Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Wednesday, June 22, 2011

Majelis Ilmu Termasuk Taman Surga Di Bumi

PEMBUKAAN


Ketidakpahaman kaum muslimin terhadap aktivitas halqoh memudahkan kafir penjajah untuk menancapkan sekulerisme dalam benak umat muslim. Kelalaian kaum muslimin akan wajibnya menuntut ilmu semakin memperparah keadaan dan menjerumuskan umat muslim sampai pada level terendah dalam sebuah peradaban. Makalah ini sengaja dibuat selain untuk menambah tsaqofah Islam juga untuk meluruskan persepsi yang tidak jernih dan berkembang di masyarakat mengenai halqoh. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu salah satu stasiun radio di Batam mengemukakan bahwa aktivitas halqoh adalah aktivitas yang dilakukan oleh kaum khawarij sehingga gerakan islam yang melaksanakan halqoh diidentikkan sebagai pengikut kaum khawarij.

AKTIVITAS HALQOH PARA SAHABAT

Kewajiban Menuntut Ilmu

Aktivitas halqoh yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat maupun generasi salaf ash-shalih sesudah mereka pada dasarnya didorong oleh suatu iradah, yaitu semangat yang dilandasi dengan suatu kesadaran bahwa menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban. Jadi, bukan sekedar rughbah atau semangat belaka, hal ini mengingat mereka mengetahui, memahami, dan mengamalkan berbagai nash yang mengungkapkan wajibnya menuntut ilmu.

Imam Muslim (w. 261 H) meriwayatkan hadits sebagai berikut
« مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِى الدِّينِ »
“Barangsiapa yang Allah kehendaki baik di dunia, maka Allah menjadikannya faqih ad-din.” [Hr. Muslim, Shahih Muslim, 3 : 94]

Imam Nawawi (w. 676 H) memberikan syarah (penjelasan) terkait hadits tersebut
فيه فضيلة العلم والتفقه في الدين والحث عليه وسببه أنه قائد إلى تقوى الله تعالى
“dalam hadits tersebut menerangkan keutamaan ilmu dan tafaqquh fid din serta berisi tentang dorongan untuk melakukan aktifitas tersebut (memahami ad-din) ; ianya merupakan sebab utama bagi tercapainya ketakwaan kepada Allah ta’ala.”
[Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 7 : 128]

Dalam hadits lain disebutkan tentang keridhaan Allah ta’ala atas aktivitas menuntut ilmu, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam al-Haitsami (w. 807 H) :
عن أبي أمامة عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : مَنْ غَدَا إِلىَ المَسْجِدِ لاَ يُرِيْدُ إلاَّ أَنْ يَتَعَلَّمَ خَيْرًا أوْ يُعَلِّمَهُ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ حَاجِ تَامًا حِجَّتُهُ ] رواه الطبراني في الكبير ورجاله موثقون كلهم [
“barangsiapa yang pagi-pagi ke masjid, keinginannya tiada lain kecuali untuk mempelajari khairan (islam) atau mengajarkannya, maka baginya pahala sebagaimana pahala orang yang berhaji dengan sempurna.”
[Majma’ az-Zawa’id, 1 : 329]

Selain hadits tersebut, Rasulullah juga mencela sekaligus mengancam orang-orang yang memiliki ilmu tapi tidak memiliki kontribusi dalam memahamkan dan mencerdaskan orang lain serta beramar ma’ruf nahyi munkar juga berlaku terhadap orang-orang yang belum paham tapi tidak mau mencari ilmu dalam rangka membangun pemahaman. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Hafidz al-Munziri (w. 656 H)

والله ليعلمن قوم جيرانهم ويفقهونهم ويعظونهم ويأمرونهم وينهونهم وليتعلمن قوم من جيرانهم ويتفقهون ويتعظون أو لأعاجلنهم العقوبة
“… demi Allah, suatu kaum hendaknyamengajari kaum yang lain, memberikan mereka pemahaman, mencerdaskan mereka, menganjurkan mereka berbuat baik dan mencegah berbuat mungkar. Selain itu, hendaknya suatu kaum mau belajar dari kaum yang lain, berusaha mencari pemahaman dari mereka dan mendengar nasehat mereka. Karena bila tidak demikian meka mereka mengharapkan agar aku menyegerakan hukuman bagi mereka (di dunia) …” [at-Targhib wa at-Tarhib, 1 : 71]

Kajian Halqoh Para Sahabat dan Aktivitas Didalamnya

Sesungguhnya merupakan perkara yang masyhur (terkenal) di kalangan ahl al-Hadits bahwa Rasulullah dan para sahabat berserta generasi sesudah mereka senantiasa membentuk halqoh-halqoh dalam kajian ilmu, selain dari bentuk-bentuk kajian ilmu lainnya (seperti : seorang imam yang menyampaikan materi islam di hadapan banyak orang).

Imam al-Haitsami (w. 807 H) menyebutkan salah satu riwayat mengenai aktivitas halqoh ini
وعن يزيد الرقاشي قال : كان أنس مما يقول لنا إذا حدثنا هذا
 الحديث : إنه والله ما هو بالذي تصنع أنت وأصحابك . يعني : ويقعد أحدكم فيجتمعون حوله فيخطب إنما كانوا إذا صلوا الغداة قعدوا حلقا حلقا يقرؤون القرآن ويتعلمون الفرائض والسنن . ويزيد الرقاشي ضعيف 
“… diriwayatkan dari Anas : bahwasannya tatkala mereka selesai shalat shubuh, mereka duduk membentuk halqah, seraya membaca al-Qur’an, mempelajari berbagai kefardhuan dan kesunnahan.” [Majma’ az-Zawa’id, 1 : 345]

Di dalam hadits di atas memang terdapat perawi yang dha’if (lemah), namun masih terdapat hadits-hadits dengan perawi-perawi shahih yang mengungkapkan perihal aktivitas halqoh, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ibn Hibban (w. 354 H) dalam kitabnya
أخبرنا الحسين بن عبد الله القطان قال : حدثنا هشام بن عمار قال : حدثنا المؤمل بن إسماعيل قال : حدثنا الثوري عن عبد الملك بن عمير عن أبي سلمة : عن أبي هريرة قال : خرج النبي صلى الله عليه و سلم على أصحابه وهم في المسجد جلوس حلقا...
“… Rasulullah keluar menuju para sahabatnya dan mereka sedang berada di dalam masjid membentuk halqah …”
[Shahih ibn Hiban, 3 : 94]

Imam al-Haitsami (w. 807 H) juga menyebutkan riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat pun tetap melakukan aktivitas halqoh ini dalam kajian ilmu
عن أبي رجاء العطاردي قال : كان أبو موسى يقرئنا يجلسنا حلقا حلقا عليه ثوبان أبيضان فإذا قرأ هذه السورة { اقرأ باسم ربك الذي خلق } قال : هذه الآية أول سورة أنزلت على محمد صلى الله عليه و سلم ] رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح [
“Abu Musa membacakan (mengajari) kepada kami, sementara kami membentuk halqah di sekitar beliau…..”
[Majma’ az-Zawa’id, 7 : 293]

Imam Jazari (w. 833 H) sendiri menyebutkan riwayat yang terkait dengan kegiatan keilmuan yang dilakukan oleh Sahabat Rasul, Abu Darda setelah wafatnya beliau saw.
قال سويد بن عبد العزيز كان أبو الدرداء رضي الله عنه إذا صلى الغداة في جامع دشق اجتمع الناس للقراءة عليه فكان يجعلهم عشرة عشرة وعلى كل عشرة عريفا ويقف هو في المحراب يرمقهم ببصره فإذا غلط أحدهم رجع إلى عريفهم فإذا غلط عريفهم رجع إلى أبي الدرداء فسأله عن ذلك... وعن مسلم بن مشكم قال قال لي أبو الدرداء أعدد من يقرأ عندي القرآن فعددتهم ألفا وستمائة ونيفا وكان لكل عشرة منهم مقريء 
“… bahwa Abu Darda’ bila shalat shubuh di Masjid Jami’ Damaskus, maka orang-orang berkumpul untuk membaca di hadapan beliau. Beliau menjadikan sepuluh orang untuk satu kelompoknya. Setiap sepuluh orang terdapat seorang pembimbing. Beliau sendiri duduk di mihrab mengamati mereka semua. Bila ada yang salah, maka ia akan merujuk kepada pembimbing. Dan bila pembimbing yang salah, maka ia akan merujuk kepada Abu Darda’ untuk menanyakan kesalahan itu…. Dari Muslim ibn Masykam berkata : Abu Darda’ berkata kepadaku : hitunglah orang yang membaca al-Qur’an di hadapanku. Lalu akupun menghitung mereka, ternyata jumlahnya seribu enam ratus orang lebih. Untuk setiap sepuluh orang diantara mereka ada seseorang pembimbing (musyrif )....” [Ghayah an-Nihayah, 1 : 269]

Demikianlah aktivitas halqoh para sahabat beserta generasi salaf ash-shalih sesudah mereka. Adapun aktivitas halqoh mereka bukanlah berkumpul dan membentuk lingkaran untuk membicarakan perihal dunia, melainkan mereka mengadakan halqah untuk mengkaji Islam, membicarakan hal-hal yang dikandung dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam hal ini Imam ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H) menyebutkan perkataan Umar ibn al-Khaththab dalam kitabnya :
وقال عمر تَفَقَّهُوْا قَبْلَ أَنْ تُسَوِّدُوْا
“Belajarlah secara mendalam sebelum kalian memimpin.” [fath al-Bariy, 1 : 166]

Generasi sesudah sahabat Rasulullah pun memahami demikian, sebagaimana yang diungkapkan dalam kitab fath al-Bariy berikut
قال فاعلم أنه لا إله الا الله ثم قال واستغفر لذنبك والخطاب وإن كان للنبي صلى الله عليه و سلم فهو متناول لأمته واستدل سفيان بن عيينة بهذه الآية على فضل العلم كما أخرجه أبو نعيم في الحلية في ترجمته من طريق الربيع بن نافع عنه أنه تلاها فقال ألم تسمع أنه بدأ به فقال أعلم ثم أمره بالعمل
“Allah ta’ala telah berfirman : Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah. Kemudian ayat ini diteruskan dengan firman-Nya : dan mohonlah ampunan bagi dosamu. Meskipun khitab (seruan) ayat ini kepada Nabi, akan tetapi ayat ini juga ditujukan kepada umatnya. Sufyan ibn Uyainah menarik kesimpulan dari ayat ini tentang keutamaan ilmu seperti yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab al-Hilyah dari ar-Rabi’ ibn Nafi’ dari Sufyan, bahwa setelah membaca ayat tersebut, ia berkata : tidakkah anda mendengar bahwa sesungguhnya Allah memulai ayat ini dengan kata ilmu, yaitu kata i’lam, kemudian baru diperintahkan kepada Rasulullah untuk berbuat ? ” [ibn Hajar al-Asqalani, 1 : 160]

Selain itu, para sahabat-pun menganjurkan untuk mempelajari fara’id dan sunnah sebagaimana mempelajari al-Qur’an. Dengan demikian, bukan sekedar berkumpul membentuk halqoh tapi yang dibicarakan adalah “tipu daya” dunia karena hal ini juga telah dilarang dalam sebuah hadits.
قال عمر بن الخطاب: تَعَلَّمُوْا الْفَرَائِضَ وَالسُّنَّةَ كَمَا تَتَعَلَّمُوْنَ الْقُرْآنَ
“Pelajarilah fara’idh dan sunnah, sebagaimana kalian mempelajari al-Qur’an.”
[ibn ‘Abd al-Barr (w. 368 H), Jami’ al-Bayan wa al-Fadhlih, 2 : 74]

وعن عبد الله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : سيكون في آخر الزمان قوم يجلسون في المساجد حلقا حلقا أمامهم الدنيا فلا تجالسوهم فإنه ليس لله فيهم حاجة
“ ... akan ada di akhir zaman suatu kelompok yang berkumpul di dalam masjid membentuk halqah-halqah lagi mengagungkan (banyak membicarakan) dunia, maka tidaklah mereka berkumpul melainkan bukan Allah( tidak bersama) dalam urusan mereka. ” [Majma’ az-Zawa’id, 2 : 138]

Perlu juga untuk dipahami bahwa aktivitas halqoh dan kajian Islam didalamnya dilakukan dalam rangka mencapai tolak ukur keilmuan yang tinggi. Sementara tolak ukur ilmu yang tinggi tidak dengan serta merta ada pada orang yang banyak menyampaikan sesuatu, namun seseorang telah dikatakan memiliki ilmu yang tinggi ketika bertambah dalam dirinya rasa takut kepada Allah ta’ala sehingga nuansa keimanan senantiasa menghiasi dirinya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdullah ibn Mas’ud
قال عبد الله بن مسعود ليس العلم بكثرة الحديث ولكن العلم خشية الله
“telah berkata Abdullah ibn Mas’ud,’ tolak ukur ilmu bukanlah dengan banyak meriwayatkan hadits, akan tetapi tolak ukur ilmu ialah takut kepada Allah.’” [ Abu Syamah (w. 665 H) , Mukhtasar al-Mu’ammal li ar-Radd ila al-Amr al-Awal, 1:32]

Hal Yang Perlu Diperhatikan Saat Transfer Pemahaman Dalam Halqoh

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan saat transfer pemahaman dalam halqoh yang dapat diketahui ketika kita melakukan mengkaji hadits-hadits Rasulullah dan juga atsar (keterangan) mengenai hal ini. Berikut akan disebutkan 4 poin terpenting, yaitu :

1. Memberikan penghormatan dan pengagungan terhadap kajian Islam yang dikaji dalam halqah, hal ini akan berdampak : (a) membentuk diri yang senantiasa mengagungkan Allah dan Rasul ; (b) realisasi upaya diri dalam mencapai tingkat keyakinan pada mustawa al-yaqin (tingkat yakin), yaitu senantiasa merasa diawasi dan dilihat oleh Allah.

Sesungguhnya aktivitas halqoh adalah majelis-majelis ilmu Islam, juga majelis al-Qur’an dan as-Sunnah, disebabkan pembahasan di dalamnya akan berbicara tentang kandungan sumber hukum Islam, sekalipun tidak disebutkan dalil-dalil yang berasal dari keduanya. Oleh sebab itu, aktivitas halqoh seyogyanya menunjukkan suatu penghormatan dan pengagunggan terhadap majelis ilmu tersebut, baik terhadap musyrif/musyrifah, rekan daris/darisah dan juga terhadap isi kajian Islam di dalamnya. Imam ibn ‘Abd al-Barr (w. 368 H) menyebutkan riwayat berikut
عن قتادة، قال: لقد كان يستحب ألا يقرأ الأحاديث التي عن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- إلا على طهور... و في رواية الا على وضوء
“Qatadah mengatakan : sungguh dianjurkan agar hadits-hadits Rasulullah tidak dibaca kecuali dalam keadaan suci... riwayat lain menyebutkan, kecuali dalam keadaan wudhu’ ” [Jami’ al-Bayan wa al-Fadhlih, 2 : 383 - 384]

Imam Ramahurmuziy (w. 360 H) meriwayatkan
حدثنا منصور أبو سلمة الخزاعي قال كان مالك بن أنس اذا أراد أن يخرج يحدث توضأ وضوءه للصلاة ولبس أحسن ثيابه قلنسوة ومشط لحيته فقيل له في ذلك فقال أوقر حديث رسول الله صلى الله عليه و سلم
“... Imam Malik ibn Annas, bila hendak mentakhrij hadits berwudhu’ terlebih dahulu seperti layaknya hendak shalat, dan menggunakan pakaian terbaik, berpeci dan menyisir rambut. Ditanyakan kepada beliau mengenai hal tersebut, beliau menjawab : aku hendak menghormati hadits Rasulullah. ” [al-Muhaddits al-Fashil, 1 : 585]

2. Pembelajaran bertahap dan berulang-ulang, akan berdampak : (a) kristalisasi pemahaman dalam benak ; (b) memberikan pemahaman yang berkesan dalam jiwa sehingga mampu mempengaruhi muyul (kecendrungan) dalam beramal.
....عن جندب بن عبد الله قال : - كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن فتيان حزاورة . فتعلمنا الإيمان قبل أن نتعلم القرآن . فازددنا به إيمانا (في الزوائد إسناد هذا الحديث صحيح . رجاله ثقات)
“... dari Jundab ibn ‘abdillah, ia berkata : sewaktu kami masih remaja, kami pernah (belajar) bersama Rasulullah. (dari beliau) Kami mempelajari keimanan (terlebih dahulu) sebelum kami mempelajari al-Qur’an. Sehingga, ketika kami telah mempelajari al-Qur’an, maka keimanan kami bertambah. ”
[Hr. Ibn Majah (w. 273 H), Sunan ibn Majah, 1:23]

Imam ath-Thabari (w. 310 H) meriwayatkan
حدثنا الأعمش، عن شَقيق، عن ابن مسعود، قال: كانَ الرجل مِنَّا إذا تعلَّم عَشْر آياتٍ لم يجاوزهُنّ حتى يعرف معانيهُنَّ، والعملَ بهنَّ
“al’A’masy telah menceritakan kepada kami dari Syaqiq bahwa ibn Mas’ud berkata: setiap laki-laki (orang) di antara kami (para sahabat) apabila (sedang) mempelajari 10 ayat (al-Qur’an), ia tidak akan menambahnya (mempelajari ayat lain) sebelum ia benar-benar mengetahui maknanya dan mengamalkannya.” [Jami’ al-Bayan, 1:80]

Imam Ahmad (w. 241 H) juga meriwayatkan hal yang senada
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ فَلَا يَأْخُذُونَ فِي الْعَشْرِ الْأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِي هَذِهِ مِنْ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ
“... dari Abi ‘Abd al-Rahman, dia berkata: telah bercerita kepada kami orang yang pernah belajar kepada sahabat Rasulullah, sesungguhnya mereka (para sahabat) pernah mempelajari 10 ayat al-Qur’an dari Rasulullah , mereka tidak mengambil (mempelajari) 10 ayat (al-Qur’an) yang lain sebelum mereka dapat mengetahui setiap ilmu yang terdapat di dalam ayat-ayat tersebut lalu mengamalkannya.” [Musnad Ahmad, 38:466]

Dan ibn ‘Abbas menganjurkan seseorang untuk mengkaji apa – apa yang sampai dan atau didengar dari para sahabat,
قال : قال ابن عباس : إذا سمعتم منا ، شيئا فتذاكروه بينكم
“...jika kalian mendengar sesuatu dari kami, maka pelajarilah berulang-uang diantara kalian” [al-Khatib a-Baghdadiy (w. 463 H), Syaraf Ashhab al-Hadits, 1:242]

Hadits-hadits di atas juga mengindikasikan suatu metoda pembelajaran islam yaitu talqiyyan fikriyyan mu’atsiran. Yaitu transfer pemahaman yang menyeluruh lagi memberi kesan ke dalam jiwa dan memahami fakta serta kaitannya dengan berbagai informasi yang dapat memberikan pemahaman tentang fakta tersebut disertai pengerahan seluruh upaya. Hal ini bisa dipahami dari hadits tersebut bahwa para sahabat mampu memahami makna ayat dengan niqa’ wa shifa’ (pemahaman yang jernih dan wudhuh ar-ru’yah (pemahaman yang rinci/gamblang)) dan mampu menerapkan nash tersebut terhadap suatu fakta atau mengamalkan bagi dirinya.

3. Memperhatikan kondisi penuntut ilmu dan memberikan variasi, hal ini akan berdampak : (a) memberi kemudahan untuk memahami penjelasan sehingga dapat mengkristal dan memberi kesan dalam jiwa ; (b) memberikan gambaran yang jelas dan terang dengan jalan yang mudah sehingga perbedaan kadar intelektual penuntut ilmu tidak menjadi penghalang ; (c) jauh dari rasa bosan sehingga pemahaman tadi tidak menjadi sia-sia.

Imam Ahmad (w. 241 H) meriwayatkan hadits Rasulullah dalam kitabnya
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ سَمِعْتُ لَيْثًا سَمِعْتُ طَاوُسًا يُحَدِّثُ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلِّمُوا وَيَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَإِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْكُتْ
“…. Dari ibn ‘abbas dan Nabi bahwa beliau bersabda : mengajarlah kalian. Permudahlah dan jangan mempersulit. Dan bila salah seorang di antara kalian marah, maka hendaklah diam.” [Musnad Ahmad, 4:39]

 عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ مِنْ بَنِى فَزَارَةَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ إِنَّ امْرَأَتِى وَلَدَتْ غُلاَمًا أَسْوَدَ. فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « هَلْ لَكَ مِنْ إِبِلٍ ». قَالَ نَعَمْ. قَالَ « فَمَا أَلْوَانُهَا ». قَالَ حُمْرٌ. قَالَ « هَلْ فِيهَا مِنْ أَوْرَقَ ». قَالَ إِنَّ فِيهَا لَوُرْقًا. قَالَ « فَأَنَّى أَتَاهَا ذَلِكَ ». قَالَ عَسَى أَنْ يَكُونَ نَزَعَهُ عِرْقٌ. قَالَ « وَهَذَا عَسَى أَنْ يَكُونَ نَزَعَهُ عِرْقٌ »
“... dari Abu Hurairah, beliau berkata: ada seorang dari warga Fazarah menghadap Nabi seraya melapor: Sesungguhnya istriku melahirkan anak yang berkulit hitam, dan aku tidak mengakuinya; lalu Nabi bertanya kepadanya: apakah kamu mempunyai unta ? ; ia menjawab : ya ; beliau bertanya lagi : apa warna kulitnya ? ; ia menjawab : merah ; Beliau bertanya : apakah di antara unta itu ada yang berwarna keabuan ? ; ia menjawab : ada ; beliau bertanya lagi : bagaimana bisa begitu ? ; ia menjawab : mungkin dipengaruhi oleh faktor keturunan ; beliau bersabda : nah, anakmu itu juga barangkali dipengaruhi oleh faktor keturunan.”
[Hr. Muslim (w. 261 H), Shahih Muslim, 4:211]

Selain memberi kemudahan dalam penjelasan, juga seyogyanya dikondisikan agar tidak bosan. Hal ini terungkap dalam salah satu riwayat
 عن أبي وائل قال : كان عبد الله يذكر الناس في كل خميس فقال له رجل يا أبا عبد الرحمن لوددت أنك ذكرتنا كل يوم ؟ قال أما إنه يمنعني من ذلك أني أكره أن أملكم وإني أخولكم بالموعظة كما كان النبي صلى الله عليه و سلم يتخولنا بها مخافة السآمة علينا
“... dari Abu Wa’il, dia berkata : Abdullah (ibn Mas’ud) selalu mengingatkan manusia (memberi pengajaran kepada mereka) setiap hari kamis ; Maka seorang lelaki berkata kepadanya : Hai Abu Abd ar-Rahman (sebutan bagi ibn Mas’ud), demi kecintaan kami akan menjadi lebih baik jika engkau mengajari kami setiap hari ?; dia kemudian berkata : aku hanya tidak ingin kalian bosan dan sesungguhnya aku berusaha menjaga (memahami) waktu dan keadaan kalian sebagaimana Rasulullah melakukannya, hal itu tidak lain demi menjadikan kalian agar tidak bosan .”
[Hr. Bukhari (w. 256 H), Shahih Bukhari, 1:39]

Imam az-Zuhriy pernah mengungkapkan
كان الزهري يحدث ثم يقول: هاتوا من أشعاركم, هاتوا من أحاديثكم، فإن الأذن مجاجة، وإن النفس حمضة
“az-Zuhriy pada suatu saat meriwayatkan hadits, kemudian berkata : datangkan sya’ir-sya’ir kalian, datangkan kisah-kisah kalian (pada masa pra-islam). Karena telinga merupakan tempat penampungan, sedangkan hati memerlukan penyegaran. ” [ibn ‘Abd al-Barr (w. 368 H), Jami’ al-Bayan wa al-Fadhlih, 1 : 207]

Penyegaran yang dimaksud ialah penyegaran yang sesuai syari’at, guna membangkitkan semangat dan motivasi baru. Bila timbul kebosanan / kejenuhan pada diri seseorang tentu bisa menghantarkan pada “dimuntahkannya” pemikiran yang telah dipahami, dan dimuntahkannya pemahaman tadi adalah dengan mencampakkan / membuangnya sehingga tidak lagi tampak berpengaruh pada sikap.

4. Saling berbagi pemahaman. Sehingga sebagian dapat mengetahui hal-hal yang belum diketahui dari sebagian yang lain. Imam Ramahurmuziy (w. 360 H) meriwayatkan
فقال كعب يا علي أسمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول في المنجيات قال لا ولكن سمعته يقول في الموبقات فقال كعب لعلي حدثني بالموبقات حتى أحدثك بالمنجيات فقال علي سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول اَلْمُوْبِقَاتُ تَرْكُ السُّنَّةِ وَنَكْثُ الْبَيْعَةِ وَفِرَاقُ الْجَمَاعَةِ فقال كعب لعلي اَلْمُنْجِيَاتُ كَفُّ لِسَانِكَ وَجُلُوْسٌ فِي بَيْتِكَ وَبُكَاؤُكَ عَلَى خَطِيْئَتِكَ
“Ka’ab berkata kepada ‘Ali : wahai ‘Ali, apakah engkau mendengar Rasulullah bersabda tentang al-munjiyat (hal-hal yang membuat selamat) ? ; ‘Ali menjawab : tidak, akan tetapi aku mendengar beliau bersabda tentang al-mubiqat (hal-hal yang membuat hancur) ; lalu Ka’ab berkata : ceritakan kepadaku al-mubiqat itu, sehingga aku menceritakan al-munjiyat kepadamu; ‘Ali berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda , “hal-hal yang membuat hancur adalah meninggalkan sunnah, membatalkan ba’iat dan memisahkan diri dari al-jama’ah (al-Khilafah)”; lalu Ka’ab berkata kepada ‘Ali : hal-hal yang membuat selamat adalah menahan lidahmu, engkau duduk di rumah dan engkau menangisi semua kesalahanmu. ” [al-Muhaddits al-Fashil, 1 : 592]

PENGARUH HALQOH ATAS AKTIVITAS DAKWAH PARA SAHABAT

Kajian Halqoh mampu memberikan pengaruh kepada para sahabat Rasulullah dalam berdakwah, terutama pada periode Makkah ketika mereka sedang memperjuangkan tegaknya Islam untuk kali pertama. Pengaruh itu paling tidak dapat diringkas menjadi 6 poin penting sebagai berikut

1. Iltizamat al-Islamiyyah
Sesungguhnya para Sahabat adalah orang-orang yang terikat dengan iltizamat Islamiyyah, dimana seharusnya setiap muslim-pun seperti mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah berkomitmen tinggi untuk memiliki pandangan hidup yang didasarkan atas halal – haram, sehingga beramal dengan asas tersebut, termasuk didalamnya ketika mereka mengemban dakwah Islam

2. Tilawah al-Qur’an al-Karim wa Muhafizhah ‘ala as-Sunnah (tilawah al-Qur’an dan penjaga as-Sunnah)
Diketahui bahwa para sahabat ditengah kesibukan sehari-hari senantiasa membaca al-Qur’an dan menjaga sunnah Rasulullah. Karena sesungguhnya al-Qur’an adalah pedoman dalam kehidupan dan as-Sunnah ialah sarana yang paling efektif untuk semakin mendekatkan diri dengan Allah ta’ala. Dakwah di tengah masyarakat merupakan urusan yang letih dan berat, oleh sebab itu dibutuhkan sandaran yang kokoh, sementara tiada suatu sandaran yang kokoh selain kondisi dimana seseorang telah “menyandarkan dirinya” kepada Allah, yaitu dengan senantiasa melakukan amalan pada poin kedua ini.

3. Al-Ittishal bi an-Nas (kontak dengan masyarakat)
Para sahabat senantiasa melakukan kontak dakwah dengan masyarakat, dan mereka memahami pentingnya hal ini. Dan tentu tidaklah akan disebut pengemban dakwah Islam jika seseorang tidak melakukan kontak dengan masyarakat dalam rangka menyampaikan Islam juga melakukan amar ma’ruf nahyi munkar di tengah-tengah mereka.

4. Al-Muthala’ah (hal-hal yang diteliti)
Para sahabat juga senantiasa melakukan tela’ah terhadap hal-hal yang mereka butuhkan dalam dakwah, baik itu berupa tsaqafah ‘am, kajian fiqh, kajian pemikiran maupun kajian politik. Seseorang akan sangat sulit untuk bisa menyampaikan dengan penyampaian yang berkesan dalam jiwa obyek dakwah jika dirinya tidak memiliki pemahaman yang niqa’ wa shifa’ (bersih dan gamblang lagi rinci) tentang Islam, sementara pemahaman yang demikian tidak mungkin diperoleh tanpa aktivitas tela’ah.

5. At-Tattaba’ (menganalisis dengan sempurna)
Sahabat Rasulullah juga senantiasa mengikuti khabar-khabar harian, untuk kemudian dinilai dari sudut pandang Islam yaitu mengkaitkan fakta (berita) dengan berbagai informasi yang berkaitan dengannya (tsaqafah Islam) dan memberikan penilaian yang sempurna. Sementara kesempurnaan dalam penilaian itu bukanlah bawaan dari lahir, melainkan hasil usaha keras dari seseorang. Oleh sebab itu, mereka terus berupaya meningkatkan kemampuan analisis dengan senantiasa mengikuti berita-berita harian dan berupaya keras untuk menilainya dari sudut pandang Islam.

6. Iltizamat al-Hizbiyyah
Sahabat adalah orang-orang yang memiliki komitmen tinggi dalam kutlah yang dibentuk oleh Rasulullah di fase Makkah. Mereka senantiasa melakukan koordinasi dan menyusun manajemen strategi yang efisien lagi efektif guna menegakkan Islam pada saat tersebut. Hal ini tampak dalam catatan sirah, beberapa contohnya yaitu koordinasi Rasulullah dengan Khabab ibn al-‘Arats yang ditunjuk menjadi musyrif bagi Zainab ibn al-Khaththab dan Sa’id (suami Zainab); juga koordinasi Rasulullah dengan Dhimad dalam mengislamkan kaumnya yang kemudian diputuskan dengan mengirimkan beberapa orang musyrif bagi mereka. Masih banyak lagi contoh dalam hal ini, perkara-perkara yang menunjukkan bahwa Sahabat memiliki komitmen tinggi atas fikrah dan thariqah – uslub dari kutlah yang dibentuk oleh Rasulullah.


PENUTUP

Demikian penjelasan mengenai aktivitas halqoh di kalangan sahabat dan pengaruhnya dalam dakwah Islam. Diharapkan tambahnya pemahaman terhadap aktivitas halqoh berbanding lurus dengan aktivitas dakwah para pengemban dakwah di tengah-tengah umat dan mempercepat tertegaknya syari’at Islam di muka bumi ini. Wallahu a’lam bish shawwab (Ummu Hana')

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages