Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Wednesday, June 22, 2011

Konspirasi Dibalik Pembunuhan Utsman dan Perang Jamal

Selama ratusan tahun, para sejarawan Muslim telah mencurahkan segenap tenaga untuk menulis sejarah tentang para sahabat Nabi Muhammad saw. Mereka bersikap hati-hati dan teliti agar tidak terjadi kesalahan dalam penulisannya. Namun para pembenci Islam selalu berupaya memberikan noda hitam dalam sejarah penerapan Islam juga pencitra burukkan terhadap pribadi para Sahabat, misalnya buku al-Haqidah al-Ghaibah karya Farag Fouda yang mendapat sambutan baik dari Prof. Dr. Azyumardi Azra dan Prof Dr. Syafi’i Ma’arif dan masih banyak buku lain yang serupa. Dan upaya lain yang serupa ialah membuat noda hitam pada peristiwa perang jamal.

Seperti yang kita ketahui bahwa sejarah khilafah Islamiyah banyak yang telah diputar balik. Dalam peristiwa perang Jamal ini (salah satunya dari sekian banyak peristiwa), Khilafah Islamiyah digambarkan sebagai ajang perebutan kekuasaan di tengah-tengah para sahabat dan orang-orang sesudahnya. Khilafah dipresentasikan sebagai sebuah kekuasaan cacat yang tidak jauh berbeda dengan gereja sentris. Wajah khilafah dicoreng dengan tumpahan darah yang tercecer atas perang saudara. Akibatnya memunculkan opini buruk pada publik mengenai realita Daulah Khilafah hingga menimbulkan pobia pada daulah.

Isu ini pun digunakan untuk memburukkan sifat sahabat Rasulullah saw. yang tentunya akan berdampak buruk bagi kemurnian dan keluhuran syari’ah Islam. Bagaimana tidak? Sahabat adalah orang-orang yang mentransmisikan al-Qur’an dan as-Sunnah kepada umat sepeninggalnya Rasulullah saw. Jika sahabat benar-benar mementingkan diri sendiri, maka akan menjadi sebuah keniscayaan untuk meragukan kemurnian dan keluhuran sumber Islam. Na’udzubillah..

Bahasan ini memuat refleksi bagi para pengemban dakwah agar tidak mudah difitnah dan atau diadu domba oleh orang-orang yang melenceng dari thariq as-Sunnah, dan juga tidak mengatakan sesuatu yang buruk kepada para sahabat Nabi karena sebagaimana yang kita ketahui bahwa hal itu tidak dibenarkan.

Perang Jamal

Pembahasan perang jamal tidak lepas dari peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Menjelang kematian Utsman, terdapat kelompok yang menentang kepemimpinan Utsman. Kelompok-kelompok tersebut berasal dari Mesir, Kufah, dan Basrah. Kedatangan mereka yang pertama tidak disambut baik bahkan mereka diminta untuk kembali ke daerah mereka masing-masing. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Imam ath-Thabari

فأتى المصريون عليّاً وهو في عسكر عند أحجار الزّيت؛ عليه حلّة أفواف معتمّ بشقيقة حمراء يمانية، متقلّد السيف ... فسلم عليه المصريون وعرّضوا له؛ فصاح بهم واطّردهم، وقال: لقد علم الصالحون أن جيش ذي المروة وذي خشب ملعونون على لسان محمد صلى الله عليه وسلّم، فارجعوا لا صحبكم الله! قالوا: نعم، فانصرفوا من عنده على ذلك
“kelompok Mesir datang kepada ‘Ali yang waktu itu sedang berada di tengah sebuah pasukan di Ahjar az-Zait, dia mengenakan pakaian berwarna putih terbuat dari bahan katun dan memakai serban merah dari Yaman sambil membawa pedang... orang-orang Mesir itu mengucapkan salam kepada beliau, Ali berteriak dan mengusir mereka, seraya berkata: orang-orang shaleh telah mengetahui bahwa pasukan Dzu Marwa dan Dzu Khusyub telah terlaknat melalui lisan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, kembalilah ! , semoga Allah tidak menyertai kalian. Mereka menjawab: Ya. Kemudian mereka pergi meninggalkan ‘Ali.” (ath-Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2:474 – 475)

Kemudian mereka bergerak kembali menuju tempat masing-masing, sehingga penduduk Madinah merasa aman karena kelompok tersebut telah pergi. Namun kemudian, kelompok tersebut kembali setelah beberapa hari berpisah menuju tempatnya masing-masing dan segera mengepung Madinah. Sebagian besar dari mereka mengepung rumah Kholifah Utsman bin Affan, kemudian memerintahkan penduduk Madinah agar tidak melawan. Imam at-Thabari mengungkapkan,

وقالوا: من كفّ يده فهو آمن
“mereka berkata: siapa saja yang tidak bertindak maka dia akan selamat.” (ath-Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2: 475)

Para penentang itu mengajukan dua opsi, yaitu mereka meminta agar Utsman menyerahkan Marwan kepada mereka atau Utsman turun dari jabatannya, namun dengan tegas Utsman menolak kedua opsi tersebut. Pengepungan ini berakhir dengan terbunuhnya Utsman bin Affan r.a.

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: Benarkah surat itu atas petunjuk Utsman? Benarkah cap legalisir dalam surat tersebut adalah milik negara? Mengapa Utsman menolak kedua opsi tersebut?

Jawaban atas pertanyaan di atas: Ali bin Abi Thalib meragukan surat itu dibuat dan dikirim oleh pihak Kholifah Utsman, bahkan Ali menduga dengan dugaan yang kuat bahwa hal ini telah direncanakan sendiri dengan rapi oleh kelompok-kelompok tersebut ketika mereka ke Madinah, jadi kepulangan mereka ke tempat asal hanyalah bentuk kepura-puraan saja. Bukti mengenai pernyataan ini sebagaimana yang terungkap dalam kitab Tarikh ar-Rusul (lihat juga kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah), Imam at-Thabari mengungkapkan,

وفيهم عليّ، فقال: ما مردّكم بعد ذهابكم ورجوعكم عن رأيكم؟ قالوا: أخذنا مع بريد كتاباً بقتلنا؛ وأتاهم طلحة فقال البصريون مثل ذلك، وأتاهم الزبير فقال الكوفيون مثل ذلك، وقال الكوفيون والبصريون: فنحن ننصر إخواننا ونمنعهم جميعاً؛...قال لهم عليّ: كيف علمتم يا مأهل الكوفة ويا أهل البصرة بما ملقي أهل مصر؛ وقد سرتم مراحل؛ ثم طويتم نحونا؟ هذا والله أمر أبرم بالمدينة! نقالوا: فضعوه على ما شئتم، لا حاجة لنا في هذا الرّجل، ليعتزلنا
“’Ali bertanya kepada penduduk Mesir yang kembali datang: Apa yang menyebabkan kalian kembali dan berbalik dari pendapat kalian yang lalu ?; Mereka menjawab: kami mendapatkan seseorang yang membawa surat perintah untuk membunuh kami; Thalhah datang kepada penduduk Bashrah dan berkata demikian kemudian Zubair juga menanyakan yang sama kepada penduduk Kufah; Berkata penduduk Kufah dan Bashrah: kami mau menolong saudara-saudara kami dari Mesir dan mempertahankan mereka; Kemudian ‘Ali bertanya lagi: Bagaimana kalian mengetahui wahai orang Kufah dan wahai orang Bashrah apa yang telah ditemui oleh orang Mesir, padahal kalian sudah berjalan dan berpisah sangat jauh, kemudian tiba-tiba secara serentak kalian kembali ke sini? Ini demi Allah ! merupakan perkara yang sudah di rancang di Madinah sendiri; kemudian mereka menjawab: letakkan saja orang itu (Utsman) dimana kamu suka, kami tidak memerlukannya lagi, yang penting dia pergi. ”
(ath-Thabari, Tarikh ar-Rusul, 2: 475)

Dari riwayat di atas, jelas bahwa kelompok tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan Ali bahkan rencana mereka telah dibongkar oleh Ali, hal ini tampak dari pernyataan mereka yang angkuh dan tidak menjawab pertanyaan Ali. Marzuki Haji Mahmood dalam bukunya “Isu-Isu Kontrovesi Dalam Sejarah Pemerintahan Khulafa’ al-Rasyidin” mengungkapkan fakta yang membenarkan sekaligus menguatkan keraguan Ali, yaitu:
  1. Dalam masa yang sama pernah terjadi pemalsuan surat atas nama istri nabi. Surat ini berisi kritikan terhadap pemerintahan Utsman dan seruan untuk menentang Utsman. Surat ini terbukti palsu dan direkayasa oleh anak didik Utsman yang lari ke Mesir bernama Muhammad bi Abi Huzaifah. Dari peristiwa ini ditemukan kemungkinan bahwa surat yang dikirim atas nama Kholifah juga palsu.
  2. Kholifah dan wali Mesir (Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh) telah memiliki agenda untuk bertemu membicarakan suatu masalah. Lalu untuk apa Kholifah harus repot-repot menulis surat pada Abdullah bin Sa’ad di Mesir padahal beliau tahu Abdullah bin Sa’ad sedang dalam perjalanan hingga ia tidak lagi ada di Mesir.
  3. Para penentang itu berasal dari Mesir, Basrah, dan Kuffah. Jika memang surat itu datang dari Istana Kholifah untuk membunuh pembesar-pembesar dari kelompok Mesir, kenapa tidak sekalian mengirim surat kepada wali Basrah dan Kuffah untuk memburu dan membunuh para pembesar dari wilayah-wilayah tersebut?
  4. Saat pengepungan terjadi, mengapa semua kelompok hadir di Madinah dalam waktu singkat padahal mereka seharusnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing yang letaknya saling berjauhan?
  5. Budak yang ditangkap oleh rombongan sebagai pembawa surat kholifah, bersikap mencurigakan. Budak itu kadang berjalan mendekati rombongan dan kadang menjauhi rombongan. Dari sikapnya terkesan ia disuruh untuk mengikuti rombongan orang-orang yang bertolak dari Madinah.
  6. Saat rombongan hendak kembali ke tempat mereka masing-masing ternyata ada dua tokoh penting di antara mereka yang tidak ikut dan terus menetap di Madinah. Mereka adalah al Asytar dan Hukaim bin Jabalah. Merekalah yang disinyalir menulis surat palsu tersebut dengan tujuan mengeruhkan suasana.
Sikap Utsman tidak menyerahkan Marwan bin Al Hakam karena yakin bahwa Marwan tidak ada sangkut pautnya dengan surat tersebut. Utsman juga menolak untuk menyerahkan jabatannya semata-mata ia teringat dengan pesan Nabi Saw.

 حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو المغيرة قال ثنا الوليد بن سليمان قال حدثني ربيعة بن يزيد عن عبد الله بن عامر عن النعمان بن بشير عن عائشة قالت : أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عثمان بن عفان .... وقال يا عثمان أن الله عز وجل عسى أن يلبسك قميصا فإن أرادك المنافقون على خلعه فلا تخلعه حتى تلقاني
“...diriwayatkan oleh Aisyah bahwa nabi pernah bersabda,”Wahai Utsman! Sesungguhnya Allah Swt. Akan memakaikan kamu bahu (maksudnya kekuasaan tertinggi) maka jika ada orang-orang munafikin yang ingin kamu menanggalkannya, jangan tanggalkan (ada riwayat) hingga kamu temui aku” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 41: 113; diriwayatkan juga oleh Tirmidzi, dan Al Hakim)

Pembunuhan terhadap Utsman semakin menambah genting suasana. Para penentang tidak juga kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka merajalela di Madinah. Ketua dari mesir, al Ghafiqi bertindak sebagai imam sholat di masjid nabi. Ketua yang lain seperti Malik bin Al Harith, Al Asytar Al Nakhayi dan Hukaim bin Jabalah menempatkan diri menjadi pendukung Ali hingga terkesan Ali melindungi mereka dan Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman. Dari sinilah terjadi tragedi perang Jamal antara kelompok Ali dan kelompok yang dipimpin oleh ‘Aisyah, Thalhah dan Zubair. Perang ini terjadi tanpa keinginan kedua belah pihak. Di dalamnya timbul banyak masalah kabur dan tidak jelas.

