nash baik dari al-Qur’an, al-hadits dan juga ijma’ sahabat yaitu merupakan suatu kewajiban. Layaknya kewajiban-kewajiban lainnya dalam din Islam yang akan memberi konsekuensi dosa dihadapan Allah SWT ketika umat mengabaikannya.

 

 

Khalifah Yang Satu Bagi Seluruh Umat Islam Adalah Keharusan

 

Rasulullah saw. pernah bersabda,

 

وَحَدَّثَنِى وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ الْوَاسِطِىُّ حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْجُرَيْرِىِّ عَنْ أَبِى نَضْرَةَ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا ».

 

“jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” [Hr. Imam Muslim, Shahih Muslim, 12:296 no.4905]

 

Ibn Hazm dalam kitabnya mengungkapkan

 

وَلا يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ فِي الدُّنْيَا إلا إمَامٌ وَاحِدٌ، وَالأَمْرُ لِلأَوَّلِ بَيْعَةٌ

“dan tidak boleh ada di dunia kecuali satu Imam, yang mendapatkan bai’at pertama dengan sah”

[17:293 المحلي بالاثار لابن حزم، ]

 

Adapun imam an-Nawawi mengutarakan pendapatnya,

 

إذا بويع لخليفة بعد خليفة فبيعة الأول صحيحة يجب الوفاء بها وبيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا للثاني عالمين بعقد الأول جاهلين وسواء كانا في بلدين أو بلد أو أحدهما في بلد الإمام المنفصل

 

“ketika dibai’at Khalifah sesudah Khalifah yang lain, maka bai’at awal yang sah dan wajib merealisasikan pemerintahan, adapun bai’at yang kedua haram atasnya. Sama saja apakah yang terikat pada yang kedua merupakan orang-orang yang ‘alim dan yang terikat dengan yang pertama orang-orang yang jahil; sama saja apakah negeri Islam yang luas atau sempit atau salah satu di berada di tempat yang terpisah. (kesemuanya tidak diizinkan ketika adanya dua bai’at dalam satu waktu)”

[12:231 شرح النووي على صحيح مسلم، ]

 

 

Dengan demikian dapat kita pahami bahwa hanya boleh ada satu Khalifah dalam satu waktu. Tidak dibenarkan dalam Islam dua khalifah dalam satu waktu. Kondisi kaum muslimin tidak mempengaruhi ini, karena Allah SWT. yang telah menetapkan hukumnya. Sementara kondisi ataupun akal tidaklah dapat menentukan halal atau haram, melainkan dalil syara’ yang dapat menunjukkan hal itu.

 

Dari pembahasan Islam Dan Daulah kita memahami bahwa khalifah ialah siklus kepemimpinan yang dikehendaki oleh Allah SWT. untuk menegakkan hukum-hukum dan menerapkan ketetapan-ketetapan yang semata-mata berasal dari-Nya. Bahwa adanya khalifah merupakan kewajiban dan dia diangkat dengan bai’at setelah dirinya memenuhi syarat-syarat yang telah digariskan dalam Islam. Khalifah sendiri satu bagi seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bi ash-Shawab

 

 

Penutup

 

Allah SWT. berfirman

 

وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54) وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (55) أَنْ تَقُولَ نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ (56)

 

“Dan kembalikan kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong. Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu (al-Qur’an) dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu secara mendadak, sedang kamu tidak menyadarinya. Agar jangan ada orang yang mengatakan,’Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memperolok – olok (agama Allah)’” [Qs. az-Zumar 39: 54-56]

 

 

 

Sesungguhnya, umat ini telah kehilangan ibunya. Ibu yang dengannya umat ini dijaga, yaitu Daulah Khilafah Islam. Telah lama Barat bersekutu menghancurkan dan membunuh ibu kita, lebih kurang 84 tahun yang lalu. Keberadaannya merupakan kewajiban, sungguh ini adalah kesempatan bagi kita umat Islam untuk menjadi generasi yang Allah mencintainya dan mereka mencintai Allah. Generasi yang kembali bangkit untuk menunaikan kewajiban yang telah Allah terangkan, kemudian mereka mengembang dakwah untuk membangun pemahaman umat agar berakarkan aqidah Islam, akar yang kokoh sehingga dapat menghantarkan pada prilaku yang shahih.

 

Semoga kita tidak termasuk golongan yang termasuk orang-orang yang memperolok – olok agama Allah. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-Nya yang mendapat penjagaan dari-Nya, amin

 

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages