Oleh Hafid Muhammad
Pendahuluan
Dalam kehidupan umat
Islam aktivitas untuk saling mengingatkan merupakan aktivitas yang mulia di
sisi Allah SWT. Aktivitas ini dapat menghantarkan pada kekokohan pemahaman umat
akan Islam dimana memudarnya kegiatan ini dapat menghantarkan pada rusaknya pemahaman
umat. Telah menjadi bukti bahwa beberapa generasi dari umat ini telah mengalami
kerapuhan pemahaman Islam. Dalam kitab imam ibn Jauzi diungkapkan,
قال عمر بن المهاجر: قال لي عمر بن عبد العزيز: إذ
رأيتني قد حدت عن الحق فخذ بثيابي وهزني، وقل: ما لك يا عمر ؟. وقال عمر بن الخطاب
رضي الله عنه: رحم الله من أهدى إلينا عيوبنا.
Kita berharap termasuk
ke dalam golongan yang mendapatkan kedudukan tinggi seperti halnya sahabat
Rasulullah saw., dalam rangka meneladani Nabi dan Rasul terakhir. Oleh karena
itu, kita tidak akan melontarkan amarah kebencian terhadap sesama yang berusaha
mengingatkan akan kekurangan yang selama ini ada pada diri kita.
Kekurangan (aib)
terbesar yang ada pada umat ini ialah tidak lagi hidup dalam naungan Islam.
Bukankah umat ini telah menyatakan bahwa mereka mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT. berfirman,
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ
Tidak ada cinta jika
tidak mentaati apa yang menjadi keinginan dari yang dicintainya, seperti yang
diungkapkan imam ibn Jauzi,
محبته طاعته... ومحبة العلم والعمل ترى الصور
المعنوية فتحبها.
Secara umum, umat ini
tidak lagi memiliki pemahaman yang shahih sehingga kecintaan kepada Allah dan
Rasul-Nya tak lagi tampak dalam amalan, atau tampak pudar dalam amalan
dikarenakan telah ternodai oleh ‘bintik-bintik hitam’ yang menghantarkan pada
kecacatan amal. Semoga tulisan sederhana ini dapat membuat kita semua semakin menyadari
bahwa kita memiliki aib yang besar, sehingga apalah artinya pengakuan cinta
kepada-Nya namun disaat yang bersamaan kita merasa bahagia dengan aib ini,
dikarenakan perasaan bahwa hidup selama ini berada dalam kebaikan. Abu Ali
ar-Rudzabari berkata,
من الاغترار أن تسيء، فيحسن إليك، فتترك التوبة،
توهماً أنك تسامح في العقوبات
Semoga kita senantiasa
dalam bimbingan dan penjagaan-Nya, agar termasuk ke dalam golongan yang tidak
memperolok-olok urusan yang termasuk dalam bagian din Islam. Yang benar datang
dari Allah dan kesalahan yang ada datang dari penulis, seorang hamba Allah yang
banyak kekurangan.
Nilai – Nilai
Prinsip Islam
Ada dua hal yang
menjadi prinsip dalam Islam yaitu: (1) Islam merupakan petunjuk dalam
kehidupan; (2) Islam harus diterapkan secara menyeluruh. Pembahasan prinsip
pertama adalah berkaitan dengan aqidah Islam yang memancarkan solusi atas
seluruh problematika kehidupan manusia, solusi ini merupakan solusi yang shahih
karena tumbuh dari akar yang kokoh dan benar yaitu aqidah Islam. Adapun
pembahasan pada prinsip kedua ialah berkisar keharusan menggunakan solusi yang
terpancar dari aqidah Islam, baik itu solusi dalam masalah hubungan manusia
dengan Penciptanya, manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan sesama.
Prinsip pertama, Islam
merupakan petunjuk kehidupan. Pendekatan secara normatif membawa kita pada
bukti kebenaran prinsip ini, dimana Allah SWT. berfirman,
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
Dalam hal ini, Imam
ath-Thabari dalam kitabnya mengungkapkan,
وقوله( وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا
لِكُلِّ شَيْءٍ ) يقول: نزل عليك يا محمد هذا القرآن بيانا لكلّ ما بالناس إليه
الحاجة من معرفة الحلال والحرام والثواب والعقاب(وَهُدًى) من الضلال(وَرَحْمَةً)
لمن صدّق به، وعمل بما فيه من حدود الله ، وأمره ونهيه، فأحل حلاله ، وحرّم حرامه
[جامع البيان في تأويل القرآن، 17/278]
( تِبْيَانًا ) بياناً
بليغاً
“terang
lagi fasih” [الكشاف، 3/390]
Ada baiknya kita
menyaksikan apa yang diungkapkan sahabat Rasulullah saw., yaitu ibn Mas’ud
seperti yang dikutip oleh ibn ‘Athiyah
قال ابن مسعود : أنزل في هذا القرآن كل علم ، وكل
شيء قد بين لنا في القرآن
[المحرر الوجيز، 4/192]
Oleh karena itu,
dimensi kehidupan manusia yang terdiri dari dimensi hubungannya dengan
Pencipta, hubungannya dengan diri sendiri dan hubungannya dengan sesama tidak
dapat diserahkan kepada manusia sebagai pembuat aturan. Sehingga ada dua
kesimpulan yang kita dapatkan: pertama, dibutuhkan aturan yang datang dari
sesuatu dengan karakteristik sempurna, tidak memiliki keterbatasan dan tidak
bergantung kepada pihak lain, tentu saja yang memenuhi kriteria ini adalah
Allah SWT. Telah nyata kepada kita bahwa Dia menurunkan ad-diin al-Islam, yang
sebelumnya telah kita pahami bahwa aturannya melingkupi segala sesuatu; kedua,
aturan ini tidaklah dapat dibagi atau dikompromikan dengan maksud sebagian
diatur dengan aturan Islam dan sebagian lagi diatur dengan aturan dari manusia,
hal ini mengindikasikan bahwa (a) jika demikan berarti kita menganggap bahwa
Allah SWT. tidak sempurna dalam menurunkan pedoman hidup kepada manusia, tentu
hal ini bertentangan dengan fakta. (b) jika demikian berarti pula bahwa manusia
sanggup menghasilkan aturan yang benar berdasarkan akalnya, hal ini tentu
bertentangan dengan fitrah manusia.
Adapun pembuktian
secara normatif adalah sebagai berikut, Allah SWT. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ
عَدُوٌّ مُبِينٌ
Imam ath-Thabari
mengungkapkan,
فالآية عامة لكل من شمله اسم"الإيمان"،
فلا وجه لخصوص بعض بها دون بعض.
[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257]
Berkaitan dengan
firman Allah SWT., ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً
bermakna masuk ke dalam Islam secara menyeluruh dan mengamalkannya. Makna ini
senada dengan yang disampaikan oleh Mujahid seperti yang dikutip oleh Imam
ath-Thabari,
حدثني محمد بن عمرو، قال: حدثنا أبو عاصم، عن
عيسى، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد في قول الله عز وجل:" ادخلوا في السلم
كافة"، قال: ادخلوا في الإسلام كافة، ادخلوا في الأعمال كافة.
[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257]
Makna kata كَافَّةً ialah جميعًا (menyeluruh), hal ini berdasarkan riwayat
dari Qatadah
حدثنا الحسن بن يحيى، قال: أخبرنا عبد الرزاق،
قال: أخبرنا معمر، عن قتادة قوله:" في السلم كافة" قال: جميعًا.
Selanjutnya juga ibn
‘Abbas mengungkapkan,
حدثنا القاسم، قال: حدثنا الحسين، قال: حدثني
حجاج، قال: قال ابن جريج، قال ابن عباس:" كافة"، : جميعًا.
[جامع البيان في تأويل القرآن، 4/257 ]
ادخلوا في جميع شرائع الإسلام اعتقاداً وعملاً
[مفاتيح الغيب، 3/224]
Dari pembuktian kedua nilai prinsip dalam Islam, sampailah pada kesimpulan bahwa setiap dimensi hubungan dalam kehidupan manusia berada dalam cakupan aturan Islam dan harus diterapkan secara keseluruhannya. Baik dalam hubungan antara manusia dengan Pencipta, antara manusia dengan diri sendiri dan manusia dengan sesamanya.
Islam Dan Daulah
Dua nilai prinsip
Islam yang telah disebutkan di atas dijaga oleh Daulah, yang merupakan Daulah
Islam. Keberadaan Daulah Islam sebagai suatu kemestian dapat dilihat dari dua
aspek, yaitu (a) aspek rasional-fakta manusia; (b) aspek normatif.
Aspek rasional-fakta
manusia, pada diri manusia terdapat suatu gharizatun baqa’ yang dapat mendorong
seseorang untuk cinta pada kekuasaan, dan berusaha menguasai sesuatu. Kondisi
ini pada suatu keadaan tertentu dapat menghantarkan terciptanya konflik di
tengah-tengah manusia, salah satu keadaan yang dapat menghantarkan kekacauan
tersebut ialah diserahkannya penerapan dan penjagaan dari pelaksanaan aturan di
tengah masyarakat kepada suatu individu atau beberapa individu tanpa adanya institusi
yang sah. Dengan demikian, setiap individu dapat bersaing dengan berbagai cara
agar menjadi pihak yang berkuasa untuk memberikan sanksi atas setiap
pelanggaran dari pelaksanaan hukum di dalam masyarakat.
Sebelum kita melihat
adanya penjelasan nash mengenai hal ini, lebih dahulu kita pahami dua nilai
prinsip Islam sebelumnya telah mengindikasikan bahwa nilai pertama yaitu Islam
merupakan petunjuk kehidupan mengandung makna bahwa Islam juga menjelaskan bagaimana
agar keseluruhan pedoman hidup yang terkandung didalamnya dapat diterapkan,
jika tidak demikian maka terdapat paradoks dalam ajaran Islam. Hal ini tentu
tidak mungkin, karena Islam secara pasti dan meyakinkan datang dari Yang Maha
Sempurna, yaitu Allah SWT.
Kewajiban Adanya
Pemimpin Yang Menerapkan Aturan Allah
Allah SWT. berfirman,
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً...
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,’Aku hendak menjadikan
Khalifah di bumi’...” [QS. al-Baqarah 2:30]
Pembahasan pertama:
Khalifah Dari Segi Keberadaannya
Kata khalifah berasal
dari kata khalif (wazan fa’il), Ibn al-‘Anbary mengatakan seperti yang dinukil
oleh Imam ibn Jauzi,
والأصل في الخليفة خليف
“Asal
dari kata al-Khalifah adalah Khalif”
[1:41 زاد المسير،]
Adapun tambahan
al-Haa’ berfungsi sebagai li al-mubalaghah (untuk melebihkan), seperti yang
diungkapkan oleh Abu Hayan al-Andalusi,
والهاء للمبالغة
“dan
al-Haa’ berfungsi untuk mubalaghah”
[1:169 تفسير البحر المحيط، ]
Khalifah berarti pihak
yang menggantikan pihak lainnya, menempati kedudukannya dan mewakili urusannya.
Imam al-Mawardi mengungkapkan,
الخليفة : فهو القائم مقام غيره
“pengganti
yang menggantikan pihak selainnya (sebelumnya).”
[1:31 النكت والعيون، ]
Hal yang senada juga
diungkapkan imam ibn Jauzi,
هو القائم مقام غيره ، يقال : هذا خلف فلان
وخليفته
“ialah
pengganti yang menggantikan pihak selainnya. Dikatakan ini adalah pengganti
fulan dan dia menggantikannya”
[1:41 زاد المسير، ]
Secara bahasa, para
mufasirin sepakat bahwa khalifah pada ayat tersebut ialah Adam as., seperti
yang diungkapkan oleh Imam al-Baghawi,
والمراد بالخليفة هاهنا آدم
“dan
yang dimaksud dengan Khalifah di sini adalah Adam.”
[
1:79 معالم التنزيل، ]
Khalifah yang
dimaksudkan disini, ditinjau dari segi keberadaannya bukanlah sebagai sebuah
siklus kehidupan yaitu suatu generasi yang menggantikan generasi lainnya.
Memang benar ini tidak bertentangan dengan fakta, namun pendapat ini kurang
tepat jika kita melihat bahwa kelanjutan ayat 30 surat al-Baqarah yang
mengindikasikan bahwa malaikat menghendaki khalifah itu ialah dari kalangan ahl
al-thaa’ah. Dengan demikian, dari segi keberadaannya, khalifah merupakan siklus
kepemimpinan yang dikehendaki Allah SWT untuk menegakkan hukum-Nya dan
menerapkan ketetapan-Nya. Ungkapan ini senada dengan Imam al-Baghawi, beliau
mengungkapkan
الصحيح أنه خليفة الله في أرضه لإقامة أحكامه
وتنفيذ وصاياه
“dan
pendapat yang shahih bahwasannya khalifah itu ialah khalifah bagi Allah di
bumi-Nya untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya”
[1:79 معالم التنزيل، ]
Begitu juga dengan
pendapat imam Hasan al-Bashri seperti yang dinukil oleh Imam Mawardi,
الذين يخلفون أباهم آدم في إقامة الحق وعمارة
الأرض
[1:31 النكت والعيون، ]
Selanjutnya ibn Mas’ud
mengungkapkan seperti yang dinukil oleh ats-Tsa’labiy
قال ابن مسعود : إنما معناه : خليفةٌ مني في
الحُكْمِ
.
“berkata
ibn Mas’ud: sesungguhnya makna Khalifah: Khalifah dalam penegakan hukum”
[1:17 الجواهر الحسان في تفسير القرآن،]
Keberadaan khalifah
secara mutlak adalah untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT., dalam firman-Nya
terungkap keharusan ini,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا
اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Yang dimaksud dengan
ulil amri pada ayat tersebut ialah umara’ atau khulafa’, ibn ‘Athiyah
mengungkapkan
وطاعة الأمراء على قول الجمهور : أبي هريرة وابن
عباس وابن زيد وغيرهم
“dan
mentaati umara’ (penguasa) seperti perkataan jumhur ulama yakni Abu Hurairah,
ibn ‘Abbas, ibn Zaid dan yang lainnya.”
[2:145 المحرر الوجيز، ]
Keberadaan umara’ atau
khulafa’ untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT. tampak jelas dalam ayat ini,
Imam ibn Qayyim mengungkapkan:
وأحسن تأويلا فأمر تعالى بطاعته وطاعة رسوله وأعاد
الفعل إعلاما بأن طاعة الرسول تجب استقلالا من غير عرض ما أمر به على الكتاب بل
إذا أمر وجبت طاعته مطلقا سواء كان ما أمر به في الكتاب أو لم يكن فيه فإنه أوتي
الكتاب ومثله معه ولم يأمر بطاعة أولي الأمر استقلالا بل حذف الفعل وجعل طاعتهم في
ضمن طاعة الرسول إيذانا بأنهم إنما يطاعون تبعا لطاعة الرسول فمن أمر منهم بطاعة
الرسول وجبت طاعته ومن أمر بخلاف ما جاء به الرسول فلا سمع له ولا طاعة
“Allah
SWT. memerintahkan taat kepada-Nya dan mentaati rasul-Nya. Dia mengulang kata
kerjanya yaitu أَطِيعُوا , untuk menunjukkan bahwa taat kepada
Rasul wajib secara mandiri tanpa harus dipaparkan dengan perintah taat kepada
al-Qur’an. Bahkan bila Rasul saw. memerintahkan sesuatu, maka harus ditaati
secara mutlak baik perintahnya itu ada di dalam al-Qur’an ataupun tidak. Karena
beliau diberi al-Kitab dan yang semisal bersamanya. Namun Allah tidak
memerintahkan taat kepada ulil amri secara mandiri, justru dengan membuang kata
kerjanya dan menjadikan perintah taat kepada mereka dalam cakupan perintah taat
kepada Rasul saw. hal ini menunjukkan bahwa mereka ditaati karena konsekuensi
taat kepada Rasul. Karena siapa di antara mereka yang memerintahkan taat kepada
Rasul, maka harus ditaati. Sebaliknya siapa di antara mereka yang memerintahkan
menyelisihi apa-apa yang dibawa Rasul saw., maka tidak perlu didengan dan tidak
pula ditaati.”
[1:48 إعلام الموقعين عن رب العالمين، ]
حدثني محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة
عن فرات القزاز قال سمعت أبا حازم قال : قاعدت أبا هريرة خمس سنين فسمعته يحدث عن
النبي صلى الله عليه و سلم قال ( كانت بنو إسرائيل تسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي
خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وسيكون خلفاء فيكثرون )
“Dulu
Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para nabi. Setiap
nabi meninggal, nabi lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi
sesudahku. Akan tetapi, nanti akan ada banyak khalifah.” [Hr. Bukhari, Shahih
Bukhari, 3:1273 no.3268]
Pembahasan kedua:
Khalifah Dari Segi Hukum Keberadaannya
Keberadaan Khalifah
ditinjau dari segi hukum ialah suatu keharusan, dengan kata lain adalah suatu
kewajiban. Hal ini telah nyata dan terang dalam pembahasan para imam ahl
al-haq, pendapat yang mereka sampaikan merupakan istinbath hukum dari
dalil-dalil syara’. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
Allah SWT., berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي
جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ... - 30
“Dan
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat,’Aku hendak menjadikan
Khalifah di bumi’...” [QS. al-Baqarah 2:30]
Imam Umar bin Ali bin
Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan sebutan ibn Adil
mengungkapkan,
هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له
ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب ذلك
بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه
“ayat
ini adalah dalil wajibnya mengangkat Imam dan khalifah untuk didengar dan
dita'ati, untuk menyatukan pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum
tentang khalifah. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara
para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti
dia…”
[1:204 تفسير اللباب، ]
Imam Qurthubi
mengungkapkan,
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع،
لتجتمع به الكلمة، وتنفذ به أحكام الخليفة.
Para
shahabat telah sepakat untuk mendahulukan Ash-siddiq setelah terjadi perbedaan
dalam penunjukan (siapa yang menjadi imam) antara kaum Muhajirin dan Anshar di
Saqifah bani Sa'adah. Bahkan shahabat Anshar berkata: untuk kami pemimpin dan
untuk anda sekalian pemimpin. Abu Bakar, Umar dan kaum Muhajirin menolak hal
tersebut. Mereka berkata pada kaum Anshar: "bahwa sesungguhnya orang Arab
itu tidak beragama kecuali urusan ini ditangan orang Quraisy, lalu kaum
Muhajirin meriwayatkan pada kaum Anshar khabar tentang hal itu. Maka kaum
Ansharpun menarik pendapatnya dan ta'at pada golongan Quraisy. Maka kalau
seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib baik untuk golongan Quraisy
maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi diskusi dan perdebatan tentang Imamah.
Maka sungguh orang akan berkata: bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu
yang diwajibkan baik untuk golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa
kalian semua berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal
yang tidak wajib. Sementara itu sungguh Ash-shiddiq ra ketika hampir meninggal
maka dia mengangkat Umar untuk imamah, dan tidak seorangpun yang berkata pada
Ash-shiddiq bahwa hal ini tidaklah wajib atas kita dan anda. Ini menunjukkan
atas wajibnya imamah dan bahwa imamah tersebut adalah salah satu pilar agama
yang dengan pilar tersebut terjaga kekuatan kaum Muslim. Walhamdulillahi rabbil
alamin”
[
1:264-265 تفسير القرطبي، ]
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
حَكِيمٌ
“adapun
orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya
(sebagai) balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan sebagai siksaan dari
Allah. Dan Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.” [Qs. al-Ma’idah 5: 38]
Imam ar-Razi
mengungkapkan dalam kitabnya,
احتج المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة
أن ينصبوا لأنفسهم إماماً معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة
الحد على السراق والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت
الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا
يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف تكليفاً
جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ، وما لا يتأتى
الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم القطع بوجوب نصب الإمام
حينئذٍ .
[6:57 مفاتيح الغيب، ]
Selain di dalam
al-Qur’an, kita juga mendapati keterangan mengenai kewajiban adanya Khalifah di
dalam hadits. Rasulullah saw. bersabda,
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ
الْعَنْبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبِى حَدَّثَنَا عَاصِمٌ - وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدِ
بْنِ زَيْدٍ - عَنْ زَيْدِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ
الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لأَبِى
عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّى لَمْ آتِكَ لأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ
لأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُهُ
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ
طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ
وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ».
[Hr.
Imam Muslim, Shahih Muslim, 12:288 no.4899]
Dari hadits ini dapat mengandung
keterangan, bahwa frasa لَيْسَ
فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ
bisa diartikan لَيْسَ عليه إمام (tidak ada Imam / Khalifah), ketiadaan
imam merupakan kondisi yang diharamkan, hal ini ditunjukkan dengan adanya
qarinah (indikasi) yaitu dengan frasa مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً ; qarinah disini merupakan qarinah yang tegas sehingga
menunjukkan wajibnya ada bai’at di pundak setiap muslim. Jadi sangat jelas,
bahwa wajib adanya bai’at kepada khalifah dipundak kaum muslim, bukan wajibnya
kaum muslimin membai’at. Rasulullah saw. juga pernah bersabda,
حدثني محمد بن بشار حدثنا محمد بن جعفر حدثنا شعبة
عن فرات القزاز قال سمعت أبا حازم قال
Hadits ini
mengindikasikan وجوب الوفاء ببيعة
الخلفاء الأول فالأول:
(kewajiban merealisasikan bai’ah kepada Khalifah yang pertama dan pertama).
Adapun maksud dari frasa فوا
ببيعة الأول فالأول
ialah
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa dalam satu waktu wajib adanya khalifah, dan khalifah ini
diangkat dengan bai’at dan baginya pemerintahan yang sah, setelah tampak
padanya ketidakmampuan menunaikan kewajiban sebagai khalifah maka dibai’at lagi
pengganti setelahnya.
Setelah kita
mengetahui dari al-Qur’an dan al-hadits disertai dengan pendapat ulama ahl
al-haq mengenai kewajiban adanya khalifah, akan kita temui juga dalam ijma’
sahabat. Kita ketahui bahwa para sahabat telah melakukan kesepakatan untuk
membai’at khalifah (pengganti) Rasulullah saw. di tsaqifah Bani Sa’adah saat
Rasulullah saw. wafat dan jenazahnya belum diurus. Padahal mereka memahami
bahwa mengurus jenazah tersebut hukumnya wajib dan harus disegerakan, tetapi
mereka menangguhkannya dan sebaliknya mereka menyegerakan pembahasan untuk
mencari pengganti Nabi saw. Dalam kitab imam Syahrastani dinukil khutbahnya Abu
Bakr, beliau mengatakan
وإن محمداً قد مضى بسبيله ولا بد لهذا الأمر من
قائم يقوم به
[1:168 نهاية الإقدام في علم الكلام، ]
Walhasil, dari segi
hukum keberadaan khalifah berdasarkan nash baik dari al-Qur’an, al-hadits dan
juga ijma’ sahabat yaitu merupakan suatu kewajiban. Layaknya
kewajiban-kewajiban lainnya dalam din Islam yang akan memberi konsekuensi dosa
dihadapan Allah SWT ketika umat mengabaikannya.
Khalifah Yang Satu
Bagi Seluruh Umat Islam Adalah Keharusan
Rasulullah saw. pernah
bersabda,
وَحَدَّثَنِى وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ الْوَاسِطِىُّ
حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنِ الْجُرَيْرِىِّ عَنْ أَبِى نَضْرَةَ
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- « إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا ».
Ibn Hazm dalam
kitabnya mengungkapkan
وَلا يَحِلُّ أَنْ يَكُونَ فِي الدُّنْيَا إلا
إمَامٌ وَاحِدٌ، وَالأَمْرُ لِلأَوَّلِ بَيْعَةٌ
“dan
tidak boleh ada di dunia kecuali satu Imam, yang mendapatkan bai’at pertama
dengan sah”
[17:293 المحلي بالاثار لابن حزم، ]
Adapun imam an-Nawawi
mengutarakan pendapatnya,
إذا بويع لخليفة بعد خليفة فبيعة الأول صحيحة يجب
الوفاء بها وبيعة الثاني باطلة يحرم الوفاء بها ويحرم عليه طلبها وسواء عقدوا
للثاني عالمين بعقد الأول جاهلين وسواء كانا في بلدين أو بلد أو أحدهما في بلد
الإمام المنفصل
[12:231 شرح النووي على صحيح مسلم، ]
Dari pembahasan Islam
Dan Daulah kita memahami bahwa khalifah ialah siklus kepemimpinan yang
dikehendaki oleh Allah SWT. untuk menegakkan hukum-hukum dan menerapkan
ketetapan-ketetapan yang semata-mata berasal dari-Nya. Bahwa adanya khalifah
merupakan kewajiban dan dia diangkat dengan bai’at setelah dirinya memenuhi
syarat-syarat yang telah digariskan dalam Islam. Khalifah sendiri satu bagi
seluruh kaum muslimin. Wallahu a’lam bi ash-Shawab
Penutup
Allah SWT. berfirman
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ (54)
وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ
يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ (55) أَنْ تَقُولَ
نَفْسٌ يَا حَسْرَتَا عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ
لَمِنَ السَّاخِرِينَ (56)
Semoga kita tidak
termasuk golongan yang termasuk orang-orang yang memperolok – olok agama Allah.
Mudah-mudahan kita termasuk hamba-Nya yang mendapat penjagaan dari-Nya, amin
Wallahu a’lam bi
ash-shawab.