Pertanyaan-pertanyaan pun timbul, diantaranya adalah: Mengapa bisa terjadi perang di antara dua orang yang terdekat dengan Rasulullah saw hingga harus menumpahkan darah kaum muslimin? Apakah mereka berperang untuk memperebutkan kekuasaan?

Berbagai literatur sejarah menyebutkan dengan keliru bahwa perang jamal terjadi atas beberapa faktor, yaitu:
  1. Dendam Aisyah atas pendapat Ali saat terjadi al ifk.
  2. Ketidakpuasan para sahabat atas pengangkatan Ali sebagai kholifah.
  3. Kerenggangan hubungan Aisyah dengan Fatimah sebagaimana hubungan antara ibu tiri dengan anak tirinya.
  4. Aisyah menentang Ali karena ingin agar kekuasaan diberikan pada anak saudaranya, Abdullah bin al Zubair.
  5. Aisyah marah pada Ali sebab Ali tidak mau membai’at ayahnya saat ayahnya diangkat sebagai kholifah.
Tersirat bahwa motif terjadinya perang jamal semata-mata karena iri dengki, haus kekuasaan, mementingkan diri sendiri, dendam, tidak rela atas putusan Allah dan RasulNya, dan lain sebagainya. Bila kita cermati, sifat-sifat yang disebutkan di atas tidak lain hanya dimiliki oleh orang-orang yang kurang iman. Padahal kita tahu kredibilitas para sahabat yang sangat dekat dengan Al Qur’an. Sejatinya mereka benar-benar penjaga Al Qur’an.

Bantahan atas argumen-argumen penyebab perang jamal:

  • Peristiwa ifk adalah rekayasa kaum munafiqun. Meski Ali berpendapat, “Ya Rasulullah, apa yang perlu dikhawatirkan? Masih banyak perempuan lain” saat Rasul menanyakan pendapat Ali, tidak ada satu riwayatpun yang memperlihatkan Aisyah dendam karenanya. Aisyah adalah tipe orang yang senang berterus terang sehingga bila ia tidak suka akan pendapat Ali, ia pasti akan langsung membantahnya dan bukan menyimpannya sebagai dendam.
  • Allah dan RasulNya mengakui dan memilih Aisyah sebagai wanita yang memiliki keutamaan lebih dari wanita mukmin lainnya. Sehingga tidak mungkin Aisyah memiliki hati yang buruk lagi rusak (dendam, iri, dsb).
  • Peristiwa ‘ifk telah berakhir dengan turunnya QS. An Nur. Ketidak ridloan terhadap apa-apa yang diturunkan Allah mencerminkan kemunafiqan dan kita tahu bahwa para sahabat termasuk istri nabi adalah orang-orang yang mendapat pujian dari Allah. Mereka pun bukanlah bagian dari golongan orang-orang yang munafik.
  • Pernyataan Aisyah sendiri saat perang berakhir membuktikan tidak ada dendam lama atau baru dalam perang jamal, sebagaimana yang terungkap dalam kitab Imam ath-Thabari
قالت: يا بنيّ، ... إنه والله ما كان بيني وبين عليّ في القديم إلاّ ما يكون بين المرأة وأحمائها؛ وإنه عندي على معتبّي من الأخيار. وقال عليّ: يا أيها الناس، صدقت والله وبرّت، ما كان بيني وبينها إلاّ ذلك، وإنها لزوجة نبيّكم صلى الله عليه وسلم في الدنيا والآخرة
“Aisyah berkata: wahai sekalian manusia..demi Allah, tidak terdapat apapun diantara aku dan ‘Ali, dari sejak dulu, melainkan perkara biasa antara seorang perempuan dengan ahli keluarganya saja. Dan sesungguhnya ‘Ali disisiku merupakan orang yang terpilih. Kemudian ‘Ali menjawab: wahai sekalian manusia, Demi Allah benar dan tepatlah perkataannya. Tidak terdapat apa-apa antara aku dan dia, Cuma itu saja. Sesungguhnya dia adalah isteri Nabi shalallahu ‘alaihi wasallah kamu di dunia dan akhirat. ” (Ath-Thabari, Tarikh al-Rusul, 3: 66)

  • Hubungan Aisyah dan Fathimah baik-baik saja. Rasulullh pernah bertanya pada Fathimah, ‘Apakah engkau menyayangi orang yang aku sayang?’ Lalu Fathimah menjawab,’Ya’. Kemudian Rasul bertanya lagi,’Apakah Engkau membenci orag yang aku benci?’ dan Fathimah menjawab,’Ya’. Kemudian rasul bersabda,’Aku sendiri sayang Aisyah, maka hendaklah engkau sayang kepadanya.’ (Al Syaukani, Darr al al-shahabah, hal. 320-321,petikan dari Majma’ al Zawaid, jil IX, hal. 241)
  • Adapun tuduhan bahwa Aisyah menginginkan kekuasaan bagi keponakannya, Abdullah bin al Zubair, sangatlah tidak benar. Hal ini dibantah sebab saat itu Abdullah masih sangatlah kecil sedang ayahnya, yakni Zubair telah memenuhi kualifikasi menjadi kholifah. Kenapa Aisyah tidak mendukung Zubair saja?
  • Perkataan bahwa perang Jamal terjadi karena Aisyah dendam pada Ali yang menentang ayahnya (Abu Bakar) sangat berlawanan dengan fakta sejarah. Sebab Ali sebagaimana sikap para sahabat yang lain, termasuk orang yang paling awal membai’at Abu Bakar dan mendukung pemerintahannya sampai ajal menjemput Abu Bakar.
  • Tujuan Aisyah, Thalhah, dan Zubair mendatangi Basrah bukan Madinah. Padahal bila ditilik jarak antara Mekah ke Madinah (tempat Ali berada/ ibu kota negara) lebih dekat daripada Mekah ke Basrah. Hal ini memperlihatkan bahwa Ummul Mukminin bertujuan untuk memerangi orang-orang yang langsung terlibat pada pembunuhan Utsman. Adapun melewati Madinah, beliau bermaksud mengajak kholifah Ali menggabungkan tentaranya guna memerangi para pemberontak itu (Saba’iyah). Maksud ini diketahui oleh para penentang yang telah menyusup di antara kelompok Ali dan kelompok Aisyah. Mereka khawatir bila kedua kelompok ini bertemu maka merekalah yang akan kena getahnya. Akhirnya malam sebelum tercetusnya perang Jamal, mereka mengadakan rundingan yang isinya seruan kepada anggotanya (Saba’iyah) untuk membuat kegaduhan di esok hari hingga tercetuslah perang tanpa memberi kesempata bagi kedua belah pihak untuk berpikir panjang (al Tabhari, Tarikh ar Rusul, jil IV lihat juga Saif al Dhabi, al Fitnah, hal 149, lihat juga kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah).

Penutup

Semestinya, para ilmuwan dan cendekiawan ini membaca banyak buku lainnya tentang cerita seputar konflik diantara sahabat Nabi. Thaha Jabir Ulwani, misalnya, dalam bukunya Adabul Ikhtilaf fil Islam, memaparkan data-data perbedaan bahkan konflik diantara sahabat Nabi. Mereka adalah manusia. Tapi, yang sangat indah adalah bagaimana cara mereka menghadapi dan menyelesaikan konflik. Umat Islam justru bisa belajar dari sejarah semacam itu. Sebab, dalam kehidupan manusia, ada saja orang-orang yang berbuat jahat dan mengeruhkan suasana. Terjadinya kekacauan dan pembunuhan terhadap Utsman bin Affan r.a. tidak bisa begitu saja ditimpakan kesalahannya kepada Utsman r.a. Begitu juga, martabat Ali bin Abi Thalib r.a. tidak kemudian menjadi rendah karena di masanya terjadi pergolakan. Wallahu a’lam bish shawab (Ummu Zahroh)

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages