Oleh Hafid Muhammad
Perubahan besar telah terjadi dalam bentangan sejarah dunia, tatkala pilar-pilar Islam telah tegak, kuku-kukunya tertancap kuat dan negara Islam kali pertama telah berdiri. Negara yang menerapkan aturan Islam untuk mengatur seluruh aspek legal kehidupannya, negara yang darinya lahir ulama-ulama hanif lagi memiliki wawasan keilmuan yang tinggi, yang mampu menerangi dunia tatkala kegelapan melanda. Lahir generasi-generasi yang demikian tidak dapat lepas dari sistem pendidikan yang diterapkan yaitu sistem pendidikan Islam. Keunggulan sistem pendidikan Islam ini tampak pada beberapa faktor berikut:
Pertama, asas pendidikannya ialah Islam. Segala aktivitas yang ada dalam dunia pendidikan didasari atas sudut pandang Islam, artinya menghukumi fakta yang ada berdasarkan sumber hukum Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah serta dalil-dalil syara’ yang ditunjukkan oleh keduanya. Dengan keshahihan dan keagungan asas Islam yang menjadi landasan bagi pendidikan telah mampu mendorong umat muslim dan orang-orang yang hidup dalam Daulah Islam untuk menuntut ilmu, karena menuntut ilmu merupakan bagian yang diperintahkan dalam Islam sehingga paradigmanya ialah bukan karena dorongan untuk memperoleh materi yang banyak setelah mendapatkan gelar akademik, atau untuk mendapatkan kedudukan/jabatan yang tinggi di tengah masyarakat, dan mashlahat-mashlahat lainnya tapi karena menuntut ilmu merupakan bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Perintah mengenai hal ini telah terungkap dalam riwayat-riwayat berikut ini
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا يحيى بن حماد قال ثنا شعبة بن الحجاج عن جراد رجل من بني تميم عن رجاء بن حيوة عن معاوية بن أبي سفيان عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : من يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“...siapa yang Allah kehendaki baik, maka Allah akan memahamkannya tentang ad-din.” [Hr. Ahmad, Musnad Ahmad, 4: 96]
Dalam hadits lain, Rasulullah telah bersabda
حدثنا هشام بن عمار . حدثنا حفص بن سليمان . حدثنا كثير بن شنظير عن محمد بن سيرين عن أنس بن مالك قال : - قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : طلب العلم فريضة على كل مسلم
“...menuntut ilmu diwajibkan atas setiap muslim.” [Hr. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, 1:81]
Selain itu, Islam juga mendorong manusia untuk mengkaji realita dan ilmu-ilmu lain yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam, sebagaimana yang dapat dipahami dari ayat berikut
وَإِنَّ لَكُمْ فِي الْأَنْعَامِ لَعِبْرَةً نُسْقِيكُمْ مِمَّا فِي بُطُونِهِ مِنْ بَيْنِ فَرْثٍ وَدَمٍ لَبَنًا خَالِصًا سَائِغًا لِلشَّارِبِينَ
“Dan sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang bersih antara tahi dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya.” [Qs. An-Nahl : 66]
Dan juga dalam riwayat berikut
إني أكتب إلى قوم فأخاف أن يزيدوا علي أو ينقصوا فتعلم السريانية فتعلمتها في سبعة عشر يوما
“aku menulis (surat) kepada suatu kaum. Aku khawatir mereka menambahkan atas (tulisanku) atau menguranginya. Maka belajarlah bahasa Suryani. Zaid berkata: kemudian saya mempelajarinya selama tujuh belas hari.” [ibn ‘Asakir, Tarikh Damsyiq, 19:303]
Kedua, negara menjalankan sistem pendidikan Islam dengan maksimal baik dalam penyediaan pendidikan gratis, penyusunan kurikulum (bahan ajar dan metode pengajaran), penyediaan sarana dan prasarana serta pendidikan yang menjangkau seluruh kalangan sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengikuti/mendapatkan pendidikan. Dalam islam, negara memang berkewajiban menjalankan pengurusan atas rakyatnya dengan maksimal karena merupakan perintah Allah ta’ala, Imam Muhammad ibn Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn Bardizbah al-Bukhari (w. 256 H) meriwayatkan sabda Rasulullah melalui beberapa jalur sanad dan salah satu sanadnya sebagai berikut:
حدثنا أبو اليمان أخبرنا شعيب عن الزهري قال أخبرني سالم بن عبد الله عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما : أنه سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول: .... فالإمام راع وهو مسؤول عن رعيته...
“...Imam (Khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya...” [Hr. Bukhari, Shahih Bukhari, 2:848]
Pendidikan gratis bisa diwujudkan dengan sumber dana yang diperoleh dari hasil-hasil kekayaan milik rakyat, Rasulullah pernah bersabda,
2472 - حدثنا عبد الله بن سعيد . ثنا عبد الله بن خراش بن حوشب الشيباني عن العوام بن حوشب عن مجاهد عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلأ و النار
"...kaum muslimin bersekutu dalam tiga hal yaitu air, hutan dan energi." [Hr. Ibn Majah, Sunan ibn Majah, 2: 826]
Dengan demikian khalifah bertugas mengatur pengelolaan sumber daya alam tersebut dan mendistribusikannya kepada rakyat, termasuk untuk pendidikan gratis. Penyusunan kurikulum oleh Daulah Islam bertujuan untuk membangun Syakhshiyyah Islamiyyah, dan merupakan kurikulum yang berkesinambungan. Dan anak usia dini sudah diperkenalkan al-Qur’an, sebagaimana yang terdapat dalam penjelasan al-Hafizh Abu ‘l-Fida’ Ismail ibn Katsir al-Qurasyi (w. 774 H) pada salah satu kitabnya, sebagai berikut:
حدثنا موسى بن إسماعيل ثنا أبو عوانة عن أبى بشر عن سعيد بن جبير قال : إن الذى تدعونه المفصل هو المحكم قال : وقال ابن عباس : توفى رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا ابن عشر سنين وقد قرأت المحكم حدثنا يعقوب بن إبراهيم ثنا هشيم أنا أبو بشر عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال [ جمعت المحكم فى عهد النبى صلى الله عليه و سلم فقلت له : وما المحكم ؟ قال المفصل ]... وعلى كل تقدير ففيه دلالة على جواز تعليم القرآن فى الصبا وهو ظاهر بل قد يكون مستحبا أو واجبا لأن الصبى إذا تعلم القرآن بلغ وهويعرف ما يصلى به وحفظه فى الصغر أولى من حفظه كبيرا وأشد علوقا بخاطره وأرسخ وأثبت كما هو المعهود من حال الناس وقد استحب بعض السلف أن يترك الصبى فى ابتداء عمره قليلا للعب ثم توفر همته على القراءة لئلا يلزم أولا بالقراءة فيملها ويعدل عنها إلى اللعب وكره بعضهم تعليمه القرآن وهو لايعقل ما يقال له ولكن يترك حتى إذا عقل وميزعلم قليلا بحسب همته ونهمته وحفظه وجودة ذهنه واستحب عمر بن الخطاب رضى الله عنه أن يلقن خمس
“... ibn ‘abbas telah berkata: Rasulullah wafat, sedang usia saya menginjak 10 tahun dan telah mempelajari ayat-ayat muhkam. Ibn ‘Abbas juga telah mengatakan kepada Sa’id ibn Jubair: aku telah menghimpun semua ayat-ayat muhkam pada masa Rasulullah . Sa’id bertanya: apakah ayat-ayat muhkam itu? Beliau menjawab: surat-surat yang mufashshal... dengan interpretasi apapun makna hadits menunjukkan kebolehan mengajari anak-anak untuk membaca al-Qur’an meskipun dalam usia dini, bahkan adakalanya mustahab atau diwajibkan. Hal itu karena sesungguhnya seorang anak apabila telah belajar al-Qur’an sejak kecil, maka saat menginjak usia baligh dia mengetahui apa yang harus dibaca dalam shalatnya. Menghafal al-Qur’an pada masa kecil lebih utama daripada menghafalnya setelah besar. Belajar pada masa kecil lebih melekat dalam ingatan, lebih mantap, dan lebih kokoh dalam hafalan sebagaimana yang telah dimaklumi oleh semua orang. Sesungguhnya sebagian ulama salaf ada yang berpendapat hendaknya anak diberi kesempatan dalam usia dini untuk sedikit bermain, kemudian diarahkan untuk belajar, agar diusia dini tidak ditekankan untuk langsung belajar tanpa diberi kesempatan buat bermain, karena pada akhirnya anak akan bosan dan lebih menyukai bermain. Sebagian ulama lain ada yang menilai makruh mengajari anak baca al-Qur’an diusia dini karena tidak dapat memahami apa yang dibacanya. Akan tetapi, hendaknya dibiarkan sampai bisa berakal dan menginjak tamyiz, lalui diajarkan al-Qur’an secara bertahap sesuai semangat, respon, dan kemampuan hafalan dan kecerdasan akal. Umar ibn Khattab t menganjurkan agar anak diajari al-Qur’an sejak usia 5 tahun.” [Ibn Katsir, Fadha’il al-Qur’an, 1: 150]
Mengajarkan prinsip-prinsip aqidah kemudian diikuti dengan mengajarkan al-Qur’an dan as-Sunnah merupakan salah satu hal pokok dalam Islam agar anak-anak didik dibesarkan dalam nuansa fitrah hingga kelak mereka menilai segala sesuatu berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Inilah yang pernah menghiasi Daulah Islam di masa berdirinya, sebagaimana yang terungkap dalam tulisan Abdurrahman ibn Muhammad ibn Khaldun (w. 808 H) berikut
تعليم الولدان للقرآن شعار من شعائر الدين، أخذ به أهل الملة ودرجوا عليه في جميع أمصارهم، لما يسبق فيه إلى القلوب من رسوخ الإيمان وعقائده من آيات القرآن وبعض متون الأحاديث. وصار القرآن أصل التعليم الذي ينبني عليه ما يحصل بعده من الملكات
“mengajarkan al-Qur’an kepada anak-anak merupakan salah satu di antara syi’ar Islam yang dilakukan oleh semua pemeluknya dan telah dibudayakan di semua kota-kota besar. Hal ini karena perlunya kalbu anak-anak untuk lebih dahulu diisi dengan hal-hal yang memantapkan keimanan dan aqidahnya berkat ayat-ayat al-Qur’an dan teks-teks hadits yang dituangkan ke dalam kalbu mereka sejak usia dini, sehingga al-Qur’an menjadi pokok pengajaran yang dibina di atas landasannya semua pengembangan bakat yang bakal diraih di masa mendatang.” [ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun, 1: 346]
Adapun gambaran pelaksanaan kurikulumnya adalah sebagai berikut: pengajaran ilmu kehidupan dibedakan dengan pelajaran tsaqafah. Ilmu kehidupan diajarkan mengikuti kebutuhan, sementara tsaqafah Islam diajarkan pada tingkat tk, sekolah dasar, menengah dan perguruan tinggi dengan rancangan pendidikan yang tidak bertentangan dengan konsepsi dan hukum Islam. Di tingkat Perguruan Tinggi (PT), tsaqafah diajarkan secara utuh, baik tsaqafah Islam maupun yang bukan dengan syarat tidak bertentangan dengan tujuan dan kebijakan pendidikan. Di tingkat PT dibuka berbagai fakultas dengan berbagai cabang ilmu keislaman dan fakultas yang berkaitan dengan sains dan teknologi. Seni dan keterampilan dapat dikategorikan sebagai sains, seperti perniagaan, pelayaran, dan pertanian. Semuanya mubah dipelajari tanpa terikat dengan batasan atau syarat tertentu kecuali apa-apa yang dipengaruhi oleh tsaqofah asing juga sisi lain yang di dalamnya terdapat pengaruh dari pandangan hidup atau ideologi tertentu, seperti seni lukis, ukir, dan patung, atau pahat.
Dari segi penyediaan sarana dan prasarana, Daulah Islam senantiasa menyediakan, mengembangkan, memperlengkap sarana dan prasarana yang diperlukan agar terlaksananya proses pendidikan dengan maksimal sejalan dengan keridhaan Allah, berdasarkan catatan sejarah juga telah terungkap, Goldziher menulis artikel dalam Da’irah Ma’arif al-Adyan wa al-Akhlaq sebagaimana yang diungkapkan Dr. Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib (Guru Besar Fakultas Syari’ah Universitas Dimsyaq - Damaskus) sebagai berikut,
كتب جولد تسيهر مقالاً هاماً في دائرة معارف الأديان والأخلاق عن التعليم الأولي عند المسلمين،...وقد دعم رأيه بالأسانيد الآتية: ...مر (ابن عمر) و (أبو أسيد) في مناسبة ما بكتاب، فلفتا إليهم أنظار التلاميذ...
“Goldziher menulis artikel yang sangat penting di dalam ‘Da’irah Ma’arif al-Adyan wa al-Akhlaq’ tentang pendidikan dan pengajaran awal di kalangan kaum muslimin,...ia memperkuat pendapatnya itu dengan sanad-sanad berikut:...(ibn ‘Umar) dan (ibn Usaid) pada suatu ketika melewati sebuah lembaga pengajaran. Lalu murid-murid itu mengalihkan pandangan kepada keduanya. ” [Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, hlm 93-94, Dar al-Fikr : Lebanon]
Dalam hal ini, Imam Muhyi al-Din Abu Zakariyya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi (w. 676 H) menjelaskan bahwa hendaknya ruang belajar tersebut luas
وينبغي أن يكون مجلسه واسعا ليتمكن جلساؤه فيه ففي الحديث عن النبي صلى الله عليه وسلم :خير المجالس أوسعها رواه أبو داود في سنته في أوائل كتاب الآداب بإسناد صحيح من
“Hendaklah dia mempunyai majlis atau ruang kelas yang luas supaya murid-murid boleh duduk di situ. Dalam hadits dari Nabi r sabdanya: “Sebaik-baik majlis ialah yang paling luas.”(Abu Dawud dalam Sunannya) Hadits itu telah disebutkan di awal kitab Al-Adab dengan isnad sahih riwayat Abu Said Al-Khudri ra.” [an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, 1:44]
Wajar bila perkembangan pendidikan dalam Islam begitu pesat dan antusias warga negara untuk mendapatkan pendidikan begitu tinggi. Terdapat riwayat yang disampaikan oleh Imam Syamsyuddin ibn Jazari (w. 833 H),
قال سويد بن عبد العزيز كان أبو الدرداء رضي الله عنه إذا صلى الغداة في جامع دشق اجتمع الناس للقراءة عليه فكان يجعلهم عشرة عشرة وعلى كل عشرة عريفا ويقف هو في المحراب يرمقهم ببصره فإذا غلط أحدهم رجع إلى عريفهم فإذا غلط عريفهم رجع إلى أبي الدرداء فسأله عن ذلك
“...bahwa Abu Darda’ t bila shalat shubuh di Masjid Jami’ Damaskus, maka orang-orang berkumpul untuk membaca dihadapan beliau. Beliau menjadikan sepuluh orang untuk satu kelompoknya. Setiap sepuluh orang terdapat seorang pembimbing. Beliau sendiri duduk di mihrab mengamati mereka semua. Bila ada yang salah, maka ia akan merujuk kepada pembimbing. Dan bila pembimbing yang salah, maka ia akan merujuk kepada Abu Darda’ untuk menanyakan kesalahan itu.” [ibn Jazari, Ghayah an-Nihayah Fi Thabaqat al-Qurra’, 1:269]
Selanjutnya disebutkan,
عن مسلم بن مشكم قال قال لي أبو الدرداء أعدد من يقرأ عندي القرآن فعددتهم ألفا وستمائة ونيفا وكان لكل عشرة منهم مقريء أبو الدرداء يكون عليهم قائما وإذا أحكم الرجل منهم تحول إلى أبي الدرداء رضي الله عنه
“...dari Muslim ibn Masskam berkata: Abu al-Darda’ berkata kepadaku: “hitunglah orang yang membaca al-Qur’an dihadapanku”. Lalu akupun menghitung mereka, ternyata jumlahnya mencapai seribu enam ratus orang lebih. Untuk setiap sepuluh orang diantara mereka ada seseorang yang sudah pandai membaca. Abu al-Darda’ sendiri mengawasi mereka semua. Bila ada yang tidak, maka ia akan merujuk kepada Abu al-Darda’ ” [ibn Jazari, Ghayah an-Nihayah Fi Thabaqat al-Qurra’, 1:269]
Sekolah bertebaran di seluruh kawasan Islam dan dipenuhi oleh para siswa, sehingga dalam sebuah riwayat dikatakan adh-Dhahak ibn Muzahim (w. 105 H) mendesak guru untuk mengendarai himar dalam membimbing siswa di sekolahnya, yang jumlahnya mencapai tiga ribu orang, hal itu terungkap dalam riwayat berikut
كان يؤدب الأطفال فيقال: كان في مكتبه ثلاثة آلاف صبيٍ وكان يطوف عليهم على حمارٍ
[Mu’jam al-Adibba’, 1:491]
Tidak sekedar sekolah, dalam Daulah Islam pada abad 1 H juga sudah terdapat perpustakaan yang berisi buku-buku dan permainan bagi anak-anak, hal ini diungkapkan oleh Imam Abu al-Faraj al-Ashbahaniy (w. 356 H) dalam salah satu kitabnya
أخبرني الحرمي قال حدثنا الزبير قال حدثني عبد الرحمن بن عبد الله عن عبد الله بن عمرو الجمحي قال كان عبد الحكم بن عمرو بن عبد الله بن صفوان الجمحي قد اتخذ بيتا فجعل فيه شطرنجات ونردات وقرقات ودفاتر فيها من كل علم وجعل في الجدار أوتادا فمن جاء علق ثيابه على وتد منها ثم جر دفترا فقرأه أو بعض ما يلعب به فلعب به مع بعضهم
“... ‘Abd al-Hakim ibn ‘Amr ibn ‘Abdullah ibn Shafwan al-Jumhiy membuat satu rumah untuk dijadikan sebagai tempat catur, dadu dan mainan anak-anak serta buku-buku yang terdiri dari berbagai ilmu. Beliau membuat pasak-pasak pada dinding. Orang yang datang akan menggantungkan pakaiannya pada pasak tersebut, lalu mengambil buku untuk dibaca atau suatu permainan untuk digunakan bersama rekannya.” [al-Ashbahaniy, al-Aghaniy, 4:250]
Beberapa sarana dan prasarana yang memang menjadi kewajiban Daulah untuk mengadakannya adalah Perpustakaan umum, laboratorium, dan sarana umum lainnya di luar yang dimiliki sekolah dan PT untuk memudahkan para siswa melakukan kegiatan penelitian dalam berbagai bidang ilmu, baik tafsir, hadits, fiqh, kedokteran, pertanian, fisika, matematika, industri, dll. Mendorong pendirian toko-toko buku dan perpustakaan pribadi. Negara juga menyediakan asrama, pelayanan kesehatan siswa, perpustakaan dan laboratorium sekolah, beasiswa bulanan yang mencukupi kebutuhan siswa sehari-hari. Keseluruhan itu dimaksudkan agar perhatian para siswa tercurah pada ilmu pengetahuan yang digelutinya sehingga terdorong untuk mengembangkan kreativitas dan daya ciptanya. Negara mendorong para pemilik toko buku untuk memiliki ruangan khusus pengkajian dan diskusi yang dipandu oleh seorang alim/ ilmuwan/ cendekiawan. Pemilik perpustakaan pribadi didorong memiliki buku-buku terbaru, mengikuti diskusi karya para ulama dan hasil penelitian ilmiah cendekiawan. Sarana pendidikan lain, seperti radio, televisi, surat kabar, amajalah, dan penerbitan dapat dimanfaatkan siapa saja tanpa musti ada izin negara. Negara mengizinkan masyarakatnya untuk menerbitkan buku, surat kabar, majalah, mengudarakan radio dan televisi; walaupun tidak berbahasa Arab, tetapi siaran radio dan televisi negara harus berbahasa Arab.
Negara melarang jual-beli dan eksport-import buku, majalah, surat kabar yang memuat bacaan dan gambar yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Termasuk melarang acara televisi, radio, dan bioskop yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Negara berhak menjatuhkan sanksi kepada orang atau sekelompok orang yang mengarang suatu tulisan yang bertentangan dengan Islam, lalu dimuat di surat kabar dan majalah. Hasil karya penulis dapat dipakai kapan saja dengan syarat harus bertanggung jawab atas tulisannya dan sesuai dengan aturan Islam.
Seluruh media cetak, pemancar radio dan televisi yang sifatnya rutin milik orang asing dilarang beredar dalam wilayah Daulah Islam. Hanya saja, buku-buku ilmiah yang berasal dari luar negeri dapat beredar setelah diyakini di dalamnya tidak membawa pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.
Dari segi penyediaan pendidikan bagi rakyat yang berkesulitan untuk belajar di lembaga pendidikan telah diadakan dan diselesaikan oleh Daulah Islam, tatkala awal berdirinya masalah seperti ini telah menjadi perhatian bagi negara dan pendidikan itu diberikan secara gratis, tidak seperti negara-negara berasaskan sekularisme seperti saat ini. Hal ini tentunya didasari paradigma bahwa setiap manusia harus melandaskan perbuatan dan perkataannya dengan ilmu, tentunya ini tidak akan dapat dilakukan jika warga negara Daulah Islam tidak mendapatkan pendidikan. Imam Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Ali al-‘Asqalani (w. 852 H) mengungkapkan dalam kitabnya
( قوله باب العلم قبل القول والعمل ) قال بن المنير أراد به أن العلم شرط في صحة القول والعمل فلا يعتبران الا به فهو متقدم عليهما لأنه مصحح للنية المصححة للعمل فنبه المصنف على ذلك حتى لا يسبق إلى الذهن من قولهم إن العلم لا ينفع الا بالعمل .... قال فاعلم أنه لا إله الا الله ثم قال واستغفر لذنبك والخطاب وإن كان للنبي صلى الله عليه و سلم فهو متناول لأمته واستدل سفيان بن عيينة بهذه الآية على فضل العلم كما أخرجه أبو نعيم في الحلية في ترجمته من طريق الربيع بن نافع عنه أنه تلاها فقال ألم تسمع أنه بدأ به فقال أعلم ثم أمره بالعمل
“Bab Mengetahui Sebelum Berkata Dan Berbuat... telah berkata ibn Munir yang dimaksud dengan ungkapan ‘Mengetahui Sebelum Berkata Dan Berbuat’ adalah bahwa ilmu merupakan syarat dalam perkataan dan perbuatan. Kedua hal tersebut tidak akan dianggap kecuali dengan ilmu, dan ilmu lebih utama daripada keduanya, karena ilmu dapat meluruskan niat dalam melakukan perbuatan. Oleh karena itu, Imam Bukhari mengingatkan hal tersebut dengan sebelum orang-orang mendengar perkataan,’sesungguhnya ilmu tidak berarti tanpa perbuatan’... Allah ta’ala telah berfirman:’Maka, ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah.’ Kemudian ayat ini diteruskan dengan firman-Nya:’dan mohonlah ampunan bagi dosamu’. Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi r , akan tetapi ayat ini juga ditujukan kepada umatnya. Sufyan ibn Uyainah menarik kesimpulan dari ayat ini tentang keutamaan ilmu seperti yang diriwayatkan Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah dari ar-Rabi’ ibn Nafi’ dari Sufyan, bahwa setelah membaca ayat tersebut, ia berkata: tidakkah anda mendengar bahwa sesungguhnya Allah memulai ayat ini dengan kata ilmu, yaitu dengan kata I’lam, lalu Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk berbuat?. ” [ibn Hajar, Fath al-Baariy, 1:160]
Selanjutnya beliau mengungkapkan,
...والفقه هو الفهم قال الله تعالى لا يكادون يفقهون حديثا أي لايفهمون والمراد الفهم في الأحكام الشرعية قوله وأنما العلم بالتعلم .... والمعنى ليس العلم المعتبر الا المأخوذ من الأنبياء وورثتهم على سبيل التعلم
“...dan al-fiqh mengandung arti pemahaman. Allah I telah berfirman: ‘Hampir-hampir mereka tidak memahami pembicaraan sedikitpun’. Dalam ayat ini kata ‘yafqahu’ bermakna yafhamu (memahami) yakni memahami hukum-hukum syari’ah. Dan saba Rasulullah bersabda: ‘dan ilmu itu diperoleh dengan cara belajar’... dan makna hadits ini adalah bahwa ilmu yang diakui adalah ilmu yang berasal dari para nabi dan para pewarisnya (ulama) dengan cara belajar. ” [ibn Hajar, Fath al-Baariy, 1:161]
Perhatian terhadap hal ini, telah tampak dalam bentangan sejarah Daulah Islam dimana tenaga pengajar telah mendatangi langsung para muridnya yang berkesulitan datang ke lembaga pendidikan, sebagaimana yang diungkapkan dalam beberapa riwayat yang disampaikan oleh Imam Abu Bakr Ahmad ibn Ali ibn Tsabit Khatib al-Baghdady (w. 463 H)
360 - أخبرني الحسن بن أبي بكر أخبرني أبي قراءة عليه ، نا أبو الطيب محمد بن الحسين اللخمي ، قال : سمعت أبي يقول : أخبرني بعض ولد وكيع أن وكيعا كان يمضي في الحر وقت القيلولة للجمال إلى قوم سقائين يحدثهم ويقول : « هؤلاء قوم لهم معاش ، لا يقدرون يأتوني ، فيحدثهم يتواضع بذلك »
“... waki’ menghabiskan waktu yang sebenarnya untuk tidur siang dengan datang ke suatu kaum untuk memberikan hadits kepada mereka. Beliau berkata: mereka adalah masyarakat yang sedang mencari penghidupan yang tidak mampu datang kepadaku. Lalu beliau memberikan hadits kepada mereka dengan sikap tawadhu’. “[Khatib al-Baghdady, al-Jami’ li akhlaq ar-Rawi, 1:414]
Selanjutnya diungkapkan
361 - أنا أحمد بن محمد بن أحمد المجهز ، نا محمد بن أحمد بن علي الكاتب ، بمصر ، أنا الحسن بن حبيب ، بدمشق ، نا أبو عبد الله محمد بن فراس العطار ، قال : « كان الوليد بن عتبة يقرأ علينا في مسجد باب الجابية مصنفات الوليد بن مسلم ، وكان رجل يجيء وقد فاته ثلث المجلس ، ربع المجلس أو أقل أو أكثر ، وكان الشيخ يعيده عليه.....قال : يا أبا العباس ، أنا رجل معيل ، ولي دكان في بيت لهيا ، فإن لم أشتر لها حويجاتها من غدوة ، ثم أغلق وأجيء أعدو ، وإلا خشيت أن يفوتني معاشي ، فقال له الوليد بن عتبة : لا أراك ههنا مرة أخرى ، فكان الوليد بن عتبة يقرأ علينا المجلس ، ويأخذ الكتاب ويمر إلى بيت لهيا حتى يقرأ عليه المجلس في دكانه
“...al-Walid ibn ‘Utbah membacakan karya-karya al-Walid ibn Muslim di Masjid Bab al-Jabiyah. Tiba-tiba ada seorang yang baru datang, sesudah berlangsung kira-kira seperempat atau sepertiga majelis. Karena terjadi berulang-ulang, maka al-Walid ibn ‘Utbah bertanya kepadanya. Ia menjawab:’ya Abu al-‘Abbas, saya orang yang tidak mampu, bekerja sebagai penjaga toko di Bait Lihya. Bila aku tidak belanja sejak pagi, maka tempat aku belanja akan tutup, dan aku harus datang berlari. Bila tidak, maka penghidupanku akan terhenti.’ Lalu al-Walid berkata kepadanya:’sebaiknya engkau di tempat itu saja’. Al-Walid kemudian membaca di majelis itu, lalu mengambil kitabnya untuk datang ke Bait Lihya sehingga beliau membacakan untuknya di toko yang dijaganya.” [Khatib al-Baghdady, al-Jami’ li akhlaq ar-Rawi, 1:415]
Ketiga, negara menyediakan tenaga-tenaga pengajar profesional yang mampu membimbing peserta didik demi terwujudnya kepribadian islam pada diri mereka. Daulah dalam hal ini berkewajiban memantau para tenaga pengajar, agar mereka merupakan orang yang berilmu, cermat lagi hati-hati karena apa yang diajarkannya merupakan bagian dari din Islam, yaitu tsaqafah Islam dan juga ilmu-ilmu lainnya. Dalam catatan sejarah, hal ini telah menjadi perhatian yang utama, sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam ‘Abdullah ibn ‘Addiy ibn ‘Abdullah ibn Muhammad abu Ahmad al-Jurjani (w. 365 H)
ثنا علي بن أحمد بن علي بن عمران الجرجاني بحلب ثنا نصر بن علي ثنا عبد ربه بن بارق الحنفي سمعت بن سيرين يقول ان هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذونه
“...ibn Sirin mengatakan: sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dari siapa kalian ambil.” [ibn ‘Addiy al-Jurjaniy, al-Kamil, 4:174]
Sejalan dengan konteks ini, Imam Syihabuddin Abu al-Fadhl Ahmad ibn ‘Ali ibn Muhammad ibn Muhammad ibn ‘Ali al-‘Asqalani (w. 852 H) menjelaskan dalam kitabnya terkait dengan keutamaan memahami ilmu
فضل الفهم في العلم أي في العلوم....وقد تقدم الكلام على متن حديث الباب في أوائل كتاب العلم ومناسبته للترجمة أن بن عمر لما ذكر النبي صلى الله عليه و سلم المسألة عند إحضار الجمار إليه فهم أن المسؤول عنه النخلة فالفهم فطنة يفهم بها صاحبها من الكلام ما يقترن به من قول أو فعل...
“Bab Keutamaan Memahami Ilmu...adapun korelasi antara hadits dengan judul bab ini, bahwa ketika Nabi bertanya kepada sekelompok orang , ibn Umar telah mengetahui bahwa yang dimaksud oleh Nabi adalah pohon kurma. Karena definisi ‘al-fahmu’ (pemahaman) ialah kecerdasan yang dimiliki seseorang untuk dapat memahami suatu perkataan dengan memperhatikan konteksnya, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan...” [ibn Hajar, Fath al-Baariy, 1:165]
Selain menyediakan tenaga pengajar profesional, Daulah Islam juga bertanggung jawab atas nasib mereka, dengan memberikan upah atas usaha mereka, dan bagi para guru yang telah menerima upah dari negara tidak dibenarkan atas mereka mengambil yang tidak halal selain dari upah tersebut. Dalam hal ini, Imam Muhyi al-Din Abu Zakariyya Yahya ibn Syaraf an-Nawawi (w. 676 H) mengungkapkan
وينبغي أن لا يقصد به توصلا إلى غرض من أغراض الدنيا من مال أو رياسة أو وجاهة أو ارتفاع على أقرانه أو ثناء عند الناس أو صرف وجوه الناس إليه أو نحو ذلك * ولا يشوب المقرئ إقراءه بطمع في رفق يحصل له من بعض من يقرأ عليه سواء كان الرفق مالا أو خدمة وإن قل ولو كان على صورة الهدية التي لولا قراءته عليه
“Hendaknya seseorang tidak memiliki tujuan dengan ilmu yang dimilikinya untuk mencapai kesenangan dunia berupa harta atau ketenaran. Kedudukan, keunggulan atas orang-orang lain, pujian dari orang banyak atau ingin mendapatkan perhatian orang banyak dan hal-hal seperti itu. Hendaklah guru tidak mengharapkan dengan pengajarannya itu sesuatu yang dperlukan dari murid-muridnya, baik itu berupa pemberian harta atau pelayanan, meskipun sedikit dan sekalipun berupa hadiah yang seandainya dia tidak mengajarinya, tentulah dia tidak diberi hadiah.” [an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, 1:34]
Itulah sekilas tentang konstruks sistem pendidikan Islam yang agung. Sehingga dengan keagungannya melahirkan generasi-generasi yang oleh Spielvogel dan banyak pemikir Barat lainnya dipuji karena mampu memberikan kontribusi besar bagi kemajuan manusia. Generasi-generasi yang lahir dalam sistem pendidikan Islam dibawah naungan Daulah Islam memiliki kepribadian yang benar, dan ahli dalam bidang sains, teknologi maupun seni (diterangkan oleh: Nasim Butt, Science and Muslim Society; Shabir Ahmed, Anas Abdul Muntaqim, Abdul Sattar, Islam and Science).