Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Thursday, January 21, 2010

Paradigma Pendidikan

 


Kehidupan masyarakat yang saat ini diwarnai dengan berbagai problematika sosial telah menggoreskan keprihatinan mendalam di benak setiap insan. Sebab itulah rumusan penyelesaian masalah yang menyentuh akar problematika menjadi kebutuhan mendesak. Rumusan itu disusun dengan memperhatikan tiga aspek yang senantiasa melekat dalam masyarakat, yaitu pemikiran, perasaan, serta seperangkat aturan yang mengatur interaksi individu-individu didalamnya.

Berdasarkan realita tersebut, problematika sosial dalam masyarakat muncul karena ada dua sebab: (a) adanya pemikiran dan perasaan yang rusak lagi berkembang; (b) seperangkat aturan yang tidak mampu menyelesaikan problematika sehingga perlu dicermati dan ditinjau ulang. Oleh karena itu, rumusan penyelesaian masalah yang tertuang dalam metode perubahan harus mampu meluruskan pola pikir dan pola sikap individu dalam tubuh masyarakat sehingga membentuk kesadaran umum, kemudian masyarakat akan menilai apakah aturan yang telah diterapkan merupakan aturan yang benar atau salah, dan menggagas aturan yang mampu menjadi solusi bagi setiap permasalahan.

Metode yang dapat dilakukan untuk merubah pemikiran dan perasaan yang rusak dalam masyarakat adalah dengan senantiasa menampakkan pemahaman yang lurus disamping pemahaman yang bengkok. Hal ini merupakan perkara yang penting dan harus dilakukan secara terus-menerus hingga tumbuh kesadaran umum yang muncul dari pengaruh individu-individu yang sadar. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk merealisasikan metode ini ialah dengan memberikan pemahaman kepada para pendidik tentang paradigma pendidikan berbasis nilai.

Pendidik ialah sosok penting dan merupakan ujung tombak dalam keberlangsungan pendidikan suatu negara. Melalui institusi pendidikan jugalah dapat dilakukan dua hal, yaitu (a) mendidik generasi penerus kepemimpinan; (b) menjalin kerjasama dengan orang tua dari peserta didik dan masyarakat untuk menciptakan nuansa edukasi yang positif bagi terciptanya generasi unggul dalam rangka membangun peradaban yang agung.

Pendidikan berbasis nilai lahir dari sebuah pandangan yang khas mengenai pengetahuan. Klasifikasi pengetahuan terdiri dari dua, yaitu tsaqafah (budaya khas dari suatu peradaban) dan ilmu (ilmu kehidupan). Yang akan di bahas dalam tulisan ini adalah tentang paradigma pendidikan berbasis nilai yang mewarnai pembelajaran ilmu (ilmu kehidupan).

Ilmu ('ilm) dalam bahasa arab memiliki akar kata yang sama dengan 'alamat (tanda/indikasi) dan 'alam (alam). Ilmu (al-'ilm) sendiri dapat bermakna kesadaran yang hakiki tentang sesuatu (mu'jam lughah al-fuqaha, 384). Berdasarkan informasi tersebut dapat dikatakan bahwa seseorang akan memperoleh kesadaran yang hakiki tentang sesuatu yang ada di alam jika ia memiliki kemampuan untuk memahami indikasi yang melekat di alam, dimana segala sesuatu yang dapat diindera dari alam itu sendiri ialah alam semesta, kehidupan dan manusia. Dan kemampuan itu hanya dapat diperoleh bila terjadi transfer pemahaman antara seorang pendidik dengan peserta didik.

Proses transfer pemahaman antara pendidik dengan peserta didik harus terjadi dalam nuansa paradigma pendidikan berbasis nilai. Paradigma pendidikan berbasis nilai sendiri dibangun dari beberapa nilai yang saling berhubungan dan tidak berdiri sendiri, yaitu (a) nilai ruhiyyah (idrak shillah billah), yaitu menyadari bahwa makhluk memiliki hubungan dengan Pencipta alam; (b) nilai 'aqliyyah, yaitu membangun pandangan atas suatu konsep ilmu dengan pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang; (c) nilai riyaasah dan ta'dib, yaitu penguasaan ilmu diarahkan untuk pengembangan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang berkaitan dengan upaya mengurusi urusan masyarakat dan diwujudkan dalam pembentukan pemahaman dan kecenderungan prilaku yang mengacu pada konsep yang benar. Berikut penjelasan masing-masing nilai tersebut:

Nilai ruhiyah yaitu kesadaran akan hubungan manusia dengan Pencipta alam. Kesadaran ini berkaitan erat dengan aspek kerohanian yang melekat pada alam semesta, manusia dan hidup, yaitu bahwa ketiganya merupakan ciptaan dari Pencipta. Realita yang ada tidak bisa menafikan eksistensi Pencipta dan adanya hubungan antara yang diciptakan dengan Penciptanya.

Sebagai salah satu bukti bahwa melekatnya aspek kerohanian pada alam ialah perubahan air menjadi es memerlukan suhu dengan tingkat derajat tertentu. Tingkat derajat tertentu (kadar) ini tidak berasal dari air, karena jika kadar itu berasal dari air maka seharusnya air dapat berubah sekehendaknya tapi ini tidak terjadi di alam. Kadar itu juga tidak berasal dari suhu, karena jika kadar berasal dari suhu maka seharusnya pada suhu berapapun air akan berubah menjadi es, hal ini juga tidak terjadi di alam. Sudah dapat dipastikan bahwa kadar itu ditentukan oleh Sesuatu yang lain yang bukan materi dan tidak membutuhkan yang lain sebagaimana air dan suhu. Materi atau sesuatu yang membutuhkan kepada yang lain pasti diciptakan. Sebab sesuatu yang lemah pasti tidak dapat membuat kadar bagi dirinya sendiri atau bahkan menciptakan dirinya sendiri. Ini menjadi bukti bahwa Pencipta alam ini memang benar adanya.

Nilai ruhiyyah dan aspek kerohanian memiliki kedudukan yang penting dalam proses pembelajaran karena realita yang ada tidak dapat lepas dari aspek kerohanian. Aspek kerohanian inilah yang seharusnya diwujudkan menjadi kesadaran akan hubungan Pencipta dengan alam semesta. Oleh karena itu, nilai ruhiyyah harus menjadi inti yang mewarnai suasana setiap proses pembelajaran sehingga pembelajaraan berlangsung dalam nuansa taat sebagai bentuk ibadah kepada Pencipta alam.

Proses transfer pemahaman dari pendidik kepada peserta didik harus mampu mewujudkan nilai ruhiyyah di dalam kegiatan pembelajaran. Bagaimana dengan pembelajaran di sekolah umum? bukankah nilai ruhiyyah itu berkaitan dengan keyakinan seseorang?

Nilai ruhiyyah tetap bisa diterapkan oleh pendidik di sekolah umum, karena yang bersekolah di sekolah umum adalah anak-anak yang memiliki agama. Selain itu, Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum disusun sesuai jenjang pendidikan dengan memperhatikan peningkatan iman dan takwa. Perlu diketahui bahwa pendidikan berbasis nilai ruhiyyah tidak dapat disamakan dengan memaksakan keyakinan kepada orang lain. Pendidikan berbasis ruhiyyah terwujud dalam rangka teaching for thinking.

Kemampuan berpikir yang menumbuhkan kesadaran akan hubungan dengan Pencipta tidak akan tercapai jika tidak disampaikan realita sebagaimana adanya dan tidak berusaha membangun nilai ruhiyyah dalam proses pembelajaran. Sebab penyampaian realita tanpa dorongan untuk berpikir hanya bernilai informasi belaka. Disebutkan dalam Seminar Pendidikan Nasional tahun 1989, "suatu penyebab rendahnya produktivitas pendidikan adalah kelemahan mengajar yang tidak meningkatkan higher order thinking skill yaitu pendidik tidak mengembangkan kemampuan berpikir peserta didiknya..." (Jurnal Kependidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Dr.Suroso, 2008:43).

Nilai aqliyyah yaitu membangun paradigma atas suatu konsep ilmu dengan pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang. Nilai aqliyyah akan berjalan seiring dengan intensifnya metode rasional pada pendidik dan peserta didik. Metode rasional digunakan dalam pengkajian objek-objek material yang dapat diindera, misalnya pada fisika. Kemudian dalam pengkajian pemikiran-pemikiran, misalnya pengkajian akidah dan sistem perundang-undangan. Juga dalam upaya memahami pembicaraan, misalnya pengkajian sastra dan hukum.

Pembelajaran berbasis nilai aqliyyah ini mendorong pendidik untuk bisa membedakan antara opini dan informasi yang akurat, kemudian menggunakan informasi yang akurat dan mengabaikan opini dalam penyajian materi. Hal ini penting, mengingat opini sendiri banyak yang hanya dibangun dari dorongan perasaan atau naluri tanpa pengkajian pemikiran yang disertai dengan argumentasi kuat. Jika hanya opini yang digunakan dalam penyajian materi maka akan mengakibatkan pembelajaran berlangsung dalam nuansa mencari pembenaran bukan dalam rangka mencari kebenaran.

Sebagai contoh, dalam pembelajaran fisika ada pernyataan bahwa energi tidak diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan. Pendidik harus memandang permasalahan ini dengan pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang. Bagaimana mungkin sesuatu yang berada dalam ruang dan waktu itu ada tanpa diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan? Suatu sistem dikatakan memiliki energi jika mampu melakukan usaha, maka berdasarkan konsep tersebut, makhluk yang sudah mati pun memiliki energi. Namun berdasarkan informasi yang akurat, tidak ada usaha yang dapat dilakukan oleh makhluk yang sudah mati. Adapun perubahan fisik dari makhluk yang sudah mati tidaklah berada dalam wilayah usaha makhluk itu. Jika perubahan fisik merupakan usaha setelah makhluk tersebut mati, tentu seluruh makhluk yang sudah mati dapat berbuat sekehendaknya, yaitu tidak merubah bentuk fisiknya sendiri; hal ini tentunya tidak terjadi di alam. Dengan demikian, konsep ini seyogyanya perlu dicermati dan dikaji ulang.

Selanjutnya, nilai riyaasah yaitu penguasaan ilmu diarahkan untuk pengembangan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang berkaitan dengan upaya mengurusi urusan anggota masyarakat dan nilai ta'dib yaitu mengajarkan al-adab dan al-adab sendiri bermakna ma'rifah (pengetahuan) yang senantiasa mencegah orang yang memilikinya terjerumus ke dalam berbagai jenis kesalahan (at-Ta'rifaat, 29). Seorang peserta didik adalah calon pemimpin, kelak yang membedakan diantara mereka hanya ruang lingkup kepemimpinannya. Oleh karena itu, pendidik memiliki tanggung jawab dalam membentuk calon-calon pemimpin di masa mendatang, mendidik mereka agar memiliki penguasaan pengetahuan berdasarkan kaidah yang benar, sehingga mampu memiliki tujuan dengan unsur kreasi (al-Insya') dan pengembangan (al-Irtiqa'). al-insya' ialah orang yang menghasilkan sesuatu yang baru, berupa solusi baru, penjelasan pemikiran lama atau impementasi pemikiran berdasarkan kaidah yang benar. Dan al-irtiqa' ialah orang terus mendaki ke atas bekal pemahaman, memiliki pengaruh pandangan jelas dan kemampuan dalam kehidupan.

Dalam hal ini, nilai riyaasah memiliki hubungan erat dengan nilai ta'dib sebagaimana hubungan dengan nilai-nilai yang lain. Penyajian materi pelajaran dalam nuansa nilai ta'dib harus diarahkan agar terbentuknya pola sikap yang lahir dari kecendrungan dan pemahaman yang benar tentang sesuatu agar peserta didik memiliki kemampuan untuk menghindari diri dari kesalahan, setidaknya tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Sebagai contoh, ketika mengkaji fenomena sosial yang berkaitan dengan pergaulan bebas remaja yang begitu memprihatinkan, pendidik harus mampu menjelaskan pemenuhan kebutuhan seksual ala pergaulan bebas tidak pantas dilakukan, meskipun dengan dalih mengikuti tren kekinian atau saling menyukai, karena dalih ini memiliki kelemahan mendasar yaitu membuat hukum berdasarkan akal manusia dan menjadikan realitas rusak sebagai standar acuan. Pertama, akal manusia yang merupakan anugerah Pencipta alam harusnya digunakan dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh-Nya, ketika manusia menetapkan suatu penilaian maka seyogyanya dikaitkan dengan hubungan antara hidup yang sekarang dengan kelak ketika hidup itu berakhir yaitu hubungan pertanggungjawaban; kedua, apakah kita akan ikut masuk jurang ketika orang lain banyak masuk jurang ? atau apakah kita akan mempersilahkan saudari kita dipergauli dengan bebas hanya karena sudah menjadi tren bagi orang lain?, tentu logika mayoritas tidak dapat dijadikan standar acuan dalam perbuatan.

Walhasil, paradigma pendidikan berbasis nilai yang ditanamkan dalam benak pendidik merupakan kebutuhan mendesak. Akankah negeri yang makmur ini hanya hendak mencetak generasi dalam rangka rutinitas pendidikan atau kelulusan belaka tanpa pandangan visioner yang mampu diimplementasikan pada tataran operasional? Kini, sudah saatnya kita berupaya mencetak generasi-generasi yang mampu membangun negeri yang memiliki peradaban yang agung.




Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages