Fakta Kehidupan
Kaum muslimin saat ini berada dalam kemunduran. Kemunduran itu dapat dilihat dari berbagai fakta yang saat ini melekat pada kaum muslimin. Kondisi seperti ini pernah dikhabarkan oleh Rasulullah, sebagaimana yang terungkap dalam beberapa hadits. Rasulullah pernah bersabda,
إِنَّ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمًا يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الْإِسْلَامِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الْأَوْثَانِ
‘sungguh akan ada dari umat ini sekelompok orang yang senantiasa membaca al-Qur’an tapi tidak sampai ke tenggorokan, dia membunuh ahl Islam dan membela ahl Thaghut’ [Hr. Imam Muslim, Shahih Muslim, 5: 296, hadits no.1762]
-2حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ الْحَارِثِ التَّيْمِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَخْرُجُ فِيكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ وَصِيَامَكُمْ مَعَ صِيَامِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنْ الرَّمِيَّةِ
‘akan keluar satu golongan dari kalian yang kalian menganggap kecil shalat kalian dibandingkan shalat mereka, dan kecil puasa kalian dibanding puasa mereka, serta kecil pula amalan kalian dibanding amalan mereka, (tapi) mereka membaca al-Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan, mereka keluar dari ketaatan bagaikan anak panah melesat dari busurnya.’ [Hr. Imam Bukhari, Shahih Bukhari, 15 :485 hadits no.4670]
-3حَدَّثَنِى سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ حَدَّثَنِى زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ ». قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ « فَمَنْ »
‘sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawakpun kalian mengikutinya. Para sahabat bertanya,’Wahai Rasulullah, (apa yang dimaksud) Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab,’Siapa lagi (kalau bukan mereka)’’ [Hr. Imam Muslim, Shahih Muslim, 17:219, hadits no.6952]
Penguasa negeri – negeri Islam banyak yang melakukan penindasan bahkan pembunuhan terhadap orang – orang yang menyeru untuk kembali hidup dalam naungan Islam, dakwah mereka yang tanpa kekerasan dibalas dengan kekerasan. Ada ulama – ulama jahat, mereka menghalalkan apa – apa yang Allah haramkan dan mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah. Padahal telah nyata firman Allah ta’ala dalam salah satu ayat al-Qur’an, Dia telah berfirman
وَلَا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلَالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ
“janganlah kalian mengatakan terhadap apa yang disebut oleh lidah kalian secara dusta ‘ini halal’ dan ‘ini haram’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah.” [Qs. an-Nahl 16: 116]
Ulama – ulama jahat itu telah keluar dari ketaatannya kepada Allah dan Rasulullah. Kata الدِّينِ bermakna خضع و ذل و أطاع “ketundukan – kepatuhan dan ketaatan” [al-Mu’jam al-Wasith, 1:637, bag. (دان)]. Begitu juga dalam bahasa Arab disebutkan قوم دين artinya “kaum yang taat peraturan”. Ulama – ulama jahat tersebut tidak lagi menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebaga rujukannya dalam menilai atau menghukumi suatu perkara.Disisi yang lain, kehidupan sosial umat Islam telah kehilangan jati diri. Artinya bahwa umat telah mengabaikan pemahaman yang berdasarkan Islam, terbukti dengan tingkah laku keseharian yang mengikuti paham – paham selain Islam. hadits yang ketiga bermakna umum sebagaimana yang diungkapkan oleh Imam Syathibi dalam kitabnya yang diringkas,
وهذا عام في المخالفات، ويدل على ذلك من الحديث قوله: ((حتى لو دخلوا في جحر ضب لاتبعتموهم)).
“hadits ini pengertiannya umum, meliputi semua bentuk penyimpangan, dan itu ditunjukkan oleh perkataan (sampai seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian akan mengikutinya)” [Syaikh Abd. Qadir as-Saqqaf, Mukhtashar Kitab al-I’tisham Imam Syathibi, 1:8]
Buah dari kemunduran kehidupan kaum muslimin saat ini ialah mereka hidup dalam kesempitan dan ketakutan. Kesulitan dalam kehidupan ekonomi, pendidikan, kesehatan. Ketakutan karena kehidupan sosial yang rusak, politik yang menyimpang, keamanan yang tidak terjamin. Kemunduran ini dapat dikembalikan pada sebab yang satu yaitu tidak lagi hidup dalam Islam.
Sebab Kemunduran Umat Islam
Allah telah berfirman,
وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ آَمِنَةً مُطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللَّهِ فَأَذَاقَهَا اللَّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوا يَصْنَعُونَ
“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” [Qs. an-Nahl 16: 112]
Dalam ayat ini ada pelajaran yang luar biasa, dimana suatu negeri yang mampu memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya berubah menjadi negeri yang penuh kesempitan dan ketakutan. Kebutuhan dasar rakyat yang mampu dipenuhi dijelaskan dalam ayat tersebut, yaitu (a) aminah memiliki makna tidak takut. Imam as-Syaukani mengungkapkan
{ كَانَتْ ءامِنَةً } غير خائفة
“tidak takut.” [Fath al-Qadir, 4:271]
Artinya bahwa negeri itu aman; (b) muthma’innah berarti tidak ada kecemasan. Imam as-Syaukani mengungkapkan,
{ مُّطْمَئِنَّةً } غير منزعجة
“tidak cemas.” [Fath al-Qadir, 4:271]
Maksudnya ialah penduduknya merasa tenteram sehingga tidak ingin pindah ke tempat yang lain. Seperti yang di ungkapkan oleh Imam al-Baghawi,
قارة بأهلها، لا يحتاجون إلى الانتقال للانتجاع
“tempat yang tenteram bagi penduduknya, tidak ada keinginan untuk pindah ke tempat yang lain.” [معالم التنزيل, 5:48]
(c) ya’tiha rizquha raghad [an] min kulli makan berarti ada kemudahan yang luas lagi baik. Imam ibn Katsir mengungkapkan
قال هاهنا: { يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا } أي: هنيئها سهلا
“kami telah berkata terkait firman-Nya { rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat } yaitu enak lagi aman.” [tafsir al-Qur’an al-‘azhim, 4:608]
Imam al-Biqa’i mengungkapkan,
{ رزقها رغداً } أي واسعاً طيباً
“{ rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat } yaitu luas lagi baik.” [نظم الدرر, 5:6]
Maksudnya bahwa dapat dengan mudah memperoleh rezeki, bahkan dapat dengan mudahnya tersebut dideskripsikan datang dari segala arah dan penjuru min kulli makan (dari segenap tempat). Atas tiga kebutuhan dasar tersebut, Imam ar-Razi mengungkapkan,
قوله : { ءَامِنَةً } إشارة إلى الأمن ، وقوله : { مُّطْمَئِنَّةً } إشارة إلى الصحة، { يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّن كُلِّ مَكَانٍ } إشارة إلى الكفاية
“{‘aminah} mengisyaratkan keamanan; {muthma’innah} mengisyaratkan kesehatan dan {ya’tiha rizquha raghadan min kulli makan} mengisyaratkan ketercukupan.” [mafatihul ghaib, 9:477]
Sejalan dengan itu, Imam Alusi mengungkapkan hal yang senada
فآمنة إشارة إلى الأمن و { مُّطْمَئِنَّةً } إلى الصحة و { يَأْتِيهَا رِزْقُهَا } الخ إلى الكفاية
[ruh al-ma’ani, 10:320]
Kaum muslimin, sungguh pernah hidup di negeri – negeri yang penuh keberkahan seperti yang diungkapkan dalam ayat ini. Yaitu ketika kaum muslimin hidup dalam naungan Islam, bersatu dalam daulah Khilafah Islamiyah dan hidup dengan aturan Islam semata.
Adapun ketika kaum muslimin tidak lagi hidup dalam naungan Islam karena perbuatan sendiri, maka keberkahan itu hilang. Tidak mensyukuri sebagian kenikmatan yang diberikan Allah ta’ala kepada mereka berupa tegaknya hukum Islam sehingga menciptakan keadaan yang memberikan jaminan keamanan, kesehatan dan tercukupinya rezeki. Imam ibn Jazairi mengungkapkan dalam kitab tafsirnya,
{ فكفرت بأنعم الله } وهي تكذيبها برسول الله صلى الله عليه وسلم وإنكارها للتوحيد ، وإصرارها على الشرك وحرب الإسلام
“{fakarat bi an’umiLlah (tetapi penduduknya mengingkari nikmat – nikmat Allah )} yaitu mendustakan Rasulullah r, mengingkari tauhid, tetap bersikukuh dengan kemusyrikan, dan memerangi Islam.” [أيسر التفاسير, 2:325]
Kenikmatan itu diingkari dengan tidak lagi berhukum dengan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Tidak berhukum dengan hukum Islam disebabkan penentangan dan penolakan merupakan bentuk pendustaan terhadap Rasulullah dan mengingkari nilai ketauhidan. Dengan berhukum dari selain hukum Islam disertai pengunggulan atas hukum buatan manusia atas hukum Islam merupakan bentuk ketundukan pada thaghut yang telah memerangi Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Dalam tataran individu memang sebagian syariah Islam masih dijalankan oleh sebagian umat Islam, namun dalam tataran negara, syariah Islam tidak dijadikan aturan yang mengatur kehidupan masyarakat. Sehingga berbagai kerusakan muncul, baik dari sisi kerusakan lingkungan akibat eksplorasi yang didasarkan atas Kapitalisme – Sekularisme; begitu juga kerusakan prilaku dengan maraknya homoseksual, aborsi, korupsi, pembunuhan, perampokan; dari sisi kerusakan akidah juga terjadi dimana manusia menjadi budak dari manusia lain dan atau budak harta juga kedudukan. Kondisi ini tidaklah akan berubah tanpa generasi dari umat Islam merubah keadaannya sendiri. Allah ta’ala telah berfirman,
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” [Qs. ar-Ra’d 13: 11]
Bangkit Dari Kemunduran
Kebangkitan memerlukan kesadaran, kesadaran yang dibangun dari pemahaman Islam. Upaya mewujudkan kesadaran ini membutuhkan keseriusan dalam mengkaji Islam dan mendakwahkan Islam di tengah – tengah masyarakat, serta melakukan pengontrolan terhadap kebijakan – kebijakan pemerintah. Islam merupakan peradaban yang tinggi, untuk menegakkanny kembali membutuhkan generasi – generasi yang memiliki aqliyah islamiyah dan nafsiyah islamiyah, dan untuk membangun aqliyah dan nafsiyah Islamiyah membutuhkan pondasi yang kokoh. Imam Ibn Qayyim mengungkapkan,
فإن علو البنيان على قدر توثيق الأساس وإحكامه فالأعمال والدرجات بنيان وأساسها الإيمان ومتى كان الأساس وثيقا حمل البنيان واعتلى عليه
“barangsiapa yang menghendaki bangunan tinggi, harus mengokohkan pondasinya; lalu memperkuat lagi memperhatikannya. Amal perbuatan dan derajat ibaratkan suatu bangunan, sedangkan dasarnya ialah keimanan. Apabila asasnya kokoh akan bisa memikul bangunan dan apa yang berada di atasnya.”
Beliau melanjutkan, bahwa asas itu ada dua asas tersebut, yaitu
وهذا الأساس أمران صحة المعرفة بالله وأمره وأسمائه وصفاته والثاني تجريد الانقياد له ولرسوله دون ما سواه
“dan pondasi ini ialah (1) ma’rifat kepada Allah dengan ma’rifat yang benar lagi kokoh, memahami perintah dan juga laranganNya, asma’ dan juga sifat-sifat-Nya; (2) memurnikan ketaatan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya bukan kepada yang lain.” [al-Fawa’id, 1:155-156]
Pertama, Aktivitas membangun pemahaman melalui kajian – kajian yang membahas Islam secara keseluruhan. Para sahabat Rasulullah banyak memberikan nasehat mengenai hal ini,
وقال عمر تفقهوا قبل أن تسودوا
“ dan Umar telah berkata, ‘belajarlah sebelum kalian memimpin..’.” [Ibn Hajar, Fath al-Bariy, 1:166]
Imam Khatib a-Baghdady menukil perkataan ibn ‘Abbas, bahwa beliau pernah mengatakan,
أخبرنا أبو طالب محمد بن الحسين بن أحمد بن عبد الله بن بكير ، قال : أخبرنا عبد الله بن إبراهيم بن ماسي ، قال : أخبرنا أبو أحمد بن عبدوس ، قال : حدثنا أبو معمر ، قال : حدثنا عبد السلام بن حرب ، عن حجاج ، عن عطاء ، قال : قال ابن عباس : « إذا سمعتم منا ، شيئا فتذاكروه بينكم »
“ jika kalian mendengar sesuatu dari kami, maka pelajarilah diantara kalian” [al-Khatib a-Baghdadiy, Syaraf Ashhab al-Hadits, 1:242]
Menurut suatu riwayat, bahwa Rasulullah telah membina para sahabat sehingga mereka memiliki pemahaman Islam dan berprilaku sejalan dengan Islam. Rasulullah membangun pondasi keimanan para sahabat dan menganjurkan mereka memahami dan mengamalkan al-Qur’an dan as-Sunnah. Dalam riwayat disebutkan,
حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ نَجِيحٍ - وَكَانَ ثِقَةً - عَنْ أَبِى عِمْرَانَ الْجَوْنِىِّ عَنْ جُنْدُبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ فَتَعَلَّمْنَا الإِيمَانَ قَبْلَ أَنْ نَتَعَلَّمَ الْقُرْآنَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا الْقُرْآنَ فَازْدَدْنَا بِهِ إِيمَانًا ».
“sewaktu kami masih remaja, kami pernah (belajar) bersama Rasulullah. Dari beliau kami mempelajari keimanan sebelum kami mempelajari al-Qur’an. Sehingga, ketika kami mempelajari al-Qur’an, maka keimanan kami akan semakin bertambah.” [Hr. Ibn Majah, Sunan ibn Majah, 1:74 no.64]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ عَطَاءٍ عَنْ أَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا مَنْ كَانَ يُقْرِئُنَا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُمْ كَانُوا يَقْتَرِئُونَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَشَرَ آيَاتٍ فَلاَ يَأْخُذُونَ فِى الْعَشْرِ الأُخْرَى حَتَّى يَعْلَمُوا مَا فِى هَذِهِ مِنَ الْعِلْمِ وَالْعَمَلِ. قَالُوا فَعَلِمْنَا الْعِلْمَ وَالْعَمَلَ
“telah bercerita kepada kami orang yang pernah belajar kepada sahabat Rasulullah, sesungguhnya mereka (para sahabat) pernah mempelajari 10 ayat al-Qur’an dari Rasulullah. Mereka tidak mempelajari 10 ayat yang lain sebelem mereka paham dan mengamalkannya. [Hr. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, 51:230 no.24197]
Aktivitas membangun pemahaman ini tidak lain untuk mewujudkan kepribadian Islam, membentuk pola pikir Islam dan pola sikap Islam. Ibn Mas’ud pernah mengungkapkan,
وقال ابنُ مسعودٍ :... وابتغُوا بقولِكُم وفعلِكم ما عندَ اللهِ، فإنَّه يبقَى ويذهبُ ما سواهُ.
“telah berkata ibn Mas’ud... dan ikutilah perkataan dan perbuatan kamu dengan apa-apa yang ada disisi Allah, sesungguhnya yang disisinya akan kekal dan yang menyelisihinya akan sirna. [Ibn Rajab, Jami’ul Ulum wal Hikam, 3:29]
Kedua, Aktivitas berdakwah di masyarakat adalah untuk membangun kesadaran di tengah – tengah masyarakat demi terciptanya kondisi dimana masyarakat memiliki pemahaman umum bahwa seluruh urusan harus diatur dengan aturan Islam semata. Pengemban dakwah ialah orang yang menyeru kepada suatu pemikiran. Dalam kitab al-Mu’jam al-Wasith disebutkan
( الداعية ) الذي يدعو إلى دين أو فكرة ( الهاء للمبالغة )
“(ad-da’iyyah) ialah orang yang menyeru pada din (aturan tertentu) atau suatu pemikiran (al-Ha’ sebagai lil mubalaghah)”
Abu Amr ibn ash-Shalah mengungkapkan,
والنصيحة كلمة جامعة تتضمن قيام الناصح للمنصوح له بوجوه الخير إرادة وفعلا
“nasehat ialah kata universal yang mencakup pengerjaan oleh pemberi nasehat terhadap sejumlah kebaikan dan bentuk kecenderungan (keinginan) dan amal perbuatan”
Selanjutnya beliau mengungkapkan,
والنصيحة لعامة المسلمين وهم ها هنا من عدا أولى الأمر منهم إرشادهم إلى مصالحهم وتعليمهم أمور دينهم ودنياهم وستر عوراتهم وسد خلاتهم ونصرتهم على أعدائهم والذب عنهم ومجانبة الغش والحسد لهم وأن يحب لهم ما يحب لنفسه ويكره لهم ما يكرهه لنفسه وما شابه ذلك
“dan nasehat kepada seluruh kaum Muslimin adalah membimbing mereka pada kemaslahatan-kemaslahatan, mengajari mereka dalam perkara din (Islam) dan dunia, menutup aurat mereka, menutup celah mereka, menolong mereka dalam menghadapi musuh mereka, membela mereka, tidak menipu dan dengki kepada mereka, mencintai untuk mereka apa yang dicintai untuk diri sendiri, benci untuk mereka apa yang dibenci untuk diri sendiri, dan lain-lain.” [ 1:221-222 صيانة صحيح مسلم ibn ash-Shalah]
Aktivitas ini penting, sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits. Bahwa Rasulullah pernah bersabda,
وعن علقمة بن سعيد بن عبد الرحمن بن أبزى عن أبيه عن جده قال خطب رسول الله صلى الله عليه و سلم ذات يوم فأثنى على طوائف من المسلمين خيرا ثم قال ما بال أقوام لا يفقهون جيرانهم ولا يعلمونهم ولا يعظونهم ولا يأمرونهم ولا ينهونهم وما بال أقوام لا يتعلمون من جيرانهم ولا يتفقهون ولا يتعظون والله ليعلمن قوم جيرانهم ويفقهونهم ويعظونهم ويأمرونهم وينهونهم وليتعلمن قوم من جيرانهم ويتفقهون ويتعظون أو لأعاجلنهم العقوبة ثم نزل فقال قوم من ترونه عنى بهؤلاء قال الأشعريين هم قوم فقهاء ولهم جيران جفاة من أهل المياه والأعراب فبلغ ذلك الأشعريين فأتوا رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالوا يا رسول الله ذكرت قوما بخير وذكرتنا بشر فما بالنا فقال ليعلمن قوم جيرانهم وليعظنهم وليأمرنهم ولينهونهم وليتعلمن قوم من جيرانهم ويتعظون ويتفقهون أو لأعاجلنهم العقوبة في الدنيا فقالوا يا رسول الله أنفطن غيرنا فأعاد قوله عليهم فأعادوا قولهم أنفطن غيرنا فقال ذلك أيضا فقالوا أمهلنا سنة فأمهلهم سنة ليفقهوهم ويعلموهم ويعظوهم ثم قرأ رسول الله صلى الله عليه و سلم هذه الآية لعن الذين كفروا من بني إسرائيل على لسان داود وعيسى ابن مريم المائدة 78 الآية
“dari ‘Alqamah ibn Sa’id ibn ‘Abd al-Rahman ibn Abza, dari ayahnya, bahwasannya kakeknya berkata,’pada suatu khutbah Rasulullah saw menyinggung perihal kelompok umat Islam yang tidak (enggan) memberikan pemahaman kepada orang lain, tidak (enggan) mengajarkan mereka, dan tidak (enggan) berusaha mencerdaskan mereka, tidak (enggan) memerintahkan mereka berbuat baik dan tidak (enggan) mencegah mereka dari kemungkaran. Disamping ini, ada yang tidak (enggan) belajar orang lain, tidak (enggan) mencari pemahaman, dan tidak (enggan) meminta nasehat. Demi Allah, suatu kaum (bagian dari umat Islam) hendaknya mengajari kaum yang lain, memberikan mereka pemahaman, dan mencerdaskan mereka, memerintahkan mereka berbuat baik serta mencegah mereka dari kemungkaran. Selain itu hendaknya suatu kaum (bagian dari umat Islam) mau belajar dari kaum lain (yang lebih faqih), berusaha mencari pemahaman dari mereka dan mendengarkan nasehat mereka. Karena jika tidak demikian, maka mereka mengharapkan agar disegerakan hukuman (dari sisi Allah). Kemudian beliau turun (dari mimbar). Berkata para hadirin,’golongan siapakah yang disinggung Rasulullah?’ Hadirin yang lain menjawab,’Asy’ariyyin, mereka adalah kauum yang faqih sementara tetangga mereka adalah kaum pedalaman yang berprilaku kasar.’ Perkataan ini didengar oleh asy’ariyyin, kemudian mereka langsung mendatangi Rasulullah saw. dan bertanya,’Wahai Rasulullah, mengapa engkau memuji suatu kaum dengan kebaikan dan engkau sebut kami kaum yang tidak baik.’ Rasulullah saw. menjawab,’hendaknya suatu kaum (yang faqih) mengajarkan kaum yang lain, mencerdaskan mereka, memerintahkan mereka berbuat baik dan mencegah mereka dari kemungkaran dan hendaknya suatu kaum belajar kepada kaum lain (yang lebih faqih), mendengarkan nasehat mereka dan mencari pemahaman dari mereka. Jika tidak demikian mereka mengharapkan hukuman (dari sisi Allah) di dunia’. Mereka berkata,’apakah kami harus mencerdaskan orang lain?’ Rasulullah saw. mengulangi sabdanya, mereka berkata lagi,’apakah kami harus mencerdaskan orang lain?’ Rasulullah saw. kembali mengulangi sabdanya. Mereka akhirnya berkata,’berilah kamu waktu satu tahun’. Maka Rasulullah saw. memberi mereka waktu satu tahun untuk memahamkan orang lain, mengajari mereka dan mencerdaskan mereka. Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat 78 al-Ma’idah,’Orang-orang kafir Bani Israil telah mendapatkan laknat (dari Allah) melalui isan Daud dan Isa ibn Maryam...’” [al-Hafidz al-Munziri, al-Targhib wa al-Tarhib, 1:71-72 no.204]
Membangun kesadaran di tengah – tengah masyarakat dengan menjelaskan kebenaran Islam dan mengungkapkan kesalahan sistem buatan manusia yang diterapkan dalam masyarakat. Sehingga tampak jelas di tengah – tengah masyarakat yang benar adalah benar yaitu Islam dan yang salah ialah salah yaitu segala sesuatu yang menyelisihi Islam. Untuk diperlukan adanya kebersamaan dalam berdakwah di tengah – tengah masyarakat, mengingat aktivitas ini membutuhkan kekuatan dan hubungan antara pengemban dakwah dan juga hubungan yang solid antara pengemban dakwah dengan elemen – elemen di dalam masyarakat.
Sudah saatnya, kaum muslimin menyadari bahwa mereka berada dalam kemunduran dan segera bangkit dari kemunduran itu. Berdiam diri dalam kondisi kemunduran umat merupakan bentuk perbuatan yang salah dan wujud tidak berbelas kasihan. Ingatlah, Rasulullah r telah bersabda,
مَنْ لاَ يَرْحَمُ لاَ يُرْحَمُ
“barangsiapa yang tidak berbelas kasihan, maka dia tidak dikasihani.” [Hr. Imam Bukhari, Shahih Bukhari, 20:96]
Dan Rasulullah juga telah bersabda,
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ
“Muslim itu saudara muslim lainnya, dia tidak boleh berbuat aniaya dan tidak boleh menjerumuskannya.”[Hr. Imam Ahmad, Musnah Ahmad, 12:307]
Dalam kitab ibn Abi ad-Dunya diungkapkan
36 - حدثنا عبد الله ، نا خلف بن هشام ، نا حزم بن أبي حزم ، قال : سمعت الحسن ، يقول : إن رجلا من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « والذي نفسي بيده ، لئن شئتم لأقسمن لكم بالله ، أن أحب عباد الله الذين يحببون الله إلى عباده ، ويسعون في الأرض بالنصيحة »
“berkata al-Hasan: salah seorang dari Sahabat Rasulullah r berkata,’Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, jika kalian menghendaki, aku pasti akan bersumpah dengan nama Allah untuk kalian bahwa sesungguhnya hamba-hamba Allah yang paling dicintai-Nya ialah hamba-hamba yang membuat manusia cinta Allah dan membuat Allah cinta kepada hamba-hamba-Nya, serta mereka menyebarkan nasehat di bumi.’ .” [, 1: 50 no.36الأولياء]
Tiada kemuliaan melainkan dengan Islam, dan tidaklah tegak kehidupan dalam naungan Islam tanpa adanya Khilafah Islam. Tidaklah terwujud kebangkitan menuju kehidupan dalam naungan Islam tanpa ada yang berjuang menegakkannya dengan mewujudkan kesadaran di tengah – tengah masyarakat. Wallahu a’lam bi ash-shawab